Chapter 1
Setelah berdoa dan menabur bunga di makam ibu dan ayah tirinya, Reyn terdiam cukup lama memandangi dua makam tersebut dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Sudah satu tahun lamanya ia hidup seorang diri setelah ibu dan ayah tirinya mengalami kecelakaan. Meskipun waktu sudah banyak berlalu, tetapi tidak bisa dipungkiri jika duka dan rasa kehilangan itu masih ada sampai saat ini. Karena ia tidak hanya kehilangan sosok ibu yang kuat, tetapi ia juga kehilangan sosok ayah yang hebat dalam hidupnya. Dua orang yang disayanginya pergi sekaligus meninggalkannya seorang diri. Dan itu bagaikan pukulan terberat dalam hidupnya.
Walaupun pria itu bukan ayah kandungnya, tetapi beliau justru menganggap dirinya seperti putri kandungnya sendiri, dan memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan, beliau juga memberikan kasih sayang dan pelukan hangat seorang ayah yang selama ini belum pernah ia rasakan. Dan tidak pernah ia dapatkan dari ayah kandungnya sendiri. Karena dari kecil, ia sudah ditinggalkan oleh ayah kandungnya yang justru lebih memilih pergi bersama selingkuhannya.
Itulah kenapa ia sangat menyayangi ayah tirinya melebihi ayah kandungnya sendiri. Bahkan ia masih sangat terpukul saat mengingat kembali semua kebaikan dan kenangan bersama dengan beliau.
"Papa sama Bunda jangan khawatir, karena Reyn di sini hidup dengan baik. Jadi kalian juga harus tenang dan bahagia di surga," ungkapnya tersenyum.
Reyn mulai bercerita tentang banyak hal seperti biasanya ketika berkunjung ke makam ibu dan ayah tirinya. Dan setelah cukup lama bercerita, Reyn akhirnya berpamitan untuk pulang ketika hari sudah semakin siang.
"Pa, Bun, Reyn pamit pulang, ya? Nanti kalau hari libur, Reyn akan datang lagi ke mari," pamit Reyn dengan nada suara rendah.
Kemudian wanita itu berdiri dan pergi meninggalkan makam. Tetapi saat beberapa langkah berjalan, langkah Reyn tiba-tiba terhenti saat berpapasan dengan seorang laki-laki bertubuh tegap yang ada di hadapannya saat ini. Meskipun mata tajamnya tertutup kaca mata hitam, tetapi Reyn masih bisa mengenali wajah pria itu.
Reyn hanya menatap pria itu sejenak sebelum akhirnya dia kembali melangkah dan melewati pria itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia tidak lagi menyapa dan tersenyum seperti dulu, walaupun sudah mengetahui jika pria itu adalah kakak tirinya.
Juna hanya berdiri dengan raut wajah datar tanpa ekspresi saat mendapati adik tirinya melewatinya begitu saja tanpa mengatakan apa pun.
"Reyn." Suara berat Juna menghentikan langkah Reyn.
"Mari berbicara setelah ini," pungkas Juna dingin tanpa menoleh ke arah Reyn.
Sedangkan Reyn hanya diam tanpa membalik tubuh seakan dia tidak ingin melihat wajah Juna. Begitupula dengan Juna yang masih membelakangi Reyn.
*****
"Mau pesan apa?" tukas Juna datar saat membuka buku menu yg diberikan oleh pelayan.
"Jus jeruk saja," sahut Reyn.
"Menu?" tanya Juna tanpa menoleh ke arah Reyn dan terlihat sibuk memilih menu makanan
"Aku masih kenyang."
Tangan Juna yang tengah membalik lembaran buku menu tiba-tiba terhenti. Kemudian dia menengadah menatap Reyn tanpa ekspresi.
"Aku yang akan bayar, jadi bilang saja apa yang ingin kamu makan," pungkasnya dingin.
"Bukan masalah siapa yang akan bayar. Tapi memang aku tidak lapar," balas Reyn ringan.
"Setidaknya hargai orang yang sudah berniat baik ingin membayar makanan kamu. Menolak sama saja dengan kamu tidak menghargainya."
"Apa susahnya meluangkan waktu sebentar hanya untuk makan siang bersama? Lagipula kita juga tidak setiap hari bisa seperti ini," imbuhnya datar.
Reyn terdiam sejenak sembari menatap kedua bola mata Juna lurus.
"Chicken drumstick," ujar Reyn.
Juna kemudian memanggil seorang pelayan untuk mencatat pesanannya.
"Aku dengar, restoran tempat kamu kerja akan segera ditutup," ujar Juna tiba-tiba.
"Iya, restoran bangkrut karena setiap tahun pengunjung semakin berkurang. Dan akhir-akhir ini restoran juga sepi," sahut Reyn dengan nada suara rendah.
"Datang ke kantorku besok pagi jam delapan, jangan sampai terlambat," tukas Juna lugas.
"Kenapa aku harus datang?"
"Aku akan memberi kamu pekerjaan."
"Aku sudah melamar pekerjaan di restoran lain," ungkap Reyn.
"Berapa gaji kamu sebulan? Aku akan membayar tiga kali lipat."
"Perusahaan Kakak tidak butuh chef," sahut Reyn ringan.
"Aku memang tidak butuh chef, tapi butuh asisten."
"Aku tidak berpengalaman kerja di perusahaan."
"Terlalu banyak alasan," desis Juna dingin.
"Aku hanya tidak ingin mengecewakan Kakak. Karena masih banyak orang di luar sana yang jauh lebih berkompeten dibandingkan aku," ungkap Reyn tenang.
"Empat kali lipat," tukas Juna tegas.
"Aku tidak bisa," sahut Reyn.
"Lima kali lipat!" desis Juna dengan nada suara sedikit tinggi.
Kali ini pria itu tampak kehilangan kesabaran dan tidak bisa mengontrol ekspresinya.
Reyn menatap Juna dengan raut wajah tenang. "Ini bukan masalah uang."
"Kalau begitu jelaskan alasannya!" desis Juna tegas.
"Sudah aku bilang, itu bukan bidang aku," jawab Reyn dengan raut wajah tenang.
"Kamu menolak karena sengaja menghindari aku, kan?" tukas Juna dengan suara berat.
"Itu juga kenapa kamu memilih pergi dari rumah," sambungnya.
"Aku pergi karena tidak ada alasan lagi aku tetap berada di sana. Dan lagi aku juga sudah cukup dewasa untuk tinggal sendiri," jelas Reyn.
Juna tersenyum arogan. "Sekarang lihat keadaan kamu setelah pergi dari rumah. Tinggal di rumah kecil dan hidup serba kekurangan. Bukankah itu menyedihkan?" tukasnya sinis.
"Bukannya ini yang Kakak inginkan? Dari dulu kan Kakak ingin aku pergi. Dan sekarang keinginan Kakak sudah terwujud. Jadi seharusnya Kakak senang," pungkas Reyn tanpa ekspresi.
"Menyedihkan atau tidak itu hanya aku yang merasakannya. Lagipula Kakak juga tidak tau keadaan aku yang sebenarnya," sambungnya.
Juna seketika terdiam dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak.
"Aku tidak pernah menyuruh kamu pergi," ujar Juna dingin.
"Walaupun Kakak tidak menyuruh aku pergi, tapi aku juga sadar diri. Aku ini bukan siapa-siapa, keberadaan aku juga tidak pernah dianggap. Selama ini juga Kakak tidak pernah menerima aku sebagai saudara. Walaupun aku sudah berusaha bersikap baik, tapi Kakak tidak pernah melihat aku. Padahal aku mengakrabkan diri karena menghargai papa. Tapi yang ada di pikiran Kakak, aku melakukan itu hanya karena ingin mencari perhatian. Itu kenapa Kakak semakin benci dengan aku. Apalagi setelah bunda dan papa meninggal, aku seperti orang asing. Dan kalau aku tetap tinggal di rumah itu, bukankah aku akan semakin buruk di mata Kakak? Apalagi sejak awal Kakak tidak pernah menyukai kehadiran aku dan bunda."
"Kakak selalu menganggap aku dan bunda hanya benalu yang harus disingkirkan. Padahal kami tidak pernah sedikitpun berniat buruk untuk mengambil harta papa. Bahkan saat papa meninggalkan warisan untuk aku, aku tidak pernah meminta dan mempermasalahkannya. Karena dari awal itu semua milik Kakak, dan aku tidak berhak menerimanya sedikit pun. Dan lagi, aku juga tidak ingin mengambil apa yang bukan menjadi milik aku. Tapi walaupun aku tidak pernah ingin mengambil alih posisi Kakak, tetap saja aku sudah terlanjur dianggap buruk oleh Kakak. Itu kenapa akhirnya aku memilih pergi dari rumah. Karena aku masih tau diri," jelas Reyn.
Juna hanya diam dan tidak mencoba untuk membalas ucapan Reyn yang memang benar apa adanya. Sejak awal ia memang tidak pernah menyukai keberadaan Reyn dan ibu tirinya. Bahkan ia sering kali memperlakukan Reyn dengan buruk, dan tidak pernah bersikap baik kepada adik tirinya tersebut.
Mereka berdua sama-sama terdiam, dan tidak ada salah satu dari mereka yang mencoba untuk membuka pembicaraan. Sampai akhirnya pesanan mereka telah tiba. Dan mereka mulai sibuk menyantap makan siang mereka tanpa berbicara sedikit pun.
Beberapa saat kemudian, Juna dan Reyn telah selesai menghabiskan makan siang mereka.
"Terima kasih untuk makan siangnya," tutur Reyn sopan.
Juna menatap Reyn intens. "Kamu sudah banyak berubah," tukasnya datar.
Reyn terdiam menatap Juna dengan tatapan lurus sebelum akhirnya dia tersenyum. "Apa Kakak lupa? Dulu aku orangnya periang, sampai akhirnya aku bertemu dengan Kakak," tukasnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
TBC.