CHAPTER SEMBILAN BELAS : The Connection (5)

2009 Kata
                Jika ia akan kembali ke area food court yang berada di lantai dasar tower yang  ia tempati, maka dari tempatnya berada sekarang dia harus melewati area terbuka hijau tersebut, yang tepat bersebelahan dengan area parkir mobil yang tidak seberapa luas dibandingkan dengan tempat parkir di tower-nya yang sampai terdiri dari beberapa lantai itu.                 Langkah Valentina terhenti seketika ketika dia melewati area terbuka hijau.                  Alangkah ganjilnya, Valentina seakan tersedot ke sebuah dimensi alam yang lain, terpisah dari keriuhan dan suka cita orang-orang yang sedang menghabiskan waktu di ruang terbuka hijau tersebut. Ia seperti hanya dapat mengamati mereka. Ada yang tengah bermain basket, ada yang bermain catur. Ada yang hanya duduk santai sambil membaca buku. Ada pula sekelompok anak kecil dan pengasuh mereka yang sedang bermain bersama, memanfaatkan sejumlah fasilitas yang disediakan pengelola. Dari jungkat-jangkit, ayunan, sampai perosotan. Di sudut lain, terlihat pula sekumpulan ibu muda yang sedang mengobrol dengan heboh, entah apa yang mereka bicarakan.                 Anehnya, Valentina merasakan senyap yang mengungkungnya. Hampa yang membelenggunya. Dia bagaikan penonton yang sedang menikmati tayangan di televisi, berupa aktivitas orang-orang di area terbuka hijau itu. Ia seperti terpisah dari mereka, terpisah oleh jarak dan waktu yang sulit untuk direngkuh. Seperti berada pada masa dan tempat yang berbeda.                 Selanjutnya, secara mendadak, sejumlah bayangan berkelebat, seperti potongan-potongan peristiwa yang telah terjadi, namun tidak saling berkaitan satu dengan yang lainnya.                 Mulanya, Valentina menyaksikan ada seorang anak kecil yang mati tenggelam di kolam renang. Wajah Anak kecil itu telah membiru. Anak kecil itu mengenakan celana renang berwarna hijau tua. Ada suara tangisan kepanikan orang-orang di sekitar anak kecil itu. Ada petugas keamanan yang sibuk menghalau mereka yang mendadak menjadi jurnalis dadakan, memotret dan memposting foto-foto situasi tersebut ke segenap akun media sosial mereka seenak udelnya.                 Valentina menggoyangkan kepalanya, berusaha mengenyahkan bayangan yang menakutkan itu.                 “Ya Tuhan, apalagi ini?” keluh Valentina lirih. Dipikirnya, 'penyakit lamanya' kembali kambuh.                 Semakin Valentina berusaha untuk mengusir bayangan tersebut, penampakannya justru bertambah jelas, seakan-akan apa yang menimpa anak kecil tersebut sedang terjadi sekarang ini.                Valentina yang merasa kepalanya agak pusing memutuskan untuk duduk di bangku taman. Tidak dihiraukannya panggilan telepon dari adiknya yang entah sudah ke berapa kalinya.                Begitu dia duduk, visual yang dihantarkan kepadanya justru kian jelas. Valentina dapat membaca secara terang suasananya, orang-orang yang ada di kolam renang, petugas keamanan yang terpaksa memukul dan merampas telepon genggam beberapa orang di dekatnya, sampai ubin motif kolam renang. Dia terheran, sebab bentuk kolam renang dan motifnya berbeda dengan kolam renang yang ada di tower-nya.                 “Ini maksudnya apa sih? Kemarin aku mendadak mendapatkan pesan nggak jelas, tadi penampakkan sosok yang sama dengan yang menyerang Melo, sekarang...! Apa jangan-jangan, aku ini sudah gila?” gumam Valentina sedih.                 Dering telepon genggamnya yang entah untuk ke berapa kali, dirasanya ampuh untuk mengusir rasa bingungnya. Dering telepon itu juga sekaligus mengantarkannya kembali ke waktu dan tempat yang sekarang.                 “Uf,” ucap Valentina dengan napas terengah, bagai baru mengalami loncatan waktu saja. Dan itu dirasakannya menyedot energi yang ia miliki.                 “Ya, Ver, Mbak lagi ke situ, sabar,” tanpa ucapan ‘hallo’ lagi, Valentina segera berkata seperti itu. Bahkan tanpa melihat sama sekali siapa yang menghubunginya.                 “Hallo,” terdengar olehnya suara seorang laki-laki.                  Kening Valentina mengernyit.                 “Hallo,” sahut Valentina dengan bingung.                 Ketika dia menjauhkan telepon genggamnya, didapatinya nama Marvin tertera di layarnya.                 “Oh, maaf Marvin. Aku kira si bawel Veranda. Dari tadi dia telepon melulu soalnya,” ucap Valentina secepat mungkin.                 “Nggak apa. Veranda cuma penasaran, kok telepon berkali-kali nggak dijawab. Kamu masih mencari tahu soal anak kecil tadi ya?” tanya Marvin. Suaranya demikian tenang. Seakan-akan, sebuah ‘kecelakaan kecil’ semacam yang tadi disaksikan secara langsung oleh Valentina adalah hal yang biasa saja, di tempat tinggal mereka.                 Valentina terdiam sesaat.                 ‘Jadi anak itu sudah bersama Marvin? Wah, sudah cerita apa saja dia? Dia itu kan tukang ‘ngember’ yang suka lupa memfilter apa yang boleh diceritakan ke orang apa yang tidak. Kalau dia sampai keceletukan alasanku tinggal di sini kepada Marvin, bakalan ramai nih, di kantor. Bisa jadi bahan olokan, aku. Padahal betapapun berat hari-hari yang aku lalui di rumahku, betatapun jam tidurnya berantakan an kualitas tidurku memburuk, aku sudah berusaha bekerja seprofesional mungkin. Nyatanya, aku berhasil kan mengatasi semuanya? Kalau tidak berhasil, mana mungkin aku ada di posisiku yang sekarang?’ kata Valentina dalam hati.                 “Eng.., anaknya sudah bisa jalan kok. Sudah nggak nangis juga. Tadi aku lihat, kepalanya diperban saja. Ya artinya lukanya nggak parah. Tolong bilang sama Veranda, aku lagi jalan, ke sana,” kata Valentina.                 “Oke kalau begitu,” sahut Marvin.                 “Terima kasih ya, Marvin,” ucap Valentina.                 “No problem,” sahut Marvin ringan.                 Valentina bangkit dari duduknya. Sialnya, di luar kendalinya, pandangan matanya melayang ke arah area parkir terbatas. Detik inilah, pandangan matanya seperti terhalang. Yang terlihat di depannya adalah hitam pekat. Valentina sampai ketakutan.                 “Aduh, aku ini kenapa? Apa aku pusing? Mau pingsan? Tapi aku sudah cukup makan tadi, dan minggu ini juga nggak terlalu capek, seingatku. Si Bos nyebelin itu kan sedang kurang bahan untuk mengerjai aku,” gumam Valentina pelan.                 Berpikir begitu, Valentina segera menjangkau pilar terdekat.                 Beberapa detik setelahnya, Valentina terkesiap.                 Apa yang terlihat di depannya sungguh menakutkan!                 Bukan, bukan sekadar terlihat. Dia bahkan seperti mengalami loncatan waktu lagi. Perlahan sekitarnya tidak lagi gelap, akan tetapi agak remang. Lampu-lampu taman yang menyala, menandakan sekarang ini malam hari.                 Valentina melihat ada sebuah kendaraan yang sedang berjuang mencari lot parkir. Si pengemudi tampaknya lumayan sabar dan berhati-hati. Dia menunggu sambil memperlambat laju mobilnya, ketika ada sebuah mobil yang terlihat akan meninggalkan tempat parkir. Si pengemudi mobil berwarna merah ini malah masih bercakap-cakap dengan seseorang yang duduk di sampingnya. Sepertinya pacarnya, atau mungkin juga istrinya.                 Saking santainya, sang pengemudi mobil berwarna merah kurang menyadari bahwa lot parkir yang diincarnya telah kosong. Sebuah mobil yang tadi menggunakannya, telah melesat, meninggalkan tempat itu.                 Tiba-tiba saja, ada sebuah mobil berwarna kelabu mengklaksonnya. Si pengemudi mobil berwarna merah hanya melirik sekejap ke arah spion, dan semakin melambatkan kendaraannya.                 Maka, pengemudi mobil di belakangnya itu mendahuhuinya, terus melaju ke arah lot parkir yang kosong, dan dengan mulus memarkirkan kendaraannya di sana.                 “Eh, lihat itu Mas! Kenapa dia seenaknya merampas lot parkir yang kita incar dari tadi!” seruan wanita yang duduk di sebelah pengemudi mobil berwarna merah, menyentak kesadarannya. Ia segera menepikan kendaraannya. Hatinya terasa panas.                 Lelaki itu turun dari mobil sambil membawa sesuatu di tangannya yang segera diselipkannya ke saku belakang celananya.                 Cepat ia menghampiri sang pengemudi mobil berwarna kelabu yang telah turun dari mobil. Jika dilihat dari penampilannya, sepertinya pengemudi mobil berwarna merah ini dia masih muda sekali. Pakaian yang dikenakannya saja khas anak muda, polo t-shirt dipadu celana bercorak kotak-kotak.                 Dengan garang, pengemudi mobil berwarna merah menggebrak kap mobil warna kelabu.                 “Hei! Apa-apaan ini!” sang empunya mobil, seorang bapak yang kira-kira berusia di awal lima puluhan dan mengenakan seragam sebuah instansi, tentu saja tak suka dengan perlakuan anak muda itu.                 “Bawa pergi mobil ini dari sini. Ini lot parkir saya. Dari tadi sudah saya tunggu yang parkir di sini keluar. Malah seenaknya menyalip saya dan parkir di sini. Pindahin sekarang juga,” berkata begitu, si anak muda menggebrak kap mobil lagi.                 “Mas, maaf, ya, tadi itu saya sudah klakson. Saya juga sedang nggak tertarik utuk ribut. Saya sudah seharian kerja, capek. Saya mau ketemu anak istri saya di unit. Silakan Mas mencari tempat parkir yang lain,” si Bapak berusaha menahan emosinya.                 “Enak saja? Maksudnya, saya suruh berputar sekali lagi? Situ saja sana, yang berputar. Disangka cuma situ yang capek? Saya juga capek. Pindahin sekarang, atau saya gores kacanya!” ancam si Anak muda.                 “Coba gores kalau berani!!” tantang si Bapak, karena mulai merasa berang.                 Ditantang macam itu, si Anak muda benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dengan seenaknya dia menggores kaca mobil.                 Si Bapak terperangah.                 Dia menatap ke sekeliling.                 “Heh! Kurang ajar! Satpam! Satpam!” teriak Bapak itu. Sepertinya Bapak itu penuh perhitungan. Dia pasti menilai, kalau telibat perkelahian dengan Anak muda yang kurang ajar di depannya ini, bisa jadi dia kalah nekad dan kalah tenaga, makanya dia meneriaki Satpam. Celakanya, tidak ada satu pun Satpam yang sedang berpatroli, saat itu.                 Dan bukannya gentar karena sang lawan terus meneriaki Satpam, Anak muda itu semakin menggila. Dia tak hanya menggores kaca tetapi juga menendang pintu mobil.                 Kesabaran si Bapak lenyap. Ia menjambret kerah t-shirt Anak muda itu.                 Wanita yang tadi bersama si Anak muda, mulai cemas. Dia berusaha keluar dari mobil untuk meminta pertolongan. Sayangnya, sebelum ia sempat melakukannya, Anak muda itu telah merogoh sesuatu dari saku belakang celananya. Lantas, dia tusukan benda yang ternyata berupa belati kecil itu secara bertubi-tubi ke perut si Bapak.                 Akibatnya, cengkraman tangan si Bapak pada kerah t-shirt Anak muda itu terlepas.                 Ia berteriak kesakitan, memegangi perutnya yang terluka lantas roboh dalam keadaan berlumuran darah segar.                 Pasangan si Anak muda yang menyaksikan hal itu dari jarak dekat, sontak membekap mulutnya.                 “Mas! Kamu gila!” seru Wanita itu. Rasa takut yang besar menyerangnya. Di satu sisi, dia takut terjadi sesuatu kepada pasangannya tentu, karena yang dilakukan oleh pasangannya jelas-jelas tindakan kriminal. Dia takut pasangannya itu terseret masalah hukum. Di sisi lain, dia kasihan terhadap apa yang menimpa lawan dari pasangannya, dia juga takut kalau Bapak itu sampai terluka parah.                 “Tolong! Tolong!” teriak Wanita itu kemudian. Dengan sisa-sisa tenaga dan kesadaran yang masih melekat padanya, dia berlari menuju pos Satpam.                                                                                                                                                                 ^* Lucy Liestiyo *^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN