Tale 13

2136 Kata
Bibir gue sampai termonyong - monyong. Dari tadi pagi — abis kabur maksudnya — gue udah mikirin masalah ini sampek pusing. Gue pengen banget ngelakuin itu. Tapi tepat atau nggak sikonnya, ya, kira - kira? Ntar dia malah nggak mau ngakat lagi! Gue lihat lagi nomor HP dia di kontak. Tertuliskan nama Siva di situ. Hm, telepon aja, deh. "Halo," sapa sebuah suara di seberang sana. Omaigat! Meski pun suaranya agak cempreng - cempreng gimanaaaa gitu, tapi gue suka. Menurut gue, ini adalah suara termerdu yang pernah ada. "Hai, lagi apa nih?" Gue mulai basa - basi. "Ini siapa?" Siva kebingungan. Oh iya, gue lupa. Dia, kan, belum tahu nomor gue. "Eh, ini Naga, Siv. Yang kemarin lusa itu, loh." "Oh, Naga. Kenapa, Ga?" "Nggak kenapa - kenapa. Mau ngobrol aja sama lo." "Oh ...." "Lo lagi apa?" "Lagi nunggu jemputan. Barusan kelar kuliah, nih." Ting ... kesempatan! "Gimana kalo gue jemput aja, Siv!" "Nggak usah, Ga. Udah telanjur telepon rumah." "Batalin aja, deh. Gue pengen jemput lo. Ya?" Satu detik, dua detik, tiga detik .... "Iya, deh," ujar Siva akhirnya. YESSSSSSSSSSSSSSS. Gue jejingkrakan sendiri di dalem mobil. Sip ... betewe lo kuliah di mana?" "Di Universitas Nusantara PGRI." "Oke, gue otewe!" Ternyata nggak seribet yang gue kira. Nggak setimpal sama pertimbangan - pertimbangan konyol gue sebelum nelepon dia tadi. Enaknya gue ajakin ke mana si Siva, ya? AHA ... Gue tahu! *** Siva bantuin milih - milih beberapa potong kaos buat gue. Selera dia bagus juga tenyata. Tanpa pikir dua kali, gue langsung ambil aja tujuh buah kaos yang dia pilih buat gue. Ya, secara gue kabur tadi, kan. Gue cuman bawa baju yang nempel di badan ini. "Serius mau beli sebanyak itu?" Siva terlihat shock lihat gue bawa 14 potong kaos, tiga potong jeans, dua jaket, dua pasang sepatu, dan beberapa daleman. "Hehe, serius lah, Siv. Gue tadi, kan, bilang kalo gue lagi kabur. Nggak lucu kalo gue pake baju ini terus selama kabur?" "Ckckck, emang mau rencana kabur berapa hari, sih?" "Uhm ... nggak tahu juga, ya. Lihat ntar aja." "Terus lo tinggal di mana, Ga?" Gue hanya mengangkat bahu nanggepin pertanyaan terakhir Siva. Karena gue sendiri emang belum tahu mau nginep di mana. Gue lalu numpahin segala macem belanjaan dari troli ke kasir. Mbak kasirnya sampai pada bingung mau ngitung dari mana dulu. Gue senyum - senyum sama sepengetahuan Siva. Habis ini gue bakal ngajak dia makan bareng. Untungnya Siva adalah cewek super baik yang nggak gampang curiga. Jadi, dia nggak sadar kalo gue lagi berusaha ngambil kesempatan dalam kesempitan. Hihi. *** Ya elah ... apes! Ban gue bocor. Padahal gue mau refreshing ngilangin penat malem ini. Mana bocornya di sini lagi — di depan rumah sakit terbesar di kota ini -- namun letaknya agak jauh dari bengkel - bengkel. Apa lagi nyari tambal ban mobil di sini lumayan susah. Harusnya gue bawa ban serep. Sialan, emang! Gue layangkan pandangan ke setiap sudut. Berharap bakal ketemu sama orang yang gue kenal buat nolongin gue. Di seberang, ada alun - alun, di depannya jalan raya rame banget. Dan di sebelah gue ini rumah sakit yang GGUEEEDDDEEE BANGET. Mata gue nggak sengaja nangkep sesuatu yang nggak asing. Tepatnya di parkiran rumah sakit ada mobil yang gue kenal. Eh, maksudnya mobil yang familiar. Nah loh, bener, kan! Gue lihat Uki yang baru mau masuk ke rumah sakit. Kayaknya gue jodoh banget sama mobilnya Uki. Gampang banget ketemu kalo lagi di jalan. Ngapain dia di sini? Apa dia masih sakit? Ah, nggak, ah. Ini, kan, udah dua minggu berlalu sejak kejadian itu. Lagian rumah sakitnya, kan, beda. Dulu itu di rumah sakit kecil di deket kompleknya Siva. Nah ini? Berpuluh - puluh kilo meter jaraknya dari sana. Tapi bodo amat! Toh ngapain juga gue malah bahasa si Uki? Sekarang bukan waktunya bahas dia. Tapi waktunya cari orang buat nolongin gue. Tiba - tiba gue ada ide. Di saat kepepet seperti ini lah, otak encer gue berfungsi. Gue manfaatin si Uki aja buat nolongin gue, itung - itung balas budi. "Ki, Uki!" Gue lari cepat hampirin dia. "Lhoh, Naga?" kagetnya. "Iya ini gue. Lo ngapain di sini?" "Habis check up!" "Habis? Bukannya lo baru mau masuk?" bingung gue. "Iya ...." Uki berhenti ngomong. Kenapa, sih, dia? Kok kayanya lemes banget? "Iya ...." Dia lanjut ngomong. "Gue mau balik lagi ke dalem. Ada yang ketinggalan." "Lo nggak apa - apa, Ki?" Pertanyaan gue agak nggak nyambung sama jawaban terakhir Uki. Tapi bodo amat! Gue serius nanyak, karena Uki sekarang kelihatan lagi sakit banget. "Gue nggak apa - apa." Lhoh, lhoh ... si Uki tiba - tiba terhuyung ke arah gue. Gue buru - buru nahan badan dia biar nggak beneran ambruk ke lantai. Gue papah dia — yang udah setengah nggak sadar — ke bangku yang ada di depan loby. Hadeh ... niatnya gue yang mau minta pertolongan, kok malah gue yang nolongin? "Barang lo yang ketinggalan di mana? Biar gue ambilin!" tawar gue. Baik banget, kan, gue ini? "Nggak usah. Lo bantuin gue jalan buat ngambil itu barang aja!" "Tapi, Ki, lo aja lemes begini. Gimana mau jalan sendiri? Sekalipun nanti gue bantu, kayaknya ...." "Barang gue ketinggalan di tempat yang nggak umum, Ga. Nanti lo pasti kesulitan carinya. Agak jauh dari sini juga!" "Y - ya udah, deh." Sekarang gue mulai papah dia lagi. Nggak sepenuhnya mapah, sih. Lebih tepatnya, dia itu gue tuntun jalan. Gue itu layaknya anak kecil yang lagi main boneka. Gue jalanin boneka itu pake TENAGA gue. Lagian mana ada boneka yang punya tenaga? Idup aja kagak! Astaghfirulloh ... inget, Ga ... ini orang lagi sakit! Tapi si Uki ini emang batu, sih. Udah tahu lagi sakit, malah sok - sok - an pengen jalan sendiri. Coba aja gue lepasin, pasti langsung ambruk. Tapi anehnya, gue mapah dia, kok, sama sekali nggak keberatan, ya? Emang, sih, dia kurus. Tapi, kan, nggak harus seringan ini juga kali! Dia, kan, cowok! Waktu itu pas gue gendong dia — pas dia pingsan habis mutusin Siva — badannya juga kerasa enteng banget. Gue ikutin kemana pun kaki Uki melangkah. Gue sebenernya nggak tega lihat dia. Udah lemes, keringetan, pucet lagi. Orang - orang yang ada di sepanjang koridor ngelihatin kita. Pasti mereka ngerasain hal yang sama kaya gue. Kasihan. Berkali - kali ada suster yang nawarin kursi roda, tapi ditolak mentah - mentah sama si Uki. Dasar, Belagu! Sampai di depan toilet cowok, Uki ngelepasin pegangannya dari gue. Dia lalu berjalan sempoyongan sambil pegangan tembok. Huah ... apanya, sih, yang ketinggalan? Kayaknya penting banget, sampek bela - belain balik! Mana ketinggalannya di toilet lagi! Iya kalo ketinggalannya di toilet lantai satu. Ini di lantai tujuh. Pantes aja si Uki nolak gue ambilan tadi. Ngomong - ngomong dari tadi, kok, gue banyak banget bacotin Uki, ya? Daripada kebanyakan bacot terus, gue ngikutin dia masuk toilet. Soalnya kalo dia kenapa - kenapa, gue yang jadi tersangka, nih. Sekali lagi, karena gue yang ada sama dia sebelum dia ke mana - mana. Bukti sidik jari gue di badan dia ada banyak. Mana saksinya banyak lagi! Mana banyak CCTV di sepanjang koridor dan sudut rumah sakit lagi! Si Uki lagi muntah - muntah dasyat banget di wastafel. Untung toilet lagi kosong. Kalo nggak, bisa disangka ngapa - ngapain dia gue. Ini anak ... kenapa lagi coba? Nggak bosen - bosennya kasih gue shocking experience! Gue urut - urut tengkuk Uki. Berharap meringankan beban dia. Meskipun kayaknya sia - sia. "Ki, darah, Ki! Hidung lo berdarah!" seru gue yang sekali lagi KAGET BANGET. Uki langsung ngambil beberapa helai tisu di sampingnya. Dan selanjutnya dia pakek tisu - tisu itu buat ngelap darahnya "Lo nggak apa - apa, Ki?" Lagi - lagi gue tanya. Pertanyaan gue retoris? Emang. Gue juga tahu, kok. Gue cuman bingung harus ngomong apa lagi. Gue terlalu cengo. Gue panik. Kayaknya si Uki bener - bener udah kehabisan tenaga. Dia jatuh ke lantai. Gue langsung buka keran buat bersihin sisa muntahan dia di wastafel. Setelah itu gue jongkok di depan dia. "Ki, gue ambilin kursi roda aja, ya. Biar gue bawa ke salah satu dokter di sini. Kayaknya lo harus opname, deh," ucap gue layaknya tenaga medis profesional "Nggak usah. Gue di sini aja. Bentar lagi juga baikan. Gue - nya aja yang bego. Seharusnya tadi gue stay di sini sampek efeknya ilang. Bukannya malah maksain turun, dan repotin lo kayak gini." "Efek?" Gue ngulangin salah satu pernyataan Uki. "Iya," jawabnya. Efek apaan coba? Gue batin sendiri. Aih ... bodo amat! Ngapain gue ngurusin saingan? "Oh iya, barang lo ketinggalan di mana? Biar gue ambilin!" "Tuh ...." Uki menunjuk buntelan yang dibungkus pakek tas kresek putih di samping wastafel. Gue langsung beranjak dan mengambil buntelan itu. Gue penasaran apa isinya. Tapi ntar dulu, deh. Kayanya si Uki butuh diamankan. Gue bantuin dia berdiri, dan kita jalan bareng ke sudut toilet. Di sini si Uki, kan, bisa nyender di tembok. Seenggaknya dia jadi lebih nyaman, lah. Setelah mastiin si Uki pewe, gue ngikut nyender di tembok sebelah dia. Bermenit - menit berlalu. Kita nggak ngobrol apa - apa lagi. Sesekali ada orang masuk, dan dengan tatapan heran, mereka lihatin kami. Pasti mereka ber - negative thinking ria tentang kami. Mereka pasti nyangka bahwa kami adalah sepasang maho. Demi apa gue rela mempertaruhkan reputasi gue demi nolongin saingan? Gue inget dengan rasa penasaran gue sama buntelan ini. Secara sembunyi - sembunyi, gue mula buka buntelan ini. "Lo ngapain, Ga?" tanya Uki. Mampus! Gue kaget! "Eh, nggak. Gue lagi ngambil HP!" "Jangan bohong. Kalo lo mau lihat isinya, lihat aja!" "Hehe ...." Gue nyengir gaje gara - gara ketangkep basah. Gue langsung buka si Buntelan. Ada 3 botol obat di sana. Namanya susah - susah banget. Jadi nggak usah gue sebutin apa itu, daripada salah. Tapi ada satu hal lain yang bikin gue lebih penasaran. Adalah map coklat yang sekarang gue pegang ini. "Ini hasil pemeriksaan lo, ya?" "Iya. Pemeriksaan terakhir tentang perkembangan penyakit gue!" Penyakit? Kok serem, ya! Tapi gue masih nggak berani nanya. "Lo lihat aja sendiri, Naga!" Gue buka map itu cepet - cepet. Dan segera gue baca. Ya Tuhan! Gue cengo. Sumpah. Kali ini gue bener - bener kaget. Nggak nyangka. "Jadi lo ...?" "Iya." Uki Cuma senyum setelah bilang begitu. "Udah setahun ini, Naga. Makanya gue udah nggak pernah nongol di TV lagi. Gara - gara gue harus berobat. So, gue milih buat ngisi acara off air aja buat nutupin biaya pengobatan gue." "Oh ... gue ngerti. Lo mutusin Siva juga gara - gara ini, kan?" Uki mengangguk. "Kenapa lo nggak kasih tahu dia aja, sih, Ki?" "Nggak, Ga! Siva itu udah terlalu banyak berbuat baik sama gue. Gue nggak mau bikin dia sedih, dengan tahu bahwa gue ini penyakitan." "Tapi dia bakal lebih sakit kalo dia tahunya belakangan. Sementara bagi dia, lo itu adalah salah satu orang terpenting di hidupnya." "Gue tahu, Naga! Makanya gue nggak pengen dia nangisin gue, nanti pas gue udah mati. Dan lebih baik kita putus sekarang." Gue nggak ngerti sama jalan pikiran ini orang. Dasar aneh! Well, alih topik lebih baik kayaknya. Daripada gue ngutukin dia terus! "Kenapa ini tadi bisa ketinggalan, sih?" Gue angkat buntelan dan seluruh isinya. "Tadi gue abis muntah di sini. Kayak barusan itu." "Oh, gue ngerti sekarang. Muntah lo karena efek kemo, kan?" "Iya." "Lo udah berapa kali di - kemo?" tanya gue lagi. "Dua kali." "Baru dua? Bukannya seharusnya udah sering? Lo, kan, udah setahun sakitnya?" "Iya. Tapi gue baru kemo dua bulan ini. Butuh persiapan mental buat ngejalanin ini semua, Ga. Gue dulu bener - bener nggak bisa bayangin kalo setiap habis kemo, gue harus begini. Makanya dulu gue cuman rawat jalan." "Tapi gara - gara itu juga sekarang stadiumnya jadi cepet parah, kan. Udah stadium akhir, Ki!" "Gue tahu kok" Nada bicara Uki memelan. Dan gue bego banget. Ya Tuhan ... kenapa gue bego? Udah tahu dia sakit, kenapa malah gue introgasi kaya gitu tadi? Sial. Dasar bego! Bego! Bego! Bego! Naga Bego! "Ki ... lo udah nggak mual, kan?" Uki menggeleng. Mukanya sendu banget. God ... bikin gue tambah nyesel. "Pulang, yuk! Lo harus istirahat." "Oke!" jawabnya singkat. Gue berdiri duluan. Gue ulurin tangan gue buat bantu dia berdiri. Tapi dia nolak. Dia pasti masih sakit hati sama introgasi gue yang berlebihan tadi. Gimana nggak coba? Gue ini cuma orang asing yang nggak tahu apa - apa. Tapi dengan lancangnya, gue investigasi dia. Keterlaluan banget gue! "Ki, Uki!" Gue ngejar si Uki yang udah mulai jauh. Cepet juga jalannya. "Sorry, Ki, gue nggak maksud!" "Nggak apa - apa, kok. Gue bisa ngerti. Lo kayak gitu tadi pasti karena lo cinta dan peduli banget sama Siva, kan! Lo emang cowok baik, Ga! Dan itu bikin gue lega." Ini orang apa malaikat, sih? Dia baik banget. Ya Tuhan! Gue dosa besar udah nuduh dia macem - macem sebelumnya. Ampuni hamba, Ya Allah! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN