Tale 77

2385 Kata
Jodi memarkirkan motornya di pinggir jalan begitu saja. Seperti biasa, Jodi pergi ke taman bermain di TK Nusa indah. TK tempat sekolahnya dulu bersama Aldi. Selain ke Jodi memang sering menghabiskan waktu di sini. Tiap kali berada di sini, ia akan merasa tenang dan damai. Karena di sini tersimpan banyak kenangan bahagia. Hanya tawa, tanpa luka. Karena kesibukan kedua orang tua, Jodi dan Aldi dulu disekolahkan di sini, sekaligus dititipkan. Jadi mereka diantar pagi, dan dijemput ketika malam hari saat kedua orang tua mereka sudah pulang dari kantor. Di rumah ada Mbah Jum, tapi wanita itu harus fokus melakukan pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga. Lagi pula Mbah Jum akan kewalahan jika mengurus dua anak kembar yang sangat aktif itu sendirian, dengan sekaligus mengurus pekerjaan rumah tangga yang seakan tidak ada habisnya. Itu lah sebabnya Jodi dan Aldi punya banyak sekali kenangan di sini. Terutama di taman bermain ini, karena tentu di sini lah mereka paling sering menghabiskan waktu bersama. Kadang berdua saja. Kadang juga ditemani oleh teman-teman yang lain, dan juga guru sekaligus pengasuh yang bertugas menjaga mereka selama dititipkan. Bangku kosong di samping perosotan ini menjadi favorit Jodi untuk duduk. Sore ini sudah sangat sepi. Tak tersisa satu murid pun yang masih tinggal. Jodi tidak tahu apakah di sekolah ini masih menerima jasa penitipan anak seperti dulu atau tidak. Tapi tiap kali main ke sini, memang selalu sepi atmosfernya. Karena tak melihat ada orang, dan tak ada anak bermain, Jodi langsung mengeluarkan rokok dari dalam tasnya. Ia tahu, merokok akan semakin memperburuk keadaannya. Tapi ia juga akan bisa merasa lebih tenang jika merokok. Ia akan merokok satu batang saja. Ia menikmati setiap hisapan rokok sembari menatap mainan-mainan di sana, sembari membayangkan kembali ketika ia masih kecil bersama Aldi, begitu bahagia bermain di sini. Jodi terlalu fokus dengan bayangan masa lalunya -- dan juga rokoknya, sehingga ia tak menyadari bahwa ada seseorang yang datang. Pak Irwan. Laki-laki itu berhasil menemukan Jodi. Ia tadi mengendarai Vespanya mengikuti arah jalan ke rumah Jodi. Tapi ia mendapati motor Jodi diparkir di pinggir jalan. Setelah melihat ke sekitar, ia menemukan Jodi sedang duduk di area bermain. Dan laki-laki itu langsung beringsut menghampiri Jodi. Ia cukup terkejut saat melihat Jodi merokok. Sebandel-bandelnya anak itu, tak pernah terbesit sedikit pun dalam bayangan Pak Irwan, jika Jodi ternyata sudah begitu piawai merokok. Seolah-olah hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan. Kecewa pasti. Tapi tidak. Pak Irwan tidak marah. Ini sudah di luar sekolah. Sudah bukan pada tempatnya jika ia melakukan profesionalitas sebagai seorang guru tata tertib. Terserah apa yang dilakukan siswa di luar sekolah. Karena tugasnya hanya mendidik dan membangun karakter di area sekolah saja. Perlahan namun pasti, Pak Irwan akhirnya sampai di sana. Ia kemudian mulai memanggil nama Jodi setelah sedikit berdeham untuk membersihkan tenggorokannya. "Jodi." Jodi terkejut tentu saja. Kedua matanya langsung membulat saking Terkejutnya. Jodi pun langsung menoleh, namun sama sekali tak berniat untuk menyembunyikan rokoknya. Meski ia tentu hafal suara siapa yang baru saja memanggil namanya. "Pak Irwan." Tidak. Jodi mana takut. Ia hanya sedikit segan karena sudah ketahuan merokok. Tapi ia juga kesal, kenapa Pak Irwan malah menemukannya di sini. Padahal tujuannya ke sini adalah untuk mencari ketenangan. Pikir Jodi, kalau sudah berurusan dengan Pak Irwan, pasti ia akan ditegur. Dan masalah ini akan diungkit-ungkit di sekolah sampai lama. Sampai ia mati nanti mungkin, akan tetap terus diungkit. Pak Irwan masih terdiam. Namun ia melangkah maju, kemudian duduk di sebelah Jodi. Karena Jodi tidak menangkap sinyal ceramah Pak Irwan, remaja itu pun lanjut menghisap rokoknya. Ia kemudian malah mengambil kotak rokoknya dari dalam tasnya, sekaligus koreknya, lalu melegakannya di dekat Pak Irwan. Bermaksud untuk berbagi pada sang guru. Pak Irwan menatap bungkus rokok dan korek yang disodorkan Oleh Jodi. Ia menatap dengan nanar. Kemudian menggeleng. "Makasih, Jodi. Tapi saya nggak ngerokok. Saya bukan seorang perokok." Jodi merasa sedikit tertampar dengan jawaban Pak Irwan. Sang guru yang merupakan laki-laki dewasa saja tidak merokok. Tapi ia yang masih seorang pelajar, sudah memiliki status sebagai perokok. Meskipun tidak parah, tapi tetap saja ada saat di mana ia benar-benar harus merokok supaya bisa merasa lebih tenang. Jodi lantas bingung dengan sikap Pak Irwan. Jodi pikir kedatangannya adalah untuk membuat masalah dengan Jodi lagi. Tapi ternyata tidak. Laki-laki itu malah diam seribu bahasa. "Bapak ngapain ke sini? Masih mau introgasi saya tentang pertanyaan Bapak di sekolah tadi? Yang kata bapak, saya ini makai?" Jodi akhirnya bertanya. Karena ia memang benar-benar penasaran dengan alasan kedatangan Pak Irwan. "Maafkan saya tentang kata-kata saya itu. Pasti itu menyakiti kamu. Saya terbawa emosi tadi. Selama ini saya keras sama kamu di sekolah. Bukan semata-mata karena saya ingin mendisiplinkan kamu. Atau karena saya hanya melaksanakan tugas sebagai guru tata tertib. Tapi ... karena saya memang peduli sama kamu Jodi. Kamu harusnya tahu. Kamu begitu banyak berubah. Setelah kepergian Aldi, kamu langsung berubah menjadi orang lain. Sampai saya nggak bisa mengenali kamu lagi. Padahal sebelumnya kita bertiga sangat lah dekat. Saya, kamu, dan mendiang Aldi. Akhir-akhir ini kelakuan kamu semakin ada-ada saja. Membuat saya semakin sering jengkel sama kamu. Tapi tadi setelah bertemu dengan Pak Bagio. Mendadak saya sadar. Yang kemudian membuat saya khawatir. Ada apa sebenarnya sama kamu Jod? Pasti kamu punya masalah yang nggak bisa kamu ceritakan kepada siapa pun, kan? Saya harap kamu masih lah Jodi yang dulu. Yang nggak akan sungkan cerita banyak hal pada saya. Saya juga akan berusaha jadi Pak Irwan yang dulu, yang selalu mendengar kamu tanpa menghakimi, apa lagi mendikte." Angin berdesir lembut. Dedaunan runtuh yang berceceran di tanah terbang. Angin itu seperti membawa Jodi ke kehidupannya dua tahun lalu. Suasana yang sama. Sore yang sama. Juga guru yang sama. Hanya saja tak ada lagi Aldi dan ini bukan taman di belakang rumahnya. *** Suasana les 2 tahun lalu. Berada di gazebo mewah di taman rumah kediaman Aditya Family. Tepatnya Di dekat kolam renang. "Jadi begini Pak?" Aldi menunjukkan jawaban soal logaritma yang baru saja diberikan guru lesnya. "wah, benar sekali. Ini bagus untuk para pemula seperti kamu. Coba kerjakan soal selanjutnya." Aldi terus berperang melawan sepuluh soal dengan materi yang belum diajarkan di sekolahnya. Ini adalah tahun terakhirnya dan adik kembarnya, Jodi duduk di bangku SMP. Sebentar lagi mereka akan masuk SMA.  Kata para guru di sekolah, materi logaritma adalah tidak mudah. Butuh banyak latihan, pemahaman, dan ketelitian dalam menjawab. Jadi orang tua Aldi dan Jodi tidak ingin anak-anak mereka kalah dengan teman-temannya. Itu alasannya orang tua mereka mamanggil guru les privat. Tak tanggung-tanggung. Yang mereka panggil adalah guru matematika di SMA paling favorit di jawa timur, Pak Irwan. "Punya kamu gimana, Jodi?" Jodi terlihat ragu. "Sudah selesai. Tapi saya belum yakin." "biar saya periksa dulu." Jodi sebenarnya enggan menyerahkan lembar jawabannya dulu. Tapi karena Pak Irwan memberi penjelasan bahwa ia Harus belajar percaya diri dengan jawabannya, itu akan lebih bagus. Pak irwan terjun ke dalam lembar jawaban Jodi. Dia sudah mengerjakan lima dari sepuluh soal. Hebat juga.  "soal nomor tiga ada kesalahan dalam menghitung hasil akhir. Selebihnya sudah benar. Kata pak irwan kemudian seraya menyerahkan lembar jawaban Jodi kembali." "Wah, hebat lo, Yaz!" Tidak ada tanggapan dari Jodi. Anak itu terlalu sibuk memeriksa kembali bagaimana pekerjaannya bisa salah. Padahal dia rasa sudah mengerjakan dengan benar tadi. "Kamu sudah juga, Aldi?" tanya pak Irwan. "Ini, Pak!" Pak irwan kembali terjun ke dalam lembar jawaban. Tapi kali ini punya Aldi. Pak irwan tersenyum tipis melihat ketujuh jawaban Aldi yang sempurna. Tanpa kesalahan sedikitpun. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan kedua putra Aditya ini. Mereka benar-benar hebat. Bahkan murid-murid di SMA tempat dia mengajar, butuh 7 sampai 10 jam pelajaran untuk bisa mengerjakan seperti mereka. Dan itu juga belum semuanya dari mereka paham. Jodi mengintip lembar jawaban kakaknya. "Lo tetep lebih hebat dari gue, Jal!" Aldi tersenyum. "sebentar ya, gue mau ambil sesuatu." Aldi beranjak masuk ke dalam rumah. "saya, nggak akan pernah bisa menjadi hebat di mata orang tua kami," ucap Jodi dingin setelah Aldi pergi. Pak irwan terkejut mendengar pernyataan Jodi. Diletakkannya buku matematikanya di meja. "apa maksud kamu?" "Ayah sangat bangga dengan Aldi!" "Kenapa?" "Dia selalu ada di peringkat pertama di hasil akhir semester di sekolah kami. Dia ada di peringkat pertama dari 900 siswa." "tapi kalian berdua sama-sama hebat. Buktinya soal itu tadi, anak biasa tidak akan bisa paham secepat yang kalian lakukan. Jadi orang tua kalian pasti bangga dengan kalian berdua." "Tapi kenyataannya Ayah hanya bangga dengan Aldi. Bukan dengan saya." "bagaimana dengan peringkat kamu di sekolah?" "terkahir ada di peringkat 14. itu adalah prestasi terbaik saya selama sekolah di sana." "itu hebat, Jodi! Peringkat ke 14 dari 900 siswa Sangat lah membanggakan. Di sekolah favorite pula." "Tapi itu tidak hebat di mata Ayah saya." *** Angin sore semakin berhembus kencang. Mengembalikan Jodi dan Pak irwan di masa sekarang. Yang sedang duduk di bangku taman TK nusa indah terhanyut akan kenangan masa lampau. Setelah keterbukaan Jodi tentang rasa irinya pada Aldi itu, dia sering curhat pada pak irwan. Entah mengapa dia memilih pak irwan. Bukan mbah jum. Padahal orang yang paling dekat dengannya adalah mbah jum. Mungkin alasannya pak irwan adalah orang baru yang mulai waktu itu akan dekat dengannya. Jika jodi cerita pada mbah jum, otomatis itu akan membebani pikiran orang yang sudah merawatnya sejak bayi itu. Padahal di usianya yang sudah renta, mbah jum butuh banyak istirahat untuk menikmati masa lansianya. dan Jodi tidak menginginkan mbah Jum kehilangan masa itu. Dan pak irwan adalah pilihan terakhir, karena tidak ada pilihan lain lagi. "jadi sekarang kamu mau cerita, apa?" "saya memang sedang mengkonsumsi obat-obatan. Seperi kata bapak tadi, saya memang lagi makai." Pak irwan terkesiap. "Apa?" ini barangnya. Jodi mengambil obat itu dari dalam tasnya dan meberikannya pada pak irwan. "obat apa ini?" "pain killer." "untuk apa?" "Ya biar saya nggak terlalu menderita aja kalau penyakit saya kumat." "Penyakit?" Jodi mengangguk. "Penyakit apa?" Jujur Pak Irwan ragu menanyakan hal itu. Ia khawatir tak akan siap mendengar jawaban Jodi. "Leukemia." Angin senja telah hilang. Hari yang tadi jingga kini telah berubah kelam. Suasana indah mulai lenyap.  "Sejak kapan?" "Kurang tahu sejak kapan. Tapi ketahuannya saat liburan kenaikan kelas kemarin." *** Saat Jodi sampai rumah, ternyata kedua orang tuanya sedang ada. Dia melewati mereka berdua yang sedang makan malam. Ny. Aditya mengejar Jodi. Jodi menyadari bahwa sang Bunda sedang mengejarnya jadi dia segera berbalik. Melihat anaknya, sang Bunda tersenyum, Jodi membalas senyuman bundanya. "Kamu udah makan, sayang?" Jodi hanya menggeleng dan segera masuk ke kamarnya tanpa jawaban. Sang Bunda langsung turun lagi setelah itu. Sebenarnya tadi dia hampir saja mengetuk pintu kamar Jodi. Tapi suatu keraguan muncul di hatinya. Dan dia mengurungkan niat itu. Dan segera kembali ke meja makan. "kok ada yang aneh sama Jodi ya, Yah?" "itu nggak aneh, Bunda! Dari dulu juga kaya begitu. Bunda itu seperti baru kenal Jodi saja!" Sahut tn. aditya kemudian. "Yah, tolong sekali saja Ayah ngertiin Jodi. Kasihan dia, Yah." "Sudah, teruskan saja makannya. Biar Ibu yang kasih dia makan nanti. Ibu adalah panggilan Tn dan Ny. Aditya pada mbah Jum." *** Jodi segera menghempaskan tubuhnya di ranjang. Berkeliaran di luar sebentar tadi benar-benar membuat kepalanya serasa mau pecah. Sakit dan Pusing. Dia hanya tidak menyangka bahwa efek dari jalan-jalan saja akan separah ini. Biasanya belum pernah sampai seperti ini. Jodi kembali menelan beberapa butir pain killer-nya. Dan kemudian tertidur. *** Pagi hari, Jodi berusaha untuk bangun, tapi kepalanya terasa berat sekali. Pandangannya berputar-putar. Jodi kembali merebahkan badannya, berusaha mengatur nafas. Mungkin dengan begitu rasa pusingnya bisa berkurang.  Hawa dingin musim hujan justru membuat seluruh tubuhnya basah karena keringat. Meskipun sudah berbaring, tapi pandangannya tetap berputar. Perlahan Jodi memejamkan matanya. Entah mengapa di saat seperti ini, dia selalu teringat Aldi. Flashback kematian Aldi kembali muncul. Ny. Aditya mengetuk pintu kamar anaknya berkali-kali. Karena tak ada jawaban, dia segera membuka pintu itu. Melihat Jodi yang masih terpejam, Ny. Aditya berjalan perlahan. Langkahnya terlihat berat untuk menyamarkan suara ketukan high heelsnya di lantai. Kemudian dia duduk di tepian ranjang Jodi. Ny. Aditya memperhatikan makanan yang diberikan mbah jum pada anaknya kemarin. Ada di meja dan masih utuh. Jodi juga belum mengganti seragamnya. Ny. Aditya segera membelai kepala Jodi tanpa keragauan. "Sayang, kamu nggak sekolah?" Jodi terkejut mendengarnya. Dia baru sadar bahwa ada seseorang di sampingnya. Secara refleks matanya terbuka. "Ada apa?" "Kamu nggak sekolah? Udah siang!" Jodi bangkit dari ranjangnya. Tapi kepalanya masih pusing, dia tertahan dan kembali terduduk. Tangan kanannya memegangi kepalanya. "Kamu kenapa, sayang? Sakit?" Tangan Ny. Aditya bergerak untuk memegang kening Jodi, tapi tak berhasil karena Jodi menapiknya.  "Jodi, kamu baik-baik aja, sayang?" tanya Ny. Aditya sekali lagi. "Ada apa Bunda ke sini?" "Muka kamu pucet banget, Jod." "sekali lagi jodi Tanya, Ada apa Bunda ke sini?"  "Bunda tadi ke sini mau pamit ke kamu. Hari ini Ayah dan Bunda mau berangkat ke Solo buat membahas pembangunan cabang mall kita. Tapi karena kamu sakit, biar Ayah aja yang berangkat!" "Nggak usah repot-repot, Bunda! Kalau Bunda mau pergi, pergi aja! Jodi nggak apa-apa!" Tiba-tiba Tn. Aditya datang. Langkahnya tenang dan teratur. Dia sudah rapi dengan setelan jas lengkap.  "Jod, Ayah mau pamit. Kamu baik-baik, ya!" Tn. Aditya menepuk-nepuk pundak anaknya. Jodi tidak menjawab apa-apa. Hanya tertunduk. Ny. Aditya tak bisa menolak saat suaminya menggandeng tangannya untuk segera pergi. Tapi dalam hati dia khawatir dengan Jodi. Ditatapnya lekat-lekat anak semata wayangya, yang juga sedang menatap ke arahnya sekarang. Ada secercah permohonan untuk tetap tinggal di mata Jodi. Harapan agar orang tuanya tahu bahwa Jodi sangat ingin bersama-sama mereka. Setelah Tn dan Ny Aditya berlalu, mbah Jum segera mengantar sarapan ke kamar Jodi. Dilihatnya Jodi masih duduk di ranjang. Dengan baju seragam yang lecek. Mbah Jum hanya geleng-geleng saja melihatnya. "Mas Iyaz, ini sarapannya. Ayo buruan dimakan. Semalam Mas Iyaa juga nggak makan, kan." "Nggak mau Mbah." "Lhoh, katanya hari ini ada pertandingan, lek mboten dahar, mangke mboten kiyat. Mbah suapin ya." Akhirnya jodi menyerah. Terpaksa dia membuka mulut. Tapi baru satu suapan saja Jodi sudah mual. Dia hampir memuntahkan kembali makanannya. "Mas iyaz, kenapa to Mas? Sakit to?" mbah Jum memegang kening Jodi. "Lhoh Mas Iyaz badannya panas ini lho!" *Nggak. Udah terusin aja suapinnya." Jodi berusaha menelan makanan tadi agar mbah jum tidak khawatir dan curiga. Selesai, makan, walau pun hanya tiga suapan, Jodi segera mandi seperti biasa dan berganti seragam sepak bola. Dia tidak membawa baju ganti karena berencana langsung pulang setelah selesai pertandingan. Jodi berpamitan pada mbah Jum dulu sebelum dia menuju garasi untuk diantar Mr. Baggie. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN