Pintu lift yang paling ujung dari empat buah lift yang berderet itu hampir tertutup ketika Valentina berseru dengan suara nyaring, “Tunggu!”
Valentina beruntung. Teriakan kerasnya membuahkan hasil yang baik. Pintu lift tersebut kembali terbuka lebar. Ya, kalau menilik dari angka yang tertera di bagian atas kotak lift, memang itu satu-satunya lift yang tengah berada di lantai dasar saat ini, sedangkan tiga lainnya masih berada di lantai belasan, dalam keadaan tengah naik pula. Tentunya akan makan waktu lebih lama lagi bagi mereka berdua untuk menunggu sampai salah satu di antaranya mencapai lantai tertinggi lalu kembali turun ke lantai dasar.
Valentina menarik napas lega melihat lift yang terbuka lebar. Enggan membuang waktu, Valentina setengah menyeret lengan Meisya dan berkata, “Yuk, Lo, cepetan masuk!”
Walau merasa kurang nyaman diperlakukan seperti anak kecil begitu, Meisya terpaksa menurut. Dia tidak punya pilihan lain sekarang. Sepertinya dia masih memerlukan waktu yang lebih panjang untuk memulihkan secara total tenaganya, sehingga memenuhi syarat dan memungkinkan dirinya berdebat atau minimal membantah Valentina.
Sementara di saat bersamaan, pikiran Valentina sendiri sesungguhnya tengah berkecamuk. Di saat otaknya tengah berusaha mencerna semua urutan peristiwa yang ia alami selama menghabiskan waktu di seputaran area kolam renang, hatinya menolak keras. Dilema, jadinya.
‘Nggak. Nggak. Gue ogah diganggu sama hal-hal nggak nyangka macam itu lagi. Sudah sejauh ini gue berkorban, meninggalkan rumah gue yang nyaman dan mau menjemput segala resiko serta ketidaknyamananan tinggal di sini, masa sih, jadi sia-sia belaka? Jangan bilang, ini mulai lagi,’ sesal Valentina dalam diam.
Mereka berdua masuk ke kotak lift bersamaan.
“Terima kasih, ya,” ucap Valentina kepada seorang Cowok yang ia lihat di dalam lift. Ya, memang hanya ada Cowok itu saja, selain dirinya dan Meisya. Sebuah wujud apresiasi karena Cowok berperawakan jangkung itu cukup sigap menekan tombol open sehingga pintu lift terbuka kembali dan memungkinkan dirinya serta Meisya masuk ke dalamnya.
“Sama-sama,” sahut Cowok yang mengenakan polo t-shirt berwarna biru toska itu sambil mengangguk dan tersenyum. Dia mengamati ketika Valentina menempelkan access card-nya di dekat panel lift. Berhubung tiada orang lain selain mereka bertiga yang kini berada di dalam kotak lift, melihat angka di panel lift yang menyala, tentunya Cowok itu akan menuju lantai 12. Kemungkinan besar Cowok itu tinggal di sana, karena mempunyai access card.
“Gue masih bingung deh Le, sebenarnya tadi itu gue kenapa. Kepala gue masih rada berat buat merangkai semua urutan kejadian yang menimpa gue,” keluh Meisya. Begitu keras dan blak-blakan, tak peduli fakta bahwa saat ini ada orang lain di sekitar mereka. Ya, si Cowok penghuni lantai 12, yang kini terkesan sedang memasang telinga, mendengarkan percakapan dua gadis tersebut.
Valentina menatap sesaat wajah Meisya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah panel lift.
“Nanti gue ceritain di unit aja, Lo, sambil menunggu pesanan makanan kita datang atau sambil makan,” sahut Valentina lirih.
Meisya mengangguk setuju.
“Oke, tapi sebelum makan gue mau bersih-bersih badan dulu,” sahut Meisya.
“He eh,” balas Valentina pendek.
Suara denting lift membuat Valentina menarik napas lega untuk kedua kalinya. Mereka telah tiba di lantai 8 sekarang. Pintu lift pun terbuka lebar. Valentina mengangguk sekilas pada Cowok jangkung yang tertinggal sendirian di dalam lift. Cowok itu membalas anggukannya, dan memberikan satu bonus senyuman kepadanya.
Valentina bergegas melangkah lebar, menghampiri unitnya yang hanya sejarak enam meter saja dari lift.
“Ganteng juga ya Cowok yang di lift tadi, Le. 11-12 lah, sama Richard. Cuma yang ini kesannya lebih ramah dan helpfull. Boleh tuh, Le, diprospek, biar lo bisa move on sepenuhnya dari si Robin,” cetus Meisya ketika Valentina memutar anak kunci di daun pintu unitnya.
Gerakan Valentina memutar anak kunci melambat mendengar celetukan Meisya.
Mendengar nama Robin disebut lagi oleh Meisya, tak urung lidah Valentina terasa kelu. Pudar sudah keinginannya untuk berkomentar. Sialnya, Meisya sama sekali tidak menyadari hal itu. Atau mungkin memang dia tidak mau tahu. Maklum, mulutnya Meisya itu memang sering kali asal nyablak.
**
“Hah? Jadi begitu kejadiannya Le? Serius, lo? Elo beneran nggak lihat, siapa yang benamin kepala gue berkali-kali tadi? Masa, sih?” tanya Meisya beruntun, sembari mengangkat peralatan makan yang baru mereka pakai ke tempat cuci piring.
Ditanya begitu, Valentina tampak ragu untuk menanggapi. Dia takut, kalau mengatakan secara detail apa yang ia saksikan dengan matanya sendiri, Meisya akan serta merta mencemoohnya. Sedangkan untuk berkisah selagi mereka makan saja, sebetulnya dirinya berperang dengan sebuah perasaan yang asing. Seolah ada sesuatu kekuatan yang melarangnya membahas apa pun juga dengan Meisya.
‘Kalau gue sempat cerita secara rinci, gue tahu ujungnya. elo pasti bakal menyarankan gue meminta pertolongan psikiater. Aaargh!’ geram Valentina di dalam diamnya.
“Tadi itu, pas berdiri di atas papan luncur, gue kayak merasa mendadak kesandung, jadi loncatnya lebih cepat, Le. Di luar kendali gue. Terus tahu-tahu, sekelebatan gue ngelihat, ada yang nangkap dan benamin kepala gue. Wah, nggak ngerti, deh, rada blur gitu. Yang jelas, gue merasa tenaganya dia itu kuat banget, sampai gue nggak bisa ngelawan barang sedikit saja. Lo harus laporin ke pengelola deh. Kalau tadi gue sampai lewat, gimana coba? Elo mau arwah gue gentayangan di sini, di unit elo ini, dan seumur hidup menghantui elo? Yakin lo? Gue ngerti sih kita berdua nge-blend banget, tapi kalau nanti alam kita sudah berbeda, apa elo yakin bakalan tetap mau gue bayang-bayangi melulu? Nggak mesti begitu juga Le. Sampai jadi fans garis keras gue gitu,” seloroh Meisya sambil mencelupkan spon ke wadah sabun cair dan mulai mencuci piring kotor bekas mereka makan.
“Lolo, jangan sembarangan deh, ngomongnya! Itu mulut tolong deh, dijaga!” sentak Valentina spontan.
Meisya mengernyitkan dahi dan menoleh. Sebutan ‘Lolo’ dan ‘Lele’ itu adalah panggilan sayang mereka ke satu sama lain, tapi kalau sudah diucapkan dalam nada tinggi begini, siapa yang tidak terusik? Sudah nggak ada aroma sayangnya sama sekali.
Gerakan Meisya mencuci piring langsung terjeda. Ia menatap wajah Valentina dengan tatap penuh protes.
“Le, kenapa sih elo harus sampai semarah itu ke gue? Gue kan becanda. Biasa aja dong, ngomongnya, nggak perlu pakai sewot dot com begitu,” kata Meisya setengah bergumam. Usai bergumam begitu, Meisya mempercepat gerakannya mencuci piring dan mengeringkannya, lalu meletakkan piring serta sendok di tempatnya masing-masing.
Valentina mendengus kesal.
‘Sembarangan. Bercanda, Lo? Tadi itu situasinya kritis banget, tahu nggak?Jantung gue aja rasanya sudah mau copot,‘ kecam Valentina tanpa suara.
“Kita nggak usah ngomongin tentang ini lagi. Intinya, mulai dari detik ini dijaga baik-baik deh, omongannya. Jangan sembarangan celetak-celetuk nggak jelas,” kata Valentina dengan nada putus asa.
Meisya meremehkan ucapan Valentina. Ia menggelengkan kepala dan berdecak.
Lalu, Meisya pun menghampiri Valentina.
“Ck! Ya ampun, Le, elo mau bilang, lihat ini itu lagi, seperti di rumah elo dulu? Bahkan elo dihantui sama mantan elo yang jelas-jelas bukan arwah. Dan kalau begitu, terus apa gunanya elo pindah kemari?” kritik Meisya.
Valentina baru saja membuka mulut untuk menyahut, tetapi Meisya mengangkat tangannya, menandakan betapa dia belum selesai bicara dan tidak mau disela. Seketika Valentina terbungkam kembali.
“Please deh Le, kalau begitu malasahnya bukan teletak di tempat tinggal, melainkan diri elo sendiri. Kebanyakan berhalusinasi sih! Serius deh Le, kali ini gue harus seret lo ke pskiater! Gue nggak mau ya, elo begini terus! Gue marah, kalau elo masih terus memelihara pikiran dan perasaan ganjil begitu!” ucap Meisya galak.
Valentina membeku mendengarnya.
‘Terucap juga kan, kata itu,’ pikir Valentina lelah.
“Le..,” panggil Meisya.
Valentina tidak menjawab, hanya membalikkan badan dan memilih masuk ke dalam kamarnya.
Meisya bergegas menyusul Valentina.
“Le..., oke, gue minta maaf kalau elo nggak suka dan tersinggung dengan ucapan gue atau cara gue menyampaikan soal itu, tadi,” bujuk Meisya.
Valentina tidak memperlihatkan reaksi apa-apa kecuali duduk saja di atas sofa single yang ia letakkan di sudut kamarnya. Ia membenamkan wajahnya ke bantal sofa.
Meisya berjalan menghampiri Valentina. Tangannya menyentuh pundak sahabatnya itu dengan lembut.
“Please Le, it is not good for you. Gue nggak mau elo begini lagi. Udah cukup kan, yang dulu itu? Gue serius, elo sudah perlu bantuan psikiater. Gue yakin berat deh, pasti elo mau bilang, bahwa elo melihat yang aneh-aneh di kolam, kan? Lo pasti terlalu asyik sama kerjaan design dasi elo, jadinya nggak sempat mergokin siapa orang reseh yang jahatin gue? Iya, kan?” desak Meisya. Tidak tersirat secuil saja sesal yang tergurat pada parasnya, meski dia telah membuat Valentina merasa tidak nyaman. Meisya malahan merasa dirinya, pendapatnya yang benar.
Valentina menengadahkan wajahnya lantas menggeleng pelan. Wajahnya terlihat lelah. Tidak. Dia sungguh tak ingin berdebat dengan Meisya soal ini. Terlebih pada saat ini. Mendadak dia merasa, perasaannya sudah sama penatnya dengan pikirannya. Sungguh bukan waktu yang tepat untuk meladeni 'kegilaan' Meisya yang terkadang sulit ditolerir itu.
'Kalau menyangkut hal lain, oke, gue masih mau nyahutin. Tapi enggak yang model beginian deh. Enggak banget,' pikir Valentina.
*
- Lucy Liestiyo -