Valentina tampak ragu.
Ia menarik napas dalam-dalam dan berpikir, apakah Marvin adalah orang yang tepat untuk diajaknya membicarakan masalah yang dialaminya. Pelan-pelan, Valentina berusaha menyingkirkan sisa-sisa keraguannya.
‘Kalau enggak ada tempat untuk cerita, yang ada aku bisa gila. Dan seorang psikiater, nggak harus jadi pintu darurat dalam situasi yang aku alami sekarang, kan? Toh, Marvin ini juga mempunyai dasar ilmu psikologi. Semestinya dia bisa menempatkan diri sebagai pendengar yang baik dong?’ harap Valentina di dalam diamnya. Ia benar-benar membujuk hatinya.
“Vin,” ucap Valentina kemudian. Embusan napasnya yang begitu berat, seolah menggambarkan betapa dia sudah sangat ingin melepas beban yang menindih di benaknya.
“Ya?” sahut Marvin penuh perhatian. Ditampilkannya gestur siap menyimak apapun yang hendak disampaikan oleh Valentina. Tatap matanya ke bola mata Valentina demikian intens.
“Sorry, boleh aku tahu, seberapa banyak yang Veranda cerita soal aku, sewaktu kalian mengobrol di food court kemarin?” tanya Valentina.
Marvin tergeragap.
“Vin? Veranda bilang apa saja?” desak Valentina.
Marvin berdeham.
“Eng..., sebetulnya enggak terlalu banyak sih, Val. Ya, seputar alasanmu pindah kemari. Veranda menyebutkan, alasannya itu karena kamu merasa dibayang-bayangi oleh.., mantanmu. Dan karena hal berlangsung lumayan lama dan sering, itu sungguh mengusik ketentramanmu,” jawab Marvin.
Mata Valentina memejam.
‘Tepat. Ini saatnya aku sedikit berbagi kepadanya. Siapa tahu dia bisa memberikan pandangan atau bahkan solusi,’ kata Valentina dalam hati.
“Itu dia, Vin. Awalnya aku senang-senang saja tinggal di sini. Tapi aku nggak tahu deh, semenjak kejadian Meisya hampir celaka di kolam renang sewaktu dia menginap di sini, terus juga semakin kemari, aku merasa keputusanku pindah ke sini adalah kekeliruan, keputusan yang mungkin aku buat serba terburu-buru. Aku sedang mempertimbangkan buat kembali ke rumah, tapi sambil melihat jadwal kerja nanti. Maklum, aku masih tetap harus adaptasi dengan kemauan bos baruku, kan? Lagi menyesuaikan ritme kerjaku,” cetus Valentina.
Marvin tertegun.
‘Separah itu?’ tanya Marvin dalam hati. Ia sungguh merasa prihatin. Gambaran Valentina meniti jembatan dan berteriak ketakutan kala jembatan itu berguncang hebat, terbayang oleh Marvin. Mendadak timbul nalurinya untuk melindungi gadis ini.
'Tapi dalam kapasitas apa?’ tanya Marvin dalam hati, menujukannya kepada dirinya sendiri.
“Kamu kenapa Val? Eng..., maksudku, kalau aku boleh tahu, sih,” tanya Marvin.
Valentina menengadah, menatap ke langit-langit ruangan tamu, lalu menggoyangkan kepala dengan samar. Sungguh refleksi dari sikap seseorang yang tengah berusaha mencari pencerahan atas kebingungan yang melandanya.
Kemudian, dengan berat hati Valentina menjawab, “Aku mengalami yang ingin aku hindari di rumah. Dan... dalam kapasitas berkali lipat. Aku mulai khawatir, nggak bisa menghadapinya dan ke depannya bisa mengganggu pekerjaanku, aktivitasku.”
“Mbak Val mengalami apa?” tiba-tiba saja terdengar suara Veranda. Entah semenjak kapan Veranda berdiri di ambang pintu kamar Valentina dan sejauh apa yang sempat ia dengar dari percakapan antara Marvin dengan Valentina.
Valentina memalingkan wajahnya.
Ia segera menggeleng dan berkata, “Enggak. Bukan apa-apa.”
Veranda memicingkan mata.
“Masa bukan apa-apa? Tadi pagi sewaktu kita beli makanan saja, selintas aku memergoki raut wajah Mbak Val seperti orang ketakutan. Mbak Val saja yang enggak menyangka kalau aku mencermati perubahan mimik muka Mbak Val. Mbak! Mbak Val pasti mulai berhalusinasi lagi. Iya kan? Mbak Val mau bilang melihat sesuatu, begitu?” korek Veranda.
Valentina menggelengkan kepala lagi.
“Enggak, kok,” sahut Valentina tegas. Dia merasa, akan percuma saja berbicara mengenai hal tersebut dengan Veranda.
‘Semakin banyak aku ngomong, bakal semakin disudutkan saja,’ batin Valentina, mengenang bagaimana reaksi Veranda maupun Meisya ketika mereka tahu Robin dan Robin lagi yang disebut olehnya.
Veranda menatap sang kakak dengan pandangan kecewa.
“Mbak Val bohong. Mbak Val ingat, hari Jumat sewaktu aku baru sampai? Pas Mbak Val mandi, aku juga sudah berpikir, nggak mungkin Mbak Val adem-ayem, diam-diam saja. Aku curiga, Mbak Val hanya nggak mau cerita saja, karena takut dikecam, kan? Makanya sewaktu Mbak Val mandi..,” Veranda berjalan menghampiri Valentina. Ia sengaja tidak melanjutkan perkataannya, kala menyadari keberadaan Marvin.
Marvin berlagak tidak menyadari kegamangan yang tergambar pada paras Veranda, meski di hatinya terjadi pertentangan.
‘Maybe it is too early to involve my self. But I’m really sure, too early is better than too late. Especially in this case,’ bisik hati Marvin, setelah menimbang beberapa saat. Atas dasar ini pula, dia bertahan di tempatnya.
Sebaliknya, di saat yang sama, Valentina tidak merasa terganggu dengan kehadiran Marvin. Dipikirnya, semuanya sudah kepalang tanggung. Dia sama sekali sudah pasrahtidak keberatan andai harus menjemput kemungkinan bahwa Marvin bakal menelanya atau menganggap dirinya aneh.
“Kamu ngapain, pas Mbak mandi?” tanya Valentina, menuntut penjelasan.
Veranda duduk di sebelah Valentina, tepat di tempat yang tadi dia tinggalkan dengan alasan hendak menonton drama korea melalui netflix, di kamar Valentina.
Veranda mengerling kepada Marvin. Marvin tahu apa arti kerlingan itu.
“Oh. Sepertinya kalian mau membicarakan sesuatu yang cukup pribadi dan rahasia. Dan berhubung aku sudah kenyang, aku mau mengucapkan banyak terima kasih atas makan siangnya yang luar biasa, juga undangannya untuk bertandang ke sini. Sekarang sebaiknya aku pamit dulu. Lain kali harus gantian aku yang mengundang kalian makan siang atau makan malam di unitku, ya. Hm.., biarpun masakanku tentunya tidak seenak dan selengkap menu tadi, tapi aku jamin, nggak akan membuat kalian sakit perut deh,” kata Marvin, dan memasang mimik lucu untuk mencairkan suasana.
“Ah sama-sama, Mas Marvin. Baik, aku tunggu undangannya karena kayaknya aku bakal sering menginap di sini,” balas Veranda.
“Jangan pergi dulu Vin!” sergah Valentina cepat.
Marvin dan Veranda sontak berpandangan. Mereka tidak menyangka Valentina bakal mencegah kepergian Marvin. Dahi Veranda saja langsung berkerut.
“Nggak apa. Mbak memang masih mau mengobrol sama Marvin. Ya kecuali kalau kamu ada janji sama orang atau atau sesuatu hal yang mendesak dan harus dilakukan, Vin,” ucap Valentina, sekaligus kepaa Veranda dan Marvin.
“Yakin aku nggak mengganggu obrolan kalian? Aku lagi free kok. Enggak ada rencana kemana-mana,” sahut Marvin.
“Iya. Duduk saja. Masih banyak yang mau aku tanyakan dan aku sampaikan,” tandas Valentina.
Veranda menatap Valentina dengan tatapan protes. Valentina mengabaikannya.
“Kamu belum jawab pertanyaan Mbak. Apa yang kamu lakukan sewaktu Mbak mandi?” kejar Valentina.
Veranda menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Veranda!” tegur Valentina yang mulai merasa kesabarannya disia-siakan.
“Jawab Ver!” ulang Valentina.
Veranda berdecak kesal.
“Iya, iya,” sahut Veranda agak sewot karena merasa disudutkan oleh sang kakak.
“Apa?” tanya Valentina.
Veranda mendengus.
“Aku..., eng..., memeriksa laci nachas Mbak Val. Dan akhirnya aku menyingkirkan obat tidur yang aku temukan di sana,” kata Veranda pelan.
Jantung Valentina nyaris berhenti berdetak. Ditekannya rasa marah yang mengodanya, hingga ke dasar.
‘Pantas. Dia rupanya yang menyingkirkannya. Hampir saja aku meragukan daya ingatku, padahal jelas-jelas aku pernah menaruh obat tidur itu di dalam lagi. Just in case,’ batin Valentina.
Sekuat hati, Valentina menahan rasa jengkelnya. Ia tidak menyadari, Marvin sungguh-sungguh tengah menyimak dan menganalisa, selain menahan diri untuk tidak berkomentar apapun.
“Terus?” tuntut Valentina. Ia menatap tajam pada Veranda. Ia merasa adiknya ini terlalu lancang.
Veranda menghindari tatapan Valentina.
“Tapi karena aku terburu-buru, aku belum sempat membuangnya. Aku takut Mbak Val menemukannya kalau aku buang di tong sampah. Akhirnya, aku taruh di kotak obat. Aku pikir, mau aku buang esoknya. Tapi aku lupa. Tadi pagi itu, aku agak curiga karena Mbak Val kok susah sekali dibangunkan. Baru deh aku teringat soal obat tidur yang aku pindahkan. Dan ternyata setelah aku cek, jumlahnya sudah berkurang,” tutur Veranda.
^* Lucy Liestiyo *^