Baru juga merasakan manisnya kehidupan sebentar, ternyata Garlanda mungkin memang tidak ditakdirkan untuk bahagia. Baru saja, jiwanya sudah pergi dari tubuh Elio.
Dan perlu digaris bawahi, ia lagi - lagi tidak masuk ke dalam raganya sendiri.
Seperti sebelumnya, justru langsung berpindah ke tubuh dan kehidupan orang lain.
Kali ini ia masuk dalam tubuh seorang mahasiswa bernama Kas.
***
Kas tidak bisa duduk tenang di bangku. Ia mencengkeram bagian bawah perutnya yang terasa sakit. Segala penjelasan dosen tak ada yang masuk dalam otaknya. Jangankan memahami, untuk mendengar saja Kas rasanya tak sanggup.
Keringatnya sudah bercucuran. Rasa sakitnya sudah mencapai klimaks. Di mana ia sudah merasakannya sejak kemarin siang.
"Kas, kau kenapa lagi?" Sang dosen geram dengan kelakuan Kas yang tak bisa tenang sedari tadi.
"Kalau sakit kenapa masuk, sih? Mengganggu mata kuliahku saja!" omel dosen itu.
Memang hampir semua dosen di kampus ini tidak menyukai Kas. Dulu Kas sangat berprestasi, tapi segala perubahan yang terjadi pada Kas membuat para dosen balik membencinya. Mereka merasa sudah salah memberi beasiswa pada Kas untuk kuliah di sini.
"Sana, kau pulang saja kalau sakit!" Dosen itu membentak Kas.
Kas pun menurut. Ia berdiri dengan susah payah dan mulai beranjak. Jalannya terseok ... seperti kesulitan. Semua teman - temannya hanya bisa memandang prihatin pada Kas.
Setelah keluar dari kelas, Kas mengambil ponselnya di saku mantel. Ia menelepon Luk kakaknya. Sembari menunggu jawaban dari Luk, Kas duduk terlebih dahulu di atas sebuah bangku panjang.
"Kas ... ada apa?" tanya Luk di seberang sana.
"Luk, perutku sakit sekali!" keluh Kas d sela napasnya yang tercekat.
"Apa sudah waktunya?"
"Aku juga tidak tahu. Selangkanganku rasanya licin dan basah. Kupikir itu mungkin darah atau rembesan ketuban. Tolong jemput aku."
"Baik, aku akan izin pada boss - ku dulu. Tunggu sebentar ya."
Kas segera menutup teleponnya dan kembali memasukkan benda itu ke saku mantel longgar dan tebalnya. Ya memang seperti itu kostum Kas setiap hari, semenjak janin itu secara resmi tertanam di perutnya.
Ia juga menggunakan korset super ketat secara rutin agar perutnya tak terlalu terlihat besar. Meskipun perut buncitnya masih tetap terlihat sih.
Kas tak sanggup lagi berjalan. Ia berhenti di bangku panjang dan duduk di sana. Banyak mahasiswa lalu lalang yang menatapnya aneh. Tapi Kas tidak peduli.
Tak sampai sejam menunggu, akhirnya Luk datang. Ia segera membantu Kas berdiri, memapahnya menuju mobil. Luk terlihat sangat khawatir dengan keadaan adiknya.
***
Luk segera melepas mantel dan korset Kas begitu sampai di rumah. Ia juga melepaskan celana Kas dan menggantinya dengan sebuah bath robe.
Ia membersihkan lendir bercampur darah di area lubang kelahiran Kas. Ia menatap miris adiknya yang sedang hamil tua itu. Jika saja keadaan ekonomi mereka baik, maka mereka tak perlu bersusah payah seperti ini.
"Luk, sudah tidak usah kemana - mana! Nanti kandunganmu kenapa - napa!" cegah Kas karena Luk terus sibuk mencari segala kebutuhan Kas.
Ia khawatir karena kakaknya itu sekarang juga tengah mengandung jabang bayi yang masih berusia lima bulan.
"Aku harus membuat air panas dulu, Kas. Juga mempersiapkan hal lain. Pembukaanmu belum lengkap. Kau sabar dulu!"
"Hati - hati, Luk. Jangan sampai jatuh!"
Luk mengangguk dan meninggalkan Kas di kamarnya.
Luk merasa gagal. Seharusnya ia bisa merawat Kas dengan baik. Tapi mereka malah terjebak dalam hal seperti ini.
Berawal dari kejadian saat Dan — adik Luk sekaligus kakak Kas — divonis kanker. Keduanya kelimpungan mencari uang untuk pengobatan Dan.
Mereka juga hutang ke mana - mana untuk menebus obat. Sampai mereka berhutang pada lintah darat, Simon itu.
Hutang mereka terus membengkak. Mereka pernah mencoba kabur, tapi Simon menemukan mereka. Semua menjadi semakin rumit setelah Dan meninggal.
Kas dan Luk merasa frustrasi dan lelah dengan semuanya. Mereka pun menerima tawaran Simon. Lelaki itu adalah seorang bos dari lembaga human traff1cking. Simon menawarkan mereka sebagai jasa ibu pengganti. Terang saja mereka tidak mau.
Ternyata Simon sudah merencanakan semua ini sejak awal. Ia membawa Luk dan Kas ke sebuah rumah sakit ilegal. Akhirnya beginilah mereka.
Bila Kas dan Luk masing - masing sudah melahirkan tiga anak, semua hutang dianggap lunas.
***
Luk mengurut pelan pinggang Kas yang sekarang tengah berbaring miring. Ia tak mengenakan pakaian apa pun. Rasanya semakin membuatnya menderita. Rasa sakitnya semakin intens saja. Tapi pembukaannya tetap belum maksimal.
"Kas, kita ke rumah sakit saja, yuk. Nanti bisa sesar di sana," tawar Luk.
"Kita tidak punya uang, Luk."
"Biar Simon yang membayar."
"Mana dia mau, Luk. Bahkan selama ini kita juga check up dengan uang pribadi. Dia cuma peduli bila bayi kita sudah lahir."
Kas kembali mencengkeram bed cover - nya. Ia mengernyit sakit. Untung ada Luk yang dengan setia menemani dan memberinya dukungan.
Urutan kecil di pinggang itu juga membantu banyak. Membuat Kas sedikit merasa lebih nyaman.
Kas bergerak pelan, mengganti posisinya menjadi terlentang. Ia juga bersiap melebarkan kakinya.
"Luk tolong lihat lagi," pintanya.
"Belum, Kas. Ini masih 5 sentian."
"Aku sudah tidak tahan, Luk. Sungguh."
"Apa coba mengejan sekarang?" Luk memberi opsi. Ia sudah mempelajari tentang persalinan sejauh ini. Tapi setelah praktik semua jadi terasa membingungkan.
Kas mulai melakukan perjuangannya. Ia mulai mengejan secara teratur. Ia lakukan sekuat uang ia bisa.
Hingga dua jam lamanya, tapi belum ada banyak perubahan. Saat Kas mengejan untuk ke sekian kali, akhirnya air ketubannya pecah.
Seketika rasa sakit yang lebih kuat menyerang Kas. Tubuh Kas bergerak gelisah mengikuti rasa sakitnya. Ia berteriak seiring sakit itu menyerangnya.
Luk sudah menangis sedari tadi. Takut terjadi apa - apa pada Kas. Ia tak mau kehilangan adiknya lagi.
Kas terus mengejan sekuat yang ia bisa. Lubangnya sudah terbuka sangat lebar sekarang. Namun hanya lendir dan darah saja yang keluar sejauh ini.
"Luk ...," pekik Kas. "Luk ...."
"Bagaimana ini, Kas? Aku juga tak tahu harus bagaimana?" Luk hanya bisa menggenggam jemari Kas.
Sementara adiknya itu tengah berjuang hidup dan mati. Luk akhirnya memutuskan untuk stand by melihat perkembangan bukaan Kas. Ia mengambil tisu, membersihkan lendir - lendir di lubangnya.
Sesuatu berwarna kehitaman mulai terlihat. Saat Kas mengejan, sesuatu itu menyembul seperti akan keluar.
"Kas ... kepalanya ... kepalanya sudah terlihat ...."
"Ennnnngggghh ...." Kas mengejan lagi. Lebih kuat dari sebelumnya. Napasnya naik turun tak keruan.
Luk pun membantu Kas dengan memberi sedikit urutan di perut buncit nan bulat adiknya. Perutnya terasa licin dan basah karena keringat.
"Ergggggh ... argh ...." Kas terus melajutkan perjuangannya.
Hampir lima jam berlalu, tak ada perkembangan yang berarti.
Luk mendengar suara deru mobil yang datang. Luk segera ke depan. Ia sudah tahu Simon yang datang. Karena tak ada orang selain Simon yang rutin memeriksa keadaan mereka.
"Kenapa kau panik begitu?" tanya Simon.
"Kas ...." Luk tak mau repot menjelaskan. Ia hanya langsung berjalan cepat kembali ke kamar Kas. Simon mengikutinya.
Simon agaknya takjub dengan kondisi Kas. Namun ia cukup senang. Ia baru saja mendapat rejeki durian runtuh. Anak pertama Kas akan lahir. Dan ia akan segera mendapat uang.
"Bisakah tolong kau membawanya ke rumah sakit? Dia sudah kesakitan sangat lama. Aku takut ... aku takut kalau ...." Luk hanya bisa memelas.
"Lihat lah, bahkan kepalanya sudah akan keluar. Kalau bisa normal kenapa harus sesar?" Simon tertawa keras. "Lagipula sudah terlambat untuk sesar. Karena bayi itu sudah turun ke panggul."
Penolakan Simon sebenarnya masuk akal, tapi Luk tetap kesal dibuatnya. Namun ia hanya bisa mengutuk Simon dalam hati.
Sekitar tiga jam kemudian akhirnya Kas berhasil mengeluarkan kepala bayinya. Warna kulit Kas yang sudah pucat semakin bertambah pucat. Bibirnya bergetar karena sakit yang teramat sangat. Kas segera mengejan lagi. Ia ingin sakitnya segera berakhir.
"Nnnnggggghhhhhhh ...."
Dorongan disertai erangan terus terdengar hingga bayi itu berhasil keluar sepenuhnya. Bayi laki - laki yang gemuk dan sehat.
Luk segera memotong tali pusat bayi itu lalu menunjukkannya pada Kas. Kas sempat melihatnya sekilas, sebelum ia kehilangan kesadaran.
Simon mengambil sebuah kotak besar dari dalam mobilnya.
"Ini ... berisi peralatan medis dan obat untuk pemulihannya." Simon menjelaskan sembari memberikab kotak itu pada Luk.
Simon lalu menggendong bayi Kas yang sudah dibersihkan oleh Luk. "Anak ini aku ambil. Dan nanti tolong bilang pada Kas, satu bulan lagi ia sudah harus siap menerima bayi lain lagi." Simon menyeringai.
Pandangannya beralih pada perut buncit Luk. "Berapa lama lagi?"
"Ini masih lima bulan. Masih sangat lama."
"Baik ... aku tetap akan sering berkunjung untuk memantau. Jangan takut setelah melihat Kas hampir mati kesakitan. Karena yang namanya melahirkan, di mana - mana ya memang sakit."
Luk benar - benar geram dengan ucapan Simon.
"Lebih baik kau cepat pergi agar aku bica cepat merawat Kas," ucap Luk final.
Simon hanya mencebikkan bibirnya kemudian pergi.
***