Garlanda terbangun sebentar, masih dengan rasa sakit yang tersisa pada perutnya. Ia benar - benar sudah lelah menghadapi segala keanehan dalam hidupnya. Meski itu semua hanya mimpi, tapi semua terasa begitu nyata. Terasa begitu menyakitkan ... melelahkan ....
Ingin rasanya Garlanda mengakhiri ini semua. Tapi bagaimana caranya?
Ia bahkan tak tahu sedang berada di mana.
Ia masih berada di tempat yang sama. Dalam ruangan sepetak, dengan nuansa warna serba putih.
Garlanda juga belum menemukan di mana letak pintunya. Pintu saja tidak ada. Lalu bagaimana ia bisa keluar?
Satu hal yang tidak biasa. Pada pergelangan tangan kiri Garlanda, tersemat jarum infus yang terhubung dengan selang sebagai jalan cairan infus masuk ke tubuhnya.
Seingat Garlanda, saat terakhir kali ia bangun, ia belum menggunakan infus ini.
Apa ini artinya ....
Ada orang yang secara berkala masuk ke sini untuk mengecek kondisi Garlanda?
Berarti dalam ruangan ini terdapat pintu masuk. Tapi ... di mana?
Garlanda mencoba mencari ke sekitar. Tapi urung jua menemukan.
Mimpi - mimpi itu ... Garlanda sempat berpikir, lebih baik bermimpi sebagai orang sakit. Dari pada mimpi merasakan apa yang seharusnya tak pernah ia rasakan.
Tapi akhir - akhir ini ... mimpi itu terus berupa hal - hal yang tak ia sukai itu. Menambah rasa stress dalam diri Garlanda semakin membabi buta. Ditambah berada dalam ruangan asing ini ... ingin rasanya ia mati saja.
Garlanda berteriak keras. Berteriak sekeras yang ia bisa, melampiaskan segala stress yang ada dalam dirinya.
Garlanda berteriak, memukul - mukul dinding putih itu sampai tangannya berdarah.
Garlanda terus berteriak. Hingga muncul suara ....
Suara seperti daun pintu yang terbuka.
Garlanda pun menoleh ke arah sumber suara. Ternyata benar ...
Garlanda kini tahu di mana letak pintunya.
Pintu itu terletak lurus dengan dipan tempat tidurnya. Hanya saja pintu itu memang didesain khusus, seolah - olah tidak ada pintu di sana. Dan itu berhasil mengecoh Garlanda sejauh ini.
Dari balik pintu itu muncul seorang laki - laki berpakaian dokter. Dan juga seorang wanita berpakaian suster.
Ini adalah kesempatan langka. Mungkin ini satu - satunya kesempatan bagi Garlanda untuk kabur?
Ya ... mungkin ....
Garlanda segera berlari sekuat tenaga. Ia berlari ke arah pintu, menerjang dokter dan suster yang baru saja masuk.
Sayangnya dokter itu bergerak lebih cekatan dibanding Garlanda. Ia segera menyuntikkan cairan entah itu apa. Namum setelah suntikan itu masuk dalam tubuhnya, Garlanda langsung lemas, dan tak sadarkan diri.
Sebelum Garlanda menutup mata, ia sempat melihat wajah dokter yang kini memegangi tubuhnya supaya tidak jatuh menghantam dinginnya lantai.
Orang itu adalah ....
Dan pandangan Garlanda pun menjadi gelap. Garlanda pun mau tak mau harus kembali ke alam mimpinya yang begitu kelam.
***
Lu merasakannya. Ia akan keluar.
Lu meraba - raba pinggiran counter dapur. Menjadikannya untuk tumpuan. Ia berjalan menggapai sebuah kursi di sudut ruangan dan segera duduk di sana. Ia cukup merasa nyaman setelahnya.
Rasa menusuk yang tajam di punggungnya, disertai rasa mulas yang samar pada perut. Area panggul dan pinggangnya mendadak seperti lemas. Itulah alasannya ia duduk.
Lu agak melebarkan kakinya, sebagai ruang untuk bagian bawah perutnya yang sudah turun. Tangan Lu dengan pelan mengelus area bawah itu. Wajahnya tanpa ekspresi. Meski rasa menusuk itu masih terasa.
Dilihatnya air yang ia masak untuk sang ayah sudah mendidih. Ia segera berdiri lagi dan mematikan kompor. Dituangkannya air panas itu dalam cangkir berisi kopi dan gula.
Lu mengaduknya beberapa kali dan segera menyerahkannya pada sang ayah di ruang tamu.
Saat Lu datang membawa kopi, sang ayah sama sekali tak melihatnya. Pandangannya tetap fokus pada koran pagi yang dibawanya.
Tak ingin mengganggu ayahnya, Lu segera beranjak kembali ke dapur. Bukan karena tak ada sesuatu lain yang lebih menarik dari dapur, hanya saja Lu tak tahu harus berbuat apa bila ayahnya masih di rumah.
Bila ia beristirahat di kamar, sang ayah mengatainya malas. Daripada serba salah, lebih baik ia istirahat di sini dulu. Lu kembali duduk di kursi tadi.
Lu mendengar suara langkah kaki sang ayah. Bisa dilihatnya dari sini, ayahnya keluar dari rumah. Berangkat ke kantor.
Lega yang dirasakannya. Maka ia bisa melakukan apapun tanpa takut dimarahi atau diejek ayahnya lagi.
Dengan langkah pendek dan lambat, Lu berjalan menaiki tangga. Menuju kamarnya. Satu tangannya bertumpu pada pagar tangga. Satu tangannya lagi menyangga pinggang.
Semenjak dua bulan yang lalu, ia sering melakukan hal itu. Karena pinggangnya sering sakit dan mudah lelah menyangga perut sebesar itu.
Kontraksi menyerangnya lagi. Lu bahkan tak yakin apa ia masih hidup esok hari. Ayahnya mana mau repot - repot menolong persalinannya.
Entah lah. Bila Lu mampu akan dilakukannya sendiri. Bila tidak, ia hanya bisa pasrah.
***
Pukul setengah 9 malam. Ayah melangkah masuk ke dalam rumahnya. Sepi. Bahkan semua lampu masih mati. Ia mulai curiga, apa Lu sudah berani keluar?
Dengan geram ia melempar kopernya dan segera menyusuri ruang demi ruang mencari Lu. Tak ada. Tak ada Lu di manapun.
Terbayang dalan pikirannya bahwa sebentar lagi semuanya akan hancur. Hancur karena anak semata wayangnya diketahui hamil.
Tak kehabisan akal, Ia segera naik. Dinyalakannya semua lampu. Ia membuka pintu kamar Lu dengan kasar.
Setelah menyalakan lampu di sana, sinar marah di matanya sedikit sirna. Digantikan oleh perasaan bergetar.
Lu sedang meregang nyawa di atas ranjang. Bisa dilihatnya dengan jelas. Kedua kaki Lu melebar. Di bawah sana sprei Lu sudah basah. Air ketuban bercampur darah. Dilihatnya jalan lahir Lu yang terbuka lebar.
Ia hanya bisa menelan ludah dan segera keluar dari sana. Ia ingat bagaimana Lu memberinya tatapan memohon. Tapi ia tak goyah.
Semua salah Lu sendiri. Maka ia sendiri juga yang harus menyelesaikannya. Ayah keluar seakan tak pernah terjadi apa - apa.
***
Lu menangis di dalam sana. Meski ia tahu sang ayah marah dan mengatakan bahwa ia takkan menolong apa pun. Namun Lu tak pernah tahu sang ayah akan setega ini.
Dicengkeramnya dua sisi bantal yang ia remas. Ia mengejan lagi. Bayi itu juga berusaha untuk keluar. Lu merasakannya. Biar lah mereka berjuang bersama malam ini.
***
Suara teriakan saat Lu mengejan bisa ia dengar dengan jelas. Bahkan napas Lu yang memburu pun bisa didengarnya. Ini karena suasana malam yang semakin larut. Meski semua ruangan kedap udara, namun karena sepi, suara itu tetap terdengar.
***
Memang benar. Lu merasa nyawanya akan segera mencapai batas. Rasa sakit itu menyita semua perhatiannya. Tak bisa mengontrol dirinya lagi untuk tak berteriak.
Kepala anaknya menggantung di liang lahir. Tenaganya sudah habis. Tak tersisa untuk mendorong badan anaknya yang masih di dalam. Tapi ia tetap berusaha.
Meski pelan ia terus mengejan. Bahkan sisa air ketuban di seprei - nya, kini tertutup oleh warna merah. Lu amat sangat pucat. Bayinya juga sudah membiru tak bergerak.
Dengan sisa kekuatannya, ia bangkit untuk duduk. Kedua tangannya merogoh ke bawah. Berusaha menarik kepala itu dengan paksa. Ia menangis semakin keras. Menyesali semuanya.
Merasa sedih akan keadaan dirinya sendiri yang seperti ini. Tak seharusnya begini. Merasakan ini. Tapi buktinya sekarang ini ia sedang mengalaminya.
Dengan dibantu sedikit mengejan, Lu menariknya perlahan. Rasa perih terasa saat liang lahirnya robek. Tapi ia tak peduli.
Yang terpenting sekarang bayi itu keluar dulu. Setelah bayi itu keluar, Lu akan terbebas dari segala rasa sakitnya.
Teriakan terakhir itu .....
Bayinya keluar.
Laki-laki. Terlihat gemuk dan sehat. Namun ia tak bergerak.
Lu membawanya dalam pelukan. Tak terlalu lama tubuh Lu terhempas ke belakang. Bersamaan dengan hilangnya kesadarannya.
***