Chapter 12

1232 Kata
Semua pasang mata memandang ke arah Dhafa yang sudah beberapa hari ini terlihat lebih pendiam. Moren sebagai istri Dhafa penasaran apa yang mengganggu pikiran dari suami keduanya itu?   Moren semenjak menikah tidak pernah tidur dengan Dhafa. Selalu menghabiskan waktu malamnya dengan Dhafin, sedangkan waktu siangnya Moren menghabiskannya bersama Ara dan Pia. Keluarga Alsa lainnya sibuk bekerja.   "Dhafa,"   Dhafa menoleh kepada Daddy-nya yang menatap dirinya dengan tatapan bertanya.   "Ya," Dhafa menjawab singkat tanpa semangat sama sekali.   Kelvin memerhatikan anaknya ini. Ada apa dengan Dhafa? Beberapa hari ini Dhafa sering pulang larut malam dan kalau pulang itu pun ia langsung masuk dalam kamar dan mengurung dirinya.   Semua keluarga Alsa juga menatap bingung pada Dhafa. Temasuk Dhafin, biasanya kalau di mansion Dhafa akan menjadi sosok ceria, murah tersenyum, humoris, dan tidak akan memperlihatkan sisi gelapnya. Dhafin sudah bersama dengan Dhafa sedari kecil bahkan sedari dalam kandungan. Keresahan yang dirasakan oleh kembarannya, juga berakibat pada Dhafin tersendiri.   Benar kata orang-orang, kalau bersaudara kembar itu merasakan sakit, senang, dan rasa lainnya dari saudara kembar kita sendiri.   "Kau kenapa? Tidak biasanya kau pendiam seperti ini." Kelvin bertanya, menatap putranya penuh selidik.   Dhafa berusaha tersenyum namun tetap tidak bisa. Biasanya ia bisa memasang topeng di hadapan para keluarganya, kenapa beberapa hari ini tidak bisa? Ucapan Melody beberapa hari yang lalu masih terngiang-ngiang di telinganya.   Seharusnya ia tidak terlibat perasaan pada Moren. Dengan takut kehilangan Moren namun masih mencintai Sierra. Dhafa bingung pada dirinya sendiri dan juga takdir yang di hadapinya sekarang.   "Aku tidak apa-apa. Hanya saja, beberapa masalah di rumah sakit jadi terbawa ke rumah." Dhafa berkilah, ia tidak boleh memperlihatkan sisi lainnya di hadapan keluarganya. Dhafa kadang-kadang tidak bisa mengontrol emosinya bila terlalu memikirkan tentang Sierra dan rasa bersalahanya.   "Benar? Rasanya Moma merasakan kau menyembunyikan sesuatu," Ara merasakan kalau anaknya ini menyembunyikan sesuatu. Perasaan seorang Ibu sangatlah peka terhadap anaknya.   Dhafin yang berada di samping Dhafa kelagapan, jangan sampai saudara kembarnya disudutkan oleh keluarganya. Dhafin memang tidak tau apa permasalahan dari saudara kembarnya itu. Selama ini Dhafa persis seperti dirinya, pintar menyembunyikan sesuatu. Dhafa juga pinta memakai topeng seperti dirinya, akan berubah menjadi Dhafa yang ceria, tertawa, dan humoris.   Namun, ntah mengapa? Sekarang Dhafa menunjukkan sisi gelapnya, dengan lebih banyak pendiam dan melamun.   Dhafin risau, melihat keadaan saudara kembarnya ini. Pasti ada yang menganggu pikiran Dhafa sehingga Dhafa tidak memasang topengnya.   "Benar, aku hanya sedang banyak masalah saja," Dhafa tersenyum tipis, menghentikan kunyahan makanannya dan meletakkan sendok di atas piring tanpa menyentuhnya kembali.   "Dhafa permisi dulu," Dhafa beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju halaman belakang mansion.   Moren memerhatika Dhafa sedari jauh, ia ikut beranjak dari kursinya dan berjalan mengikuti langkah Dhafa dari belakang. Keluarga Alsa yang lain, hanya diam saja. Biar Moren berbicara denga Dhafa. Walau Dhafin ingin sekali berbicara dengan saudara kembarnya itu. Tetapi Dhafin menghormati Moren sebagai istrinya sekaligus istri Dhafa.   Moren memerhatikan Dhafa yang berjalan menuju sebuah danau buatan. Moren baru tau, kalau di mansion ini ada sebuah danau buatan. Mungkin dirinya harus meminta bantuan salah satu Maid, untuk mengajak dirinya berjalan-jalan mengelilingi mnsion.   "Mel!!"   Moren mendengar suara teriakan Dhafa memanggil seseorang, siapa yang dipanggil oleh Dhafa?   Moren sungguh penasaran, apalagi melihat suaminya duduk di atas sebuah kursi kayu dengan mengusap wajahnya beberapa kali. Ada apa dengan Dhafa? Moren terus bertanya dalam benaknya. Suaminya terlihat sangat berantakan, seperti seseorang yang butuh sandaran dan pelukan hangat.   Moren mencoba memajukan langkahnya mendekati Dhafa.   "Kenapa kau ke sini?" Moren terkesiap ketika Dhafa menoleh ke arahnya.   Moren memegang rambutnya dan pura-pura merapikan rambut hitam panjangnya.   "Aku—hanya ingin melihatmu saja," Moren tersenyum dan berjalan mendekat ke arah Dhafa.   Dhafa menatap ke arah lain, tanpa ingin menatap ke arah Moren lagi. "Masuklah, kau sedang hamil." Dhafa mengusir Moren secara halus. Saat ini Dhafa hanya butuh Melody, sebagai pendengar yang baik dan mencurahkan isi hatinya.   Isi hati yang gelisah dan bimbang. Ingin melepas Moren untuk Dhafin namun ia tidak bisa. Ingin mempertahankan Moren di sisinya, Dhafa masih sangat mencintai Sierra.   Dhafa membenci takdir dan hatinya. Seharusnya sebagai lelaki, dia bisa memutuskan apa yang terbaik untuknya. Tetapi sampai sekarang dia belum memiliki jalan terbaik. Hanya jalan penuh dosa dan kegelapan.   "Aku tidak mau," Moren mengambil duduk di sebelah Dhafa. "siapa yang kau panggil tadi?" Moren bertanya kepada suaminya ini. Moren tidak melihat siapa-siapa di danau ini. Jadi, siapa yang dipanggil oleh suaminya?   Dhafa tersenyum kecut. Wanita yang menjadi istrinya ternyata cerewet dan tipe penasaran juga. "Aku tidak ada memanggil siapa-siapa, kau mungkin salah dengar." Dhafa mengelak, tidak mungkin dirinya menceritakan kepada Moren kalau ia bisa melihat makhluk halus dan bersahabat dengam makhluk tersebut.   Moren memicing kepada Dhafa, rasanya Dhafa tadi benar-benar memanggil nama sesrorang. Moren tidak mungkin salah dengar. Pendengaran Moren masih sangat tajam, setajam perasaannya merasakan keganjilan pada Dhafin dan Dhafa.   "Aku tidak mungkin salah dengar. Kau seperti memanggil seseorang, dengan sebutan, Mel."   "Tidak ada, Moren. Lebih baik kita masuk ke dalam sekarang, seorang Ibu hamil tidak boleh menikmati angin malam yang sejuk seperti ini." Dhafa menggenggam tangan Moren.   Deg.   Dhafa merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Ada apa ini? Dia hanya menggenggam tangan Moren, bukan mencium atau bercinta dengan Moren. Dhafa menggeleng, menepis semua prasangka dalam hatinya.   Moren adalah istri sah dari Dhafin. Semua masyarakat di dunia ini juga tau kalau Moren adalah istri Dhafin bukan istrinya. Ada rasa sakit, marah, dan kecewa dalam hatinya. Dhafa berharap kalau dirinya menjadi suami sah Moren di hadapan publik dan catatan sipil. Tetapi rasanya sangat mustahil.   Moren tersenyum melihat genggaman tangan Dhafa pada tangannya, ada secuil harapan dalam hati Moren. Agar malam ini ia tidur bersama Dhafa bukan bersama Dhafin.   Bukannya Moren tidak mau tidur dengan Dhafin. Namun, semenjak menikah dengan Dhafa, Moren belum pernah tidur dengan suami keduanya itu.   Moren pernah mendengar curhatan dari Ibu mertuanya. Kalau Ibu mertuanya bergantian tidur dengan kedua suaminya dahulu, kalau sekarang Ibu mertuanya sudah tidur sekamar dengan kedua suaminya.   Moren ingin seperti Ibu mertuanya. Bisa merasakan kasih sayang dari dua pria sekaligus.   "Aku antar kau ke kamar Dhafin. Aku masih ada beberapa pekerjaan," Dhafa berucap tanpa melihat ekspresi kecewa dari istrinya ini.   Moren mengedipkan matanya beberapa kali. Menghalau air mata yang akan segera muncul ke permukaan. Dhafa lagi dan lagi, menolak tidur bersama dengannya, apakah ia tidak pantas menjadi istri Dhafa? Moren menggeleng, ia harus berpikir positif jangan menilai Dhafa tidak-tidak.   "Dhafa, aku ingin tidur bersamamu," ucap Moren.   Dhafa menghentikan langkahnya, menatap Moren dengan tatapan terkejut. Selama beberapa hari ini Moren tidak pernah protes kalau ia dan Moren tidak tidur bersama. Dhafa selalu mencari cara agar Moren tidur bersama Dhafin. Dhafa masih bimbang dan kalut dengan perasaannya sendiri.   "Kau—" Dhafa menghentikan ucapannya, ketika melihat air mata Moren jatuh setetes. Sekejam itukah dirinya? Membuat istrinya menangis, hanya karena Dhafa tidak mau tidur dengan Moren.   Dhafa menghapus air mata Moren dengan lembut. "Maaf, aku memang bukan pria baik. Malam ini kita tidur bersama," ucap Dhafa tersenyum tulus pada Moren. Setelah sebelas tahun lamanya, baru kali ini Dhafa bisa tersenyum tulus kembali pada seseorang.   Moren membalas senyuman Dhafa. "Benar? Aku ingin dipeluk dan dicium," Moren bergelayut manja pada lengan Dhafa.   Dhafa tertawa melihat kelakuan istrinya ini. Setelah beberapa hari ia tidak tertawa, sekarang ia sudah bisa tertawa lagi. Bukan tawa palsu seperti biasa ia tampilkan, ini adalah tawa tulusnya.   Dhafa terdiam sejenak, memikirkan kejadian beberapa saat lalu. Moren berhasil membuat dirinya lupa akan Sierra sang kekasih. Apakah ia benar-benar menyukai Moren? Dhafa menggeleng. Tidak! Dia tidak menyukai Moren. Hanya ada Sierra, Sierra, Sierra, dan Sierra dalam hatinya bukan Moren.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN