(P.O.V Rosmerry)
Pagi ini seperti biasa aku berteriak memanggil Dewi untuk sarapan. Ya, meskipun aku sangat jahat dengan Dewi, aku masih memikirkan Dewi untuk sarapan, makan siang, dan makan malam bersama. Aku sebenarnya sangat menyayangi Dewi, keponakan ku satu-satunya, karena adik Dewi meninggal bersama kedua orang tuanya dalam kecelakaan. Tak hanya memikirkan Dewi untuk sarapan, aku juga setiap hari memberikan dia uang saku untuk sekolah. Aku memang tidak memiliki anak, entah dariku yang memang tak bisa hamil atau dari Daniel, suamiku.
"Dewi…..!" teriakku dari ruang makan memanggil Dewi
"Kemana itu bocah? Tumben sekali sudah hampir setengah 7 belum keluar kamar, biasanya dia sudah di ruang makan," ucapku sambil mengoles selai di roti untukku dan untuk suamiku.
"Dewi….! Dewi Kinanti….! Kamu budeg ya!" teriakku lagi.
Daniel yang melihat ku berteriak dari tadi memanggil Dewi, dia berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah kamar Dewi. Namun, aku menghentikan langkah kaki Daniel yang sedang berjalan menuju kamar Dewi
"Papah mau ke mana?" tanyaku
"Mau manggil Dewi, mamah dari tadi teriak-teriak gak ada usaha ke kamar Dewi manggil atau apalah, kali aja dia masih tidur, atau masih mandi," jawab Daniel.
"Papah duduk!" titahku dengan sarkas dan berdiri dari tempat dudukku.
Aku berjalan ke arah kamar Dewi, sambil tak henti-hentinya mengumpat, karena Dewi tidak keluar dari kamarnya. Padahal aku sudah berteriak berulang kali.
"Tidak seperti biasanya Dewi seperti ini, biasanya aku teriak satu kali memanggil dia, dia langsung keluar dari kamarnya," ucapku dengan berjalan ke arah kamar Dewi.
Aku memegang handle pintu Kamar Dewi, aku membuka kamarnya. Aku tak mendapati keponakanku di dalam kamarnya. Aku masuk ke dalam kamar Dewi dan berjalan ke arah kamar mandi.
"Dewi, kamu di mana? Dewi… Dewi...!" Aku setengah berteriak memanggil Dewi.
Aku merasa cemas, keponakanku satu-satunya tidak ada di dalam kamarnya, bahkan di kamar mandi juga tidak ada. Aku melihat secarik kertas yang di tindih dengan botol parfum di meja rias Dewi. Aku mengambil kertas tersebut dan membacanya.
Dear Tante Rosmerry.
Tante, maafkan Dewi. Dewi harus pergi dari rumah Tante. Bukan Dewi kecewa karena Tante mengambil semua harta Dewi. Ambilah, Tante. Dewi rela, karena itu sebagian juga ada hak tante dari papah. Dewi hanya tidak rela, harga diri Dewi di renggut oleh suami Tante sendiri. Jijik sekali rasanya, setiap kali suami Tante bersikap tidak senonoh pada Dewi.
Maaf, aku berkata seperti itu, karena memang itu kenyataannya. Tante boleh percaya atau tidak. Dewi pergi karena ada yang harus Dewu jaga, yaitu kehormatan Dewi sebagai wanita. dewi takut, suami Tante semakin kasar dan berbuat tidak senonoh dengan Dewi.
Dewi sayang Tante, jangan cari Dewi. Dewi pasti akan kembali kalau sudah saatnya. Dan, suatu saat nanti, Tante pasti tau, seperti apa suami Tante sebenarnya. Sekali lagi, maafkan Dewi. Oh, iya. Tante boleh menjual rumah papah, tapi dengan syarat, uang hasil penjualan rumah papah, gunakan untuk tante, bukan untuk suami Tante.
Terima kasih karena Tante sudah mau mengurus Dewi sejak papah, mamah, dan adik Dewi meninggal.
Dewi Kinanti.
Aku membaca surat dari Dewi yang di tuliskan di secarik kertas tadi. Dalam hatiku masih bertanya-tanya, apa benar suamiku sejahat dan sebejat itu pada Dewi? Aku masih terpaku di depan meja rias Dewi. Jika memang Daniel seperti itu, apa yang harus aku lakukan? Membiarkan keponakanku satu-satunya tinggal di luar sana? Dan, kalau aku membawa dia ke sini lagi, kasihan dia.
"Dewi bukan anak yang pandai berbohong, apa benar yang di katakan Dewi di dalam surat ini? Lebih baik aku menyelidiki dulu, benar atau tidak Daniel seperti itu. Memang dia sering main serong, beberapa kali dia selingkuh dengan Sekretaris di kantor," gumamku dalam hati.
Aku melipat surat dari Dewi dan menaruhnya di laci meja rias Dewi lalu menguncinya. Dengan rasa bersalah dan menyesal aku keluar dari kamar Dewi
"Maafkan tante, Dew. Iya, Tante tidak akan mencarimu, semoga kamu baik-baik saja di luar sana," ucapku lirih sambil menutup pintu kamar Dewi.
"Lalu bagaimana dia makan dan bayar sekolah? Ahh…sudah lah itu urusan nanti, yang terpenting aku akan selidiki Daniel terlebih dahulu, benar atau tidak dia melakukan perbuatan tidak senonoh pada Dewi," ucapku dengan lirih sambil berjalan ke arah ruang makan.
Aku kembali duduk di kursi makan lagi dan menikamti roti selai kacang yang aku buat tadi. Aku melihat mata Daniel yang menatap ke arah kamar Dewi. Seakan dia ingin sekali melihat Dewi di pagi hari.
"Kenapa belum di makan roti papah?!" tanyaku dengan sedikit menaikan nada bicaraku.
"Emmm…iya, ini mau aku makan," ucap Daniel dengan gugup karena aku bertanya dengan nada tinggi
"Kamu cari Dewi?"tanyaku lagi.
"Ti…tidak," jawab Daniel dengan terbata-bata.
"Dewi untuk sementara akan menginap di rumah Letta, karena dia banyak tugas sekolah, dia menuliskan surat di secarik kertas karena harus berangkat pagi-pagi sekali," ucapku sambil memberikan secarik kertas yang sudah aku ubah isinya.
Isi surat Dewi yang asli aku simpan di laci meja rias Dewi. Dan sebelum keluar tadi aku menuliskan surat palsu untuk di berikan pada suaminya.
"Dia tinggal di rumah Letta? Lalu bagaimana dengan rencana kita?" tanya Daniel.
"Rencana apa? Rencanamu yang akan menikmati tubuh Dewi?" kata-kata itu hanya terlintas di dalam hatiku saja.
"Rencana apa, pah?"tanyaku sambil menikmati roti selai.
"Ya…rencana untuk menjual rumah Dewi, kan kita juga perlu tanda tangan dan persetujuan dari Dewi," jawab Daniel dengan gugup.
"Sialan! Padahal aku sudah menyiapka obat perangsang untuk nya nanti malam. Aku harus mencari Ayu, harus aku dapatkan tubuh indahnya itu," ucap Daniel lirih sambil mengepalkan tangannya, yang samar-samar terdengar oleh Rosmerry.
"Tadi papah bicara apa?" tanyaku dengan penuh selidik, aku sedikit mendengar kalau dia berbicara mengenai obat perangsang.
"Ah...tidak bicara apa-apa, mah," jawab Daniel dengan gugup.
"Nanti kalau Dewi sudah selesai urusannya pasti pulang, lagiyan untuk apa menjual rumah dia, perusahaan kita saja semakin maju, asal jangan banyak hutang dan kita saling terbuka saja, masalah keuangan," ucapku dengan santainya.
Aku tau, suamimh sangat marah mendengar Dewi tinggal di rumah Letta. Aku melihat dari raut wajah Daniel yang sudah memperlihatkan raut wajah marahnya.
"Aku sedikit percaya dengan Dewi mengenai hal ini, aku tau, Daniel memang begitu menginginkan Dewi. Tidak munafik, memang Dewi sangat cantik dan memiliki lekuk tubuh indah yang menggiurkan kaum Adam,"gumamku sambil memerhatikan wajah Daniel yang semakin terlihat gusar seperti merencanakan sesuatu.
^^^
Aku sudah sampai di kelasnya, kelas masih terlihat sepi sekali, hanya beberapa siswa yang sudah berada di dalam kelas. Dua sahabatku saja belum terlihat di dalam kelas, apalagi Letta selalu saja kesiangan bangunnya. Aku membuka buku tugas matematika. Aku belum sempat mengerjakan tugas yang di berikan oleh Pak Affan karena semalam sempat ada kejadian yang membuatku takut di rumah paman..
Aki dengan cepat mengerjakan tugas matematika. Beruntung aku berangkat pagi sekali bersama Mbok Sanem, jadi aku bisa mengerjakan tugas matematika terlebih dahulu. Raka melihatku dari kejauhan, memang aku memilih duduk di pojok agar lebih tenang untuk mengerjakan tugas matematika. Aku sudah selesai mengerjakan tugas dari Pak Affan dan kemabali melihat Raka yang masih saja memandangku dari bangkunya. Aku melempar kertas yang aku remas-remas ke arah wajah Raka. Raka terjingkat karena aku melempar kertas di wajahnya.
"Pagi-pagi jangan melamun!" ucapku sambil berjalan ke arah bangkunku yang berada di depan bangku Raka.
"Bukan melamun, tapi aku sedang melihat wajah cantikmu, Dewi," ucap Raka.
"Huh...pagi-pagi sudah gombal aja!" tukasku pada Raka.
"Kamu tumben sekali berangkat pagi, Ka?" tanyaku
"Iya, pengen saja, aku bangun kepagian," jawab Raka
"Dew, sampai kapan kamu menolak ku untuk jadi pacarmu?" tanya Eaka
Aku terkekeh mendengar Raka berbicara dengan wajah yang memelas.
"Sampai kapan, ya? Aku belum ingin memilki pacar," ucapku.
"Pak Affan sepertinya suka dengan kamu, Dew," ucap Raka dengan raut wajah yang masam
Aku semakin terkekeh mendengar apa yang Raka katakan tadi, dia meninju lengan Raka yang duduk di sebelahnya.
"Ada-ada saja kamu, mana mungkin Pak Affan suka dengan aku? Ngarang kamu," ucapku dengan menyandarkan kepalaku di bahu Raka. Memang aku menganggap dia lebih dari teman, sahabat dan kakak tepatnya. Karena aku tidak mencintainya.
"Pak Affan bicara sendiri dengan ku kemarin," ucap Raka dengan nada yang lirih.
"Jangan mengada-ada, ah. Kamu sudah mengerjakan tugas dari Pak Affan?" tanyaku
"Buat apa ngerjain, males. Dia sainganku!" ucap Raka dengna kesal.
"Dasar pemalas!" umpatku dengan berkelakar di depannya karena melihat raut wajahnya semakin kacau.
"Saingan apa, hah?" tanyaku dengan tertawa.
"Saingan untuk mendapatkan hati Dewi Kinanti," jawab Raka.
"Dasar!" tukasku sambil menuju lengan Raka.
Aku lumayan lama mengobrol dan bercanda dengan Raka. Beban pikiranku menjadi berkurang karena mengobrol dan bercanda dengan Raka. Tak lama kemudian, Alleta, Rosa, dan Andre masuk ke dalam kelas. Letta dari tadi mengumpat karena aku tidak membalas pesan darinya juga tidak mengangkat telepon darinya.
"Enak ya…berduaan! Gue dari tadi telepon, chat, tak ada jawaban dari loe, Dew. Ternyata sedang asik berduaan di kelas!" umpat Alleta dari depan pintu kelasnya.
"Iya, loe kemana aja sih, Dew?" tanya Rosa.
"Maaf…maaf…gue dari semalam gak buka ponsel, nanti gue ceritain pas waktu istrahat," ucapki
"Mau cerita apa? Mau cerita loe jadian sama cowok tengil ini?" tanya Alleta dengan emosi.
"Enak aja, cowok ganteng gini, di bilang cowok tengil!" tukas Rak.
"Bukan, sebenarnya Gue….."ucapankh terhenti karena bel masuk telah berbunyi.
"Apa Dew?" tanya Alleta dengan penasaran.
"Ehh….minggir loe, gue mau duduk!" tukas Alleta pada Raka.
"Silahkan nona," ucap Raka dengan membungkukkan dirinya di depan Alleta.
"Ehh..lanjutin, loe mau ngomong apa tadi?"tanya Alleta padaku dengan penasaran.
"Gue tinggal di rumah Mbok Sanem sekarang," ucapku.
"Apa?" Alleta dan Rosa shocked mendengar aku tinggal di rumah Mbok Sanem.
"Iya, semalam paman ku…..ahh..nanti kita bahas di kantin, itu Pak Affan sudah datang," ucapku yang melihat Pak Dio sudah masuk kelas.
Jam pelajaran pun di mulai, Aku memerhatikan guru matematika ku yang sedang menjelaskan pelajaran di depan. Setelah itu, Pak Affan meminta semua siswanya mengumpulkan tugas kemarin. Pak Affan meneliti satu persatu tugas anak-anak Kelas IPA 1. Sudah hal biasa Pak Affan menemukan tugas yang masih kosong tanpa jawaban di buku tugas Alleta, Rosa, Raka, dan Andre. Pak Affan terlihat menggelengkan kepalanya, lalu beliau memanggil Alleta, Rosa, Raka, dan Andre untuk maju ke depan dan memberikan pelajaran untuk mereka.
"Sudah ku duga, pasti raut wajah Pak Affan berubah menjadi marah karena mereka," gumamku sambil tersenyum tipis pada Pak Affan.
Aku melihat sahabat-sahabatku yang bandel itu berjalan ke arah meja guru di depan. Aku hanya diam saja. Mereka sudah biasa seperti itu. Selalu tidak mengerjakan tugas di pelajaran apapun.
"Kalian tau, kenapa saya memanggil Kalian?" tanya Pak Affan pada mereka yang terdengar sangat keras sekali suaranya.
"Karena kami tidak mengerjakan tugas, pak," jawab mereka dengan kompak.
"Jawaban yang bagus. Oke, bapak tunggu kamu di ruangan bapak, setelah jam pulang!" titah Pak Affan dengan Tegas.
"Iya, pak," jawab mereka dengan menundukkan kepalanya.
Alleta dan Rosa tak habis-habisnya mengumpat kesal, memang itu kesalahan dirinya. Yah, bagaimana lagi, jiwa malasnya sudah hinggap di jiwa dan raganya kalau pelajaran matematika dan Fisika, terlebih kimia.
"Sialan, Affan! Masa pulang sekolah kita di suruh menemui dia di ruangannya," umpat Rosa
"Salah sendiri gak ngerjain tugas," ucapku dengan tersenyum.
"Apaan sih, coba kalau loe tidak mengerjakan tugas, loe pasti gak di marahin, Dew. Secara, Affan suka sama loe. Cinta sama loe." Alleta dengan kesal bicara seperti itu.
"Sudah, sudah, terima saja, toh loe pada yang salah, jadi jangan salahim gue," ucapku dengan tersenyum genit padanya.
Pak Affan berjalan ke arah mejaku. Dia mengembalikan buku tugasku. Pak Affan teesenyum seperti merasa puas dengan jawaban dariku.
"Dew, istirtahat nanti temui saya di perpustakaan, kita evaluasi sedikit soal olimpiade yang akan datang," pinta Pak Affan.
"Baik, pak," jawabku
Pak Affan melanjutkan pelajaran di kelasku hingga jam pelajarannya usai. Pak Affan selalu mencuri pandang padaku saat mengajar di kelasku. Hingga Raka geram dengan guru matematikanya itu, karena dia mencuri pandangku setiap detik. Raka menendang-nenadang bangku yang ku duduki. Aku tahu, dia kesal dengan Pak Affan yanh dari tadi memujiku di depan kelas.
"Apaan tuh guru, jelasin pelajaran matanya jelalatan," umpat Raka dengan lirih hingga sampai aku mendengarnya.
"Pakai ada acara menemui loe lagi, di perpus nanti." Raka semakin kesal karena Pak Affan mengajakku bertemu di perpustakaan untuk evaluasi olimpiade nanti.
"Hussss….jangan berisik. Loe ikut aja nanti ke perpus," ucapku pada Raka yang duduk di belakangku.
"Malas!" tolak Raka dengan nada kesal.
"Ya sudah," ucapku.
Aku melanjutkan memerhatikan Pak Affan menjelaskan pelajaran di depan. Aku akui, Pak Affan memang tampan sekali, dia juga baik sekali denganku. Tapi, aku menganggap Pak Affan hanya sebatas guru saja. Karena aku masih mengharap Mas Adrianku kembali.