“Oh, itu, Pak, saya pilih yang kemeja semi formal saja,” jawab Valentina yakin dan sebulat tekad.
“Apa alasannya?” tanya Richard singkat.
“Banyak model yang tampaknya akan disambut baik oleh pasar. Saya sudah melihat beberapa modelnya di toko daring maupun toko luring. Kita bisa membuat yang jauh lebih bagus dari itu, tanpa meninggalkan ciri khasnya Charming & Comfort Apparel, Pak. Dari kemarin siang, saya malah sudah mulai membuat sketsanya,” terang Valentina sambil mengembangkan senyum di akhir kalimatnya. Senyum kebanggaan.
Mata Richard membulat.
Duh, betapa girang hati Valentina melihatnya.
Ia berpikir, si Richard ini pasti terkagum dengan buah pemikirannya, juga gercep (gerak cepat)-nya. Tapi ternyata... “Oh, ya? Apa menurutmu, keunggulan design-mu nanti dibandingkan dengan yang sudah ada di pasaran?” eh, ternyata ada nada mencemoohkan dalam suaranya. Kontan Valentina merasa tertantang. Valentina menelan ludah jadinya.
“Modelnya akan lebih simple tapi berkelas, Pak. Warna-warnanya juga tidak menyolok. Misalnya lebih ke arah krem, coklat muda, biru langit, merah maroon..” ...”Kalau begitu, apa bedanya dengan kemeja formal yang sekarang ada? Mestinya, kamu punya terobosan baru, dong!” potong Richard datar.
Dan ekspresi wajahnya disetel demikian lempeng, saat menyela kalimat Valentina. Mungkin papan seluncur juga kalah lempeng sama ekspresinya Richard.
“Beda, Pak. Modelnya..” ...”Kalau perkara model, tentu harus beda. Satunya formal, satunya semi formal, jangan bandingkan apple to orange. Ini bukan jenis jawaban seorang designer yang sudah bertahun-tahun berkarya di Charming, Val. Sebutkan secara spesifik,” sekali lagi Richard menyela.
‘Sial,’ umpat Valentina dalam hati.
Hampir saja Valentina mengerutkan dahinya.
Valentina berusaha menahan pemikiran yang hampir saja terucap oleh bibirnya, “Soal basa-basi dia memang pelit. Tapi perkara nyinyirin gagasan orang, tampaknya si Bos yang belum genap dua tahun menggantikan Gerry Sukma karena yang bersangkutan sudah membuka usaha sendiri ini, bisa dinominasikan meraih piala lho, kalau saja ada kejuaraan nyinyir sedunia.”
Wajar bila Valentina agak jengkel. Dia saja belum mengungakapkan idenya, eh, si Bos barunya itu main potong-potong ucapannya melulu. Bikin Valentina berpikir, jangan-jangan bos barunya ini tukang tikung, di kesehariannya!
“Saya akan menambahkan aksen yang mendukung, Pak, itu akan membedakannya dari produk sejenis yang ada di pasaran,” cetus Valentina dalam gugupnya. Ups, mentah sekali!
Sial, sekarang dia baru tahu, begini rasanya speechless.
Di detik ini Valentina menjadi paham, macam apa situasi yang dihadapi oleh seorang penulis, yang sejatinya telah mempunyai berbagai karakter kuat, alur cerita yang rapi, konflik dan penyelesaian konflik di kepalanya, namun mendadak kehilangan semua perbendaharaan kata begitu berhadapan dengan layar laptopnya.
Apa bedanya dengan keadaanya saat ini?
Sepintas, terkesan Velentina tak memiliki konsep, padahal konsep itu sudah ada, tapi mendadak seperti ada yang menyumbat tenggorokannya, memutus pita suaranya. Alhasil, suaranya bagai tersekat di tenggorokannya. Dan itu bukan lantaran Valentina terbelit pesona seorang Richard Permana Wiyono, melainkan dikarenakan konsentrasinya mendadak dibuyarkan perasaan diremehkan. Ah, betapa menyebalkan! ‘Pertemuan’ pertama sebagai atasan – bawahan, diskusi perdana, sudah ‘segaring’ ini.
Lalu Richard memandangi Valentina tanpa kata, tak ubahnya seseorang yang sedang membaca buku terbuka. Dan terdorong rasa kesal, Valentina memutuskan untuk menantang tatapan Richard. Ya, pikirnya, dia nggak salah, toh? Baru juga berapa hari dia ditawari pilihan mau bergabung dengan tim-nya siapa, lalu begitu dia memutuskan, esoknya langsung disodori dua proyek. Kalau bos yang waras, harusnya memuji gercep-nya kan, yang tahu-tahu sudah mengulik sekian banyak data dan sudah bikin sketsa, pula? Nah, ini?
Richard mengembuskan napas, seolah kesal.
Valentina tergoda untuk membatin.
‘Ye, mau juga gue yang kesal, Bos! Cuma gengsi aja, kalau harus ngakuin ada sedikit penyesalan kenapa nggak jadi tim-nya Vanya aja. Coba deh, barangkali si Bos lagi tertekan sama tunangan Bos yang konon kelewat posesif itu, jangan dibawa-bawa ke kantor, ya! Kita profesional aja deh!’ dumal Valentina di dalam hati.
Nah, menyangkut soal profesional, tiba-tiba Valentina teringat kepada Vanya. Diam-diam, dia salut pada Brand Manager yang satu itu.
Ekspresi Vanya itu jarang terbaca. Iya, si Vanya yang bergabung dengan perusahaan ini dua bulan lebih awal darinya dan setengah tahun lebih lambat dari Meisya itu, tidak ketahuan memiliki hubungan asmara dengan siapa. Seingat Valentina, dalam kurun waktu empat setengah tahun ini, hanya sesekali dia melihat Vanya dijemput oleh Cowok. Itu pun, baru tiga tahun terakhir, tampaknya. Lalu, soal ketus atau meledak-ledak ketika memarahi tim saat mereka melakukan kesalahan, rasanya Valentina juga tak pernah mendengarnya. Entah juga, kalau ngamuknya di ruangan dan mereka yang dimarahi enggan bercerita dengan pertimbangan hanya akan membuat malu diri sendiri.
Yang jelas, dalam tempo sekitar empat setengah tahun saja, sudah ada ‘alumni’ sebanyak 7 designer. Itu saja. Tetapi faktanya, brand Tiffany sendiri tetap memberi kontribusi terbesar pada pos penjualan. Kurang profesional apa, coba? Padahal, bukannya pembenaran, biasanya bos Cewek itu lebih rentan untuk jadi tidak profesional ketika menghadapi permasalahan, baik yang menyangkut pekerjaan maupun pribadi.
“Kenapa kamu nggak memilih proyek yang satunya?” pertanyaan Richard mengembalikan pikirannya yang barusan melayang-layang memikirkan mantan calon bos-nya.
“Eng, proyek satunya?” tanya Valentina, mengulang. Ih, bodoh sekali, dia dapat membayangkan sendiri, pasti wajahnya sekarang macam keledai dungu.
“Ya. Suara saya cukup jelas, bukan?” suara itu sedingin es sekarang, bikin Valentina kian yakin, itu pasti pelampiasan rasa tertekan atas sikap sang tunangan.
‘Enak juga ya, jadi bos, punya celah untuk ketus dan memarahi anggota tim, di saat mood nya buruk, nggak peduli buruknya karena apa,’ keluh Valentina tanpa suara, sambil menggigit pipi bagian dalamnya. Tangan kirinya saja sudah mengepal di bawah meja.
Hih, mimpi apa sih dia semalam? Apa kutukan rusunami di belakang apartemennya sudah mulai menguntitnya seperti candaannya Meisya? Seingatnya, kemarin-kemarin masih damai-damai saja, lho, aman terkendali! Kalau Valentina disuruh memilih, apakah harus kembali ke rumah pada saat ini dan menghadapai lagi kejadian-kejadian yang... ah, sudahlah! Dibanding dengan tetap tinggal di unit apartemennya dan harus menghadapi si Richard yang ternyata agak menyebalkan ini di pekerjaan, nggak perlu mikir, dia tentu memilih opsi yang kedua.
“Begini Pak, dasi kan sebetulnya merupakan pelengkap saja bagi kemeja formal. Saya belum sempat mengulik informasi sebanyak saya mengulik informasi kemeja semi formal. Terlebih, di luaran sana, sejumlah merk dasi terkenal juga sudah mendapat tempat di hati para pelanggannya,” penjelasan Valentina mengundang kernyitan di dahi Richard.
“Dengan kata lain, kamu pesimis?” tanya Richard.
Diucapkannya sih memang dengan nada rendah, tetapi yang sampai ke benak Valentina, adalah sikap meremehkan dan merendahkan kemampuannya. Sungguh, bukan kesan pertama yang baik, sebagai bos barunya. Tapi dia bisa apa? Masa harus meladeni dengan sikap serupa? Dia belum segila itu, lah!
Di dalam diamnya, Valentina menyabarkan hatinya.
“Bukan. Bukan begitu, Pak. Hanya saja, saya belum mempunyai ide yang wah, untuk design dasi,” jawab Valentina dengan hati yang terasa berat.
‘Apa-apaan sih, ini? Memangnya gue lagi menjalani wawancara kerja, jadi harus diuji sampai di mana kompetensi yang gue miliki? Sumpah. Ini terbalik banget. Bukannya sesudah gue memilih Bos, sang Bos lah yang semestinya membimbing gue? Bukan malahan menguji nggak jelas begini? Andai bisa, rasanya gue pengen menyumpah-nyumpah deh!’ rutuk Valentina dalam hati.
“Seperti itu..,” gumam Richard, membuat Valentina mendadak muak. Baru redaksinya saja yang sama, telinganya sudah terasa pekak, apalagi kalau cara pelafalannya juga mirip dengan sang empunya jargon yang jelas-jelas tidak disukainya, entah apa yang mesti dilakukannya. Serius, dua kata itu amat menyinggung perasaannya.
“Kalau begitu, berapa lama kamu bisa membuat sketsanya?” tanya Richard, terkesan mendesak macam debt collector yang mengingatkan jatuh empo p********n yang telah terlewat.
“Boleh saya minta waktu dua hari, Pak? Besok kan sudah Jumat, saya akan serahkan ke Bapak di hari Senin sore, selambatnya,” jawab Valentina, mencoba untuk tetap berbicara setenang mungkin.
Valentina sudah sangat ingin berlalu, seandainya bisa.
“Oke. Kamu buat buat dulu yang kemeja semi formal. Pastikan kamu membuat lebih dari satu sketsa,” sahut Richard. Tegas, bossy, tanpa basa-basi.
Kini senyum kemenangan terukir di bibir Valentina. Iyalah, untuk memenuhi standard Richard yang dibilang sama seisi kantor, super duper tinggi itu, mana mungkin Valentina hanya memberikan satu pilihan? Huh, bahkan, demi menjungkir balikkan keraguan Richard akan kemampuannya yang tadi sempat tersirat saja, Valentina sudah bertekad akan memberikan hasil terbaik minggu depan. Seolah, Valentina hendak mengatakan, “Hm. We’ll see what you”ll say!”
“Oke. Senin sore. Jangan sampai terlambat, ya,” kata Richard.
“Ada lagi, Pak?” Valentina sudah akan bangkit dari duduk.
“Itu dulu. Karena kalau sketsa kamu akhirnya disetujui, kamu akan mulai mengerjakan proyek yang satunya,” jawaban Richard sungguh di luar dugaan Valentina.
“Apa?” tak sadar, suara Valentina meninggi.
Richard menatap heran kepadanya. Tetapi hanya di hitungan dua detik saja. Setelahnya, yang ia tampilkan, lagi-lagi, tatapan keangkuhan.
“Kamu menolak? Ragu sama kemampuan kamu? Atau..., ternyata skill-mu tidak setinggi itu, ya?” ucap Richard tanpa ekspresi. Suara tinggi Valentina yang mirip sentakan saja, sepertinya tidak memengaruhinya.
Huh, sampai di sini, Valentina curiga, Richard ini pastinya salah satu karakter dalam serial film fiksi ilmiah yang pernah ditontonnya. Yang jelas, dia pasti tokoh jahatnya, yang super dingin, yang kalau badannya ditusukpun, bisa jadi tidak akan mengeluarkan darah!
Valentina jadi bertanya-tanya dalam hati, dengan kondisi macam itu, kok mau sih, yang jadi tunangannya Richard? Terbersit pula kecurigaannya, berpikir bahwa ada kemungkinan, tunangan Richard sudah kebal dengan perangai Richard.
‘Atau, jangan-jangan mereka berdua sama gilanya? Ya kan teknik match and mirror! Biasa berinteraksinya dengan siapa, tentu saling mempengaruhi satu sama lain!’ pikir Valentina sinis.
“Benar, Val?” pertanyaan Richard terdengar selagi otak Valentina sibuk menerka-nerka hubungan pribadi Richard dengan tunangannya.
“Apanya, Pak?” Valentina balik bertanya.
“Bahwa kamu menolak mengerjakan instruksi saya?” ulang Richard.
Gigi Valentina sudah gemeletuk menahan marah. Tidak, dia tidak punya rencana untuk ribut dengan bos barunya. Dia hanya kesal, awalnya kan dia disuruh memilih satu di antara dua proyek, tetapi ternyata dua-duanya harus ditanganinya.
‘Yeee... bilang saja, disuruh milih mana yang mau dikerjakan dulu, bikin skala prioritas, gitu aja kok repot! Gue mah, enggak pernah Sekalipun, takut mau disodorin kerjaan banyak juga. Cuma caranya yang benar, Bos! Huh! Mana gue sudah telanjur bilang, pula, ke si Meisya! Untung belum sempat nge-deal ‘todongan’ tas, yang uuh... menjurus ke kriminal, ya? Itu... mirip-mirip pemerasan, toh?’ Keluh Valentina dalam hati.
Kalau boleh, ingin benar dia mencakar Bu Indira Werdhiani, sang manager human resources department yang menyampaikan tentang promosinya ini. Eh, tapi kan Bu Indira sudah hampir resign? Setahunya, pengganti bu Indira sudah akan masuk hari Senin nanti, untuk memulai proses serah terima. Masa orang yang lebih sepuh dari ibunya, mendekati hari-hari terakhir berkarya di perusahaan yang sama, harus ia beri kenang-kenangan berupa cakaran juga? Rasanya kurang elok saja.
Kini Valentina curiga, ‘janji’ untuk boleh memilih itu tentunya bukan karangan bu Indira dong, pasti asalnya dari iming-iming si Richard ini, supaya membuat dirinya lebih memilih Richard ketimbang Vanya. Itu mirip janji kampanye yang basi! Sementara Bu Indira, pasti hanya meneruskannya saja.
Hampir dia terpikir, apakah sebaiknya dia mencakar Richard saja? Beruntung, kesadarannya menghalau pemikiran ngawur itu.
‘Kayaknya memang nggak perlu lah! Dicakar juga nggak bisa berdarah. Yang ada kukun gue malah tumpul, nanti. Buang anggaran buat meni-pedi saja! Kan, belum jadwalnya!’ kata Velentina dalam hati.
Valentina menggeleng kuat, seperti menghalau sejumlah lalat menjijikkan yang terbang-terbang di dekat wajahnya.
“Ada apa?” tanya Richard, masih sedatar tadi. Benaran deh, orang ini memang nggak punya ekspresi kelihatannya! Valentina saja sampai digoda oleh secuil perasaan kasihan yang mendadak mencuat di benaknya. Ya, dia kasihan pada tunangannya Richard, bukan pada Richard.
“Tidak, Pak. Maksud saya, baik, saya akan ikuti instruksi Bapak. Silakan Bapak memberikan arahan saja ke saya,” kata Valentina kemudian, khas new bie yang baru masuk ke sebuah lingkungan tertentu, lingkungan yang baru bagi dirinya. Kalimat yang ia ucapkan sungguh kalimat paling aman untuk meredam berkembangnya benih-benih perpecahan, yang sebetulnya juga mengandung bisa terselubung, bagi pendengarnya. Jenis kalimat meremehkan dalam versi yang lebih tajam, dilapisi dengan kata pujian dan sanjungan setinggi langit, yang siap mengempas siapa pun yang terlena, suatu saat kelak. Ya, kalau saja pendengarnya mempunyai kecepatan berpikir yang canggih.
“Oke. Kamu boleh kembali ke tempatmu sekarang,” kata Richard.
“Mari, Pak,” Valentina segera beranjak, seakan tindakan antisipasi agar dirinya bisa secepatnya keluar dari ruangan Richard dan bisa berpura-pura tidak mendengar apabila ia dipanggil lagi.
Begitu keluar dari ruangan kerja Richard, Valentina nyaris misuh-misuh. Terkenang akan selintas kebimbangan yang mengodanya di kala hendak memilih antar Richard dan Vanya, rasanya Valentina ingin marah kepada diri sendiri sekarang ini.
'Ah! Tapi apa gunanya? Kalau sudah berani memutuskan, hanya satu pilihannya : jalani!' bisik hati Valentina. Entahkah menghibur, entahkah malah menuntutnya.
- Lucy Liestiyo –