Suara pintu kamar berderit lirih, Aku yang kala itu masih tertidur pulas di balut dengan selimut tebal di tubuhku. Aku hanya memakai tangtop dan hotpant lalu di selimuti selimut tebal. Sebuah tangan membuka selimut yang menyelimuti tubuhku, tangan itu menyibakkan selimut secara perlahan. Aku merasakan itu, tapi itu seperti mimpi. Selimut terbuka sempurna, terlihat lekuk tubuh seksiku dan dua gundukan sintal di dadaku. Terpampang sangat jalas.
Tangan itu menyentuh tubuhku dan dua gundukan sintalku. Ini benar-benar seperti mimpi, aku merasakan remasan demi remasan, dan aku seperti mengeluarkan desahan kecil. Aku mengerjapkan mataku, menyesuaikan bayangan yang ada di depanku. Aku langsung menepiskan tangan yang masih berada di dadaku dengan kasar. Dan, ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Pamanku melakukan ini lagi terhadapku. Aku menatap wajahnya yang dipenuhi nafsu birahi dan menyeringai dengan menatapku.
"Paman…! Mau apa Paman? Apa yang paman lakukan, pergi dari kamar Dewi…Pergi….!" Aku sadar dan berteriak namun tangan paman membekap mulut mungilku.
"Diam! Kalau kamu tidak mau paman sakiti dan tidak ketahuan bibimu!" ancam Paman Daniel yang masih membekap mulutku dengan satu tangan, dan tangan satunya meremas kembali dadaku.
Aku melenguh dan mrasakan sakit di dadaku. Aku tak kehilangan akal. Aku menggigit tangan Paman Daniel. Aku langsung mendorong paman, tapi usahaku sia-sia. Paman Daniel menindih tubuhku dan dengan kasar dia menyerang bibirku dengan bibirnya. Paman melumat habis bibirku sambil meremas dadaku yang sintal. Aku meronta-ronta, dan aku tak hilang akal lagi, aku menendang kemaluan Paman Daniel hingga dia tersungkur di lantai. Paman Daniel yang kesakitan itu segera pergi dari kamarku.
Aku langsung berlari menutup dan mengunci pintu kamarku. Aku menyandarkan diri pada daun pintu dan terduduk lemas di bawah, aku menangis dan memekik lirih. Aku merasa jijik sekali dengan perlakuan Paman Daniel, tidak hanya kali ini, setiap hari Paman Daniel terus mengincarku. Dia seperti mengincar umpannya untuk dimakan dan dinikmati.
Aku masih menangis, hanya air mata yang setia menemaniku. Aku memeluk kakiku sendiri dan menenggelamkan wajahku pada lututku.
"Kalau seperti ini, kenapa engkau tak mengambil nyawaku juga, Tuhan, mengapa Engkau membiarkan aku hidup sendiri seperti ini." Aku semakin terisak, karena ini sama sekali tak adil bagiku.
Aku menyulut sebatang rokok untuk menghilangkan rasa yang berkecamuk dalam pikiranku. Aku tak menyangka paman akan melakukan hal yang tidak senonoh seperti itu lagi. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya dan sekencang-kencangnya, namun mulutku terbungkam, hanya bisa berteriak di dalam hatiku yang tercabik-cabik oleh perasaan takut dan marah.
"Sakit? Iya, sakit. Perih? Iya, perih. Perih yang tak terluka dan Luka yang tak berdarah. Itu yang aku rasakan saat ini," gumamku dalam hati.
Aku mematikan rokokku dan beranjak dari dapan pintu, aku mencoba merebahkan diriku di tempat tidur, aku masih mengingat perlakuan paman tadi. Iya, Aku sering mendapatkan perlakuan seperti itu dari paman. Aku ingin sekali kabur dari rumah paman, tapi aku tidak bisa, karena hidupku bergantung pada Paman dan Bibi. Terlebih, sertifikat rumah milik orang tuaku di pegang paman.
Aku masih mencari cara, untuk memperoleh hak ku kembali. Apapun itu, aku akan lakukan untuk mengambil hak ku kembali dan keluar dari rumah neraka ini.
Batinku merasa tersiksa sekali, menjalani hidup yang kelam ini setelah kepergian papah dan mamah, juga adik yang aku sayangi. Tak terasa air mataku menetes lagi, mengingat kala aku hidup di kotaku, bersama keluargaku yang sangat harmonis. Merangkai cita-cita dengan indah dan tinggi. Mengidamkan sekolah di SMA favorit dan bisa kuliah di perguruan tinggi yang baik juga. Dan, menjadi ahli Fisika atau ahli Matematika.
Tak pernah terbesit di pikiranku untuk menjadi seorang pengusaha besar dan terkenal seperti papah. Aku ingin kelak bisa menjadi seorang ahli Fisika atau matematika. Ya, kadang juga aku ingin menjadi seorang guru MIPA. Namun, seketika rasa keinginan itu padam, saat papah menyuruh aku meneruskan perusahaannya kelak, dan mengambil jurusan bisnis saat kuliah nanti.
Walau terpaksa, aku mengiyakan papah. Hanya untuk membuat papah dan mamah tersenyum bahagia. Ya semua memintaku menjadi penenerus perusahaan papah yang besar itu.
Namun, itu semua hanya mimpi belaka, aku sudah tidak punya apa-apa. Jangankan perusahaan, rumah pun aku tak tahu bagaimana nasibnya. Dua rumah mewah papah, sebuah Villa mewah milik papah, dan perkebunanan teh milik mamah entah ke mana hilangnya saat ini. Lalu, perusahaan papah juga tidak tahu asal usulnya ke mana.
Pernah aku mendengar clentingan dari percakapan bibi dan paman, kalau mereka akan mengalihkan hak milik rumah, vila, dan perkebunan teh milik papah, menjadi milik mereka. Mereka juga sedang mencari tahu, siapa yang menghandle perusahaan papah saat ini. Aku bergitu terkejut mendengar itu semua. Aku tidak bisa membiarkan mereka merebut hak ku. Karana itu semua milik papah, peninggalan papah yang dengan susah payah papah bangun.
Perlahan bibi dan paman terus mendoktrinku, agar aku mau menuruti apa kata mereka. Aku selalu saja menghindar jika mereka sudah membicarakan soal itu. Dan, apa yang terjadi? Paman melakukan hal tidak senonoh lagi padaku, untuk melampiaskan hasratnya dan mengancam ku.
Seperti tadi, paman sering masuk ke kamarku. Paman sengaja tidak memberi kunci gerendel pada pintu kamarku. Itu semua karena supaya dia bisa leluasa masuk ke dalam kamarku dan menjalankan aksinya untuk memangsa tubuhku. Aku yang jika sedang lelah, aku tak kuasa menahan rengkuhan manusia busuk itu. Rengkuhan kuat yang menindih tubuhku. Aku hanya bisa pasrah. Dan yang aku jaga hanya keperawananku.
Jika paman sudah mulai membuka bagian bawahku, aku hanya memohon jangan melakukan itu. Aku menangis dan menjerit keras, saat sudah seperti itu. Paman yang ketakutan, karena takut terdengar oleh bibi akhirnya pergi keluar kamarku dan mengancam ku lagi.
Malam ini aku berani memberontak, berani kasar dengan pamanku. Aku tidak mau kalah dengan mereka. Cukup hak ku saja yang paman ambil. Tidak untuk keperawananku. Karena ini lebih berharga dari apapun. Bukan aku sok suci, ini semua aku lakukan karena aku ingin menjaganya dan memberikannya pada seseorang yang pantas aku berikan kelak. Ya, suamiku nanti, yang pantas menikmati semua ini.
Aku ingat kata papah, sebaik-baiknya perempuan adalah yang bisa menjaga kehormatannya. Tidak serta merta mudah memberikan mahkotanya pada laki-laki yang belum sah menjadi suaminya. Begitu pula seorang pria yang aku kenal setelah papahku. Pria itu yang meninggalkan pesan saat dia akan pergi mengikuti keluarganya ke luar kota. Dia berpesan agar aku bisa menjaga diri, karena wanita yang suci akan di mudahkan segalanya dalam segala hal apapun. Iya, suci di situ memiliki arti, menjaga kehormatannya sebagai perempuan. Yakni menjaga keperawanannya.