Jodi terdiam dalam berdirinya. Dia benar-benar tidak tahu di mana dia sedang berada sekarang. Sepi. Tidak ada orang lain selain dia. Tempat ini, hanya didominasi dengan warna putih. Sama dengan pakaian yang dipakainya. Dari tadi Jodi mencoba mencari jalan keluar, tapi tidak berhasil karena tempat ini seperti tidak berujung.
"Heh, Yaz!" celetuk seseorang. Suaranya sangat familier.
Jodi berusaha mencari-cari di mana sumber suara itu. Karena dia hafal betul suara siapa itu. Suara seseorang yang sangat ia rindukan. Suara belahan jiwanya.
Ketika Jodi sedang sibuk mencari, Tiba-tiba, orang yang memanggilnya tadi sudah berdiri di depannya. Membuat Jodi sedikit tersentak.
"Ijal?" Jodi dengan jelas melihat Aldi. Tapi rasanya juga tak yakin. Seperti mimpi.
Aldi nampak memakai baju yang sama dengannya. Atasan dan bawahan berwarna putih.
Jodi segera memeluk orang itu dengan erat. Seseorang yang sudah lama sekali ia rindukan.
"Heh, udah peluknya, please!"
"Gue kangen sama lo!" Jodi terisak mengatakannya. Dia langsung menangis.
"Cengeng! Manjanya kumat! Gue udah peringatin berkali-kali ke lo, jangan bertindak bodoh, tapi lo nggak pernah turutin itu!"
"Diem Lo! lo nggak pernah rasain jadi gue sih!"
"Lo yang diem, Manja! Harusnya lo nurut sama Ayla. Begitu hubungan lo sama Papa Mama membaik, segera kasih tahu mereka tentang penyakit lo. Lagian mana ada sih orang tua yang nggak terpukul saat menghadapi kenyataan bahwa anaknya harus menghadap Tuhan Yang Maha Esa lebih dulu daripada mereka." Aldi melepaskan pelukan Jodi yang dari tadi masih belum dilepas sama yang bersangkutan.
"Sekarang lo mikir, kalo seandainya lo ikut gue, gimana perasaan bokap sama nyokap? Gue tinggal doang aja, mereka udah semakin nggak karuan kan? Gimana nanti kalo lo tinggal juga?"
"Tapi, Jal. Ini semua emang nggak semudah yang lo pikirkan. Bayangin ada di posisi gue. Harus ngasih tahu orang tua kalau gue sakit parah, dengan mempertimbangkan fakta, mereka sudah pernah kehilangan anak juga sebelumnya. Itu berat, Jal."
Aldi menepuk pundak Jodi. "Gue paham, Yaz. Posisi lo memang sulit. Tapi lo memang punya kebiasaan buruk, suka menunda melakukan segala hal. Termasuk hal yang urgent sekali pun."
Aldi menggandeng tangan Jodi ke sebuah tempat. Ntah berasal dari mana, ada sebuah bangku di sana. Dan mereka segera duduk di bangku itu.
"Waktu itu, bokap terpukul banget karena kematian gue yang mendadak. Jangankan dia, gue aja tuh kaget banget pas tau bahwa nyawa gue udah pisah sama badan gue. Dan gue nggak siap ninggalin lo, ninggalin bokap, ninggalin nyokap, dan ninggalin semuanya." Aldi berhenti sebentar.
"Gara-gara bokap terpukul itu, makanya ngomongnya jadi ngaco. Dan lo, lo yang sial gara-gara lihat tubuh gue ancur ditabrak sedan itu dengan mata kepala lo sendiri, itu semua bikin lo stress setengah mati. Jadi lah waktu itu lo labil banget dan bokap ngatain itu semua. Dan rasa benci lo ke bokap tambah meluap. Apalagi setelah lo divonis leukemia, lo tambah terpukul. Lo tambah stress, dan lo bertindak bodoh dengan nggak mau berobat dengan baik. Lo masih tambah kesalahan lain setelah semuanya membaik, dengan menunda kasih tahu bokap nyokap. Gobl0k! Sekarang nggak ada yang bisa gue lakuin kecuali bilang jangan menyerah sama lo. Cari jalan buat kembali, dan setelah berhasil balik ke sana, gue jamin lo nggak bakal nyesel!"
"Maksud lo?"
"Haha, gue tau lo Jod. Di hati lo, lo bener-bener masih pengen hidup. Inget. Lo masih muda. Masih panjang jalan lo. Please jangan ngintilin gue yang nggak sebenruntung lo ini!"
Hening. Jodi tidak menjawab lagi. Antara bingung dengan apa maksud dari ucapan Aldi. Dan juga sedih mengingat hari kematian belahan jiwanya.
"Well, sorry deh. Gue nggak maksud bikin lo kacau. Maafin gue karena udah tinggalin lo. Jujur gue nggak sanggup ninggalin orang-orang yang paling gue sayang di saat yang sama sekali nggak tepat. Di saat hubungan lo sama bokap sedang ada di puncak terburuknya. Gue minta maaf banget. Tapi gue bener-bener nggak bisa ngelak. Karena itu lah garis hidup yang diberikan Tuhan ke gue."
"Jal ...."
"Udah lah, Yaz! Gue tau bahwa lo udah sadar. Gue tau bahwa lo udah punya tekat untuk berubah. Lo harus bisa Meski pun tanpa gue, Yaz. Karena mau nggak mau, lo emang harus begitu kan suatu hari nanti. Lo nggak bisa tuntut gue buat berdiri di samping lo terus. Hidup terus berlanjut, Yaz. Dan gue udah nggak lolos seleksi untuk terus hidup. Untuk itu, syukuri idup lo. Sekarang gue mohon,. Please cari jalan keluar!"
"Gue nggak tau di mana jalannya."
"Usaha dong! Cari jalan itu, sampai ketemu!"
"Tapi gue pengen sama-sama lo aja!"
Aldi menarik napasnya pelan, menghembuskannya pelan juga. Mengontrol emosi. "Susah amat ini anak dibilangin. Heh, masih banyak urusan di dunia yang belum lo selesaiin. Utang lo masih banyak, Yaz! Lo masih ada janji sama Leon buat ngajarin dia cetak goal kan? Terus lollipop yang lo janjiin ke dia gimana juga? Lagi, Fariz sama Iput. Lo utang banyak banget penjelasan ke mereka tentang kenapa lo nggak cerita tentang penyakit lo, lo nggak tahu kan gimana merasa bersalahnya mereka sebagai sahabat? Lo juga belum nepatin janji lo ke si Miss Lemot buat ngajarin dia main gitar. Lo utang permintaan maaf ke Mama Papa karena nggak terus terang. Dan yang paling penting adalah janji lo ke gue buat bikin kita terkenal! Mau mati penasaran terus jadi setan gara-gara urusan lo di dunia belum selesai?"
Jodi ternganga mendengar perkataan Aldi. "Kok lo tau bahwa gue punya hutang-hutang itu. Jadi selama ini lo perhatiin gue?"
"Ya iya lah, gue perhatiin lo," kata Aldi. "Lo pikir, siapa yang bawa gue ke sini kalo bukan jeritan hati lo? Well, selama ini gue belum bisa bener-bener menghadap ke Yang Kuasa, gue masih jadi arwah penasaran, soalnya gue masih punya utang ngakurin lo sama bokap. Kita kan kembar tuh, jadi dengan mudah gue bisa nemuin lo, dan ngelunasin utang gue! Itu semua karena kita punya ikatan batin yang kuat. Nah, sekarang masalahnya, kalo lo mati bawa utang, lo mau ngelunasin utang itu lewat siapa? Kita cuman kembar dua, Jod! Bukan tiga!"
Jodi masih terdiam. Dia paham betul semua perkataan Aldi. Dia baru sadar akan itu semua. Seperti biasa, Memang hanya Aldi yang mengerti dan bisa kasih solusi yang bisa membuat dia yakin.
"Udah sana balik! Tepatin janji lo ke orang-orang dan yang paling penting tepatin janji kita." Kali ini gantian Aldi yang memeluk Jodi. Sejujurnya Jodi ingin memeluk tubuh itu sampai dia puas. Tapi kenyataannya beda dengan yang dia nginkan. Tubuh Aldi semakin lama semakin memudar, hingga Jodi tidak bisa melihatnya lagi. Dia juga tidak bisa merasakan wujud Aldi lagi.
***
Ny. Aditya menggenggam erat tangan Jodi setelah melihat mulai ada gerakan. Ditatapnya lekat-lekat mata Jodi yang mulai terbuka. Jodi tak dapat melihat dengan jelas siapa yang ada di depannya. Dia memejamkan matanya lagi. Lalu membukanya lagi. Seseorang di depannya itu terlihat lebih jelas dari sebelumnya. Jodi melakukannya terus menerus hingga dia bisa melihat dengan jelas siapa itu.
"Mama!" Suara Jodi pelan dan parau. Dia langsung menangis saat melihat sang ibu.
"Sayang, kamu udah bangun, Nak?"
"Ma ... maafin aku, ya."
"Kenapa kamu nggak cerita tentang ini semua, Nak?"
"Maafin Jodi, Ma!" ucap Jodi lirih. "Jodi banyak salah sama Mama dan Papa. Jujur sebenarnya aku udah rencana mau cerita ke kalian pagi itu."
"Sst! Buat apa kamu minta maaf? Ini semua salah Mama dan Papa sejak awal. Kami terlalu egois dengan tak merelakan kepergian Aldi. Sehingga berimbas ke kamu. Sudah ... kamu nggak usah mikir apa pun lagi sekarang. Mama dan Papa sudah memutuskan. Setelah kondisi kamu membaik nanti, kita semua bersama-sama akan pulang ke Indonesia. Kamu pasti lebih bahagia di sana kan sayang?"
Maharani mengelus surai anaknya itu, lalu mengecup keningnya.
Jodi tersenyum mendengarnya. Ia benar-benar bahagia. "Papa mana, Ma?"
Jayadi tiba-tiba muncul, ia segera menggenggam erat tangan Jodi. Laki-laki itu tampak begitu sedih. "Jodi ... maafin Papa ya nak. Papa banyak sekali salah sama kamu. Papa janji, setelah ini nggak akan ada lagi luka yang tertoreh. Hanya tersisa bahagia."
Jodi tersenyum. Tak bisa diungkapkan dengan kata betapa bahagianya ia sekarang.
Tiba-tiba mata Jodi terpejam kembali, monitor pendeteksi detak jantung di sampingnya juga menunjukkan garis berwarma merah yang memanjang vertikal.
"JODI!" teriak Maharani.
Jayadi segera memencet tombol emergency berulang kali seperti orang kesetanan.