Jodi sedang penasaran? Bagaimana perasaan Jayadi ketika Jodi bilang, bahwa ia datang karena rindu pada kedua orang tuanya. Apakah ada getaran haru ketika Jodi mengatakannya? Atau memang tak asa getaran apa pun, selaras dengan wajahnya yang tak berekspresi apa-apa.
"Uhm ... Papa, ayo bersihkan diri dulu. Setelah itu kita makan malam bersama. Sudah siap semua makan malamnya." Sebuah kalimat dari Maharani itu menjadi penghenti saling menatap yang dilakukan ayah dan anak itu.
Jayadi pun segera berlalu meneruskan langkahnya, masuk ke dalam kamar. Sementara Jodi digandeng oleh ibunya menuju ke meja makan. Dan para asisten pun juga segera bubar setelah itu.
"Jodi, maafkan Papa, ya. Nggak seharusnya Papa menyambut kamu tanpa basa-basi. Bahkan langsung mengatakan saja tujuannya." Maharani langsung mewakili suaminya meminta maaf.
"Nggak apa-apa kok, Ma." Jodi tentu saja berbohong. Karena sebenarnya ia sama sekali tidak baik-baik saja seperti apa yang ia bilang. Ia sedang dalam kondisi syok, karena ternyata maksud kedatangannya ke sini, belum-belum sudah memiliki sebuah penghalang.
Tak lama kemudian, Jayadi turut bergabung dengan mereka. Tak peduli sedang mengenakan pakaian formal atau tidak, gaya Jayadi tetap saja sama. Tetap dingin, tetap jauh dari kesan family man.
"Mulai besok ya, Jod. Kamu ikut Papa ke kantor." Jayadi lagi-lagi tanpa basa-basi langsung mendikte Jodi. "Kesempatan mumpung kamu ada di sini. Kapan lagi kamu akan berkunjung ke kantor Papa di sini."
Jodi terdiam. Merasa tertekan. Bahkan masih bingung harus menjawab bagaimana.
"Pa ... Jodi baru datang tadi. Tolong, kasih dia waktu untuk istirahat dulu. Dia masih jet lag. Biarkan adaptasi sama situasi di sini dulu. Batu Papa ajak ke kantor." Maharani meskipun takut, berusaha memberanikan diri menyampaikan pembelaannya pada Jodi.
Sejak rencana kaburnya hari ini, ia sudah bertekat akan jadi sosok ibu yang lebih berani. Demi putranya sendiri. Di mana ia harus susah payah menahan rasa takutnya sendiri.
"Kamu harus berhenti manjain dia lah, Rani. Jodi itu sudah besar. Dia harus sudah mulai banyak belajar. Semakin banyak waktu dia sia-siakan, akan makin sedikit pelajaran yang ia dapat nantinya. Jodi palingan juga nggak lama di sini. Kan dia sekolahnya di Indonesia. Kalau dia malas-malas di sini, akan makin sedikit waktu Papa dapat kesempatan untuk mulai ngajarin dia."
Maharani sudah akan membuka mulutnya lagi untuk membela putranya. Tapi ternyata, Jodi sudah mengumpulkan kekuatannya untuk menjawab sendiri keinginan ayahnya.
"Oke lah, Pa. Ayo. Aku bersedia ikut Papa ke kantor besok."
Ternyata Jodi memutuskan untuk ikut dengan perintah Jayadi. Pikirnya, jika memang ini lah jalan yang harus ia tempuh supaya hubungannya dengan sang ayah membaik, maka akan ia lakukan hal itu. Sesulit dan seberat apa pun hal itu untuknya.
"Tuh, kan. Anaknya aja mau, tuh!" Tercipta senyuman tipis di wajah Jayadi.
Senyum yang sangat kadang lelaki itu lakukan. Membuat Jodi semakin yakin untuk mengambil keputusan ini.
"Sayang, kamu beneran nggak mau tunda dulu ikut Papa ke kantor? Kamu baru datang lho. Kamu juga pasti masih jet lag. Mama aja yang udah sering ikut Papa, masih suka jet lag kok. Bisa berhari-hari adaptasinya." Maharani ingin Jodi jujur saja dengan kondisi tubuhnya sendiri.
Bukan menerima ucapan ayahnya begitu saja. Padahal ia sebenarnya belum siap, baik secara fisik ataupun mental.
Jodi sebenarnya tak enak lada Maharani. Ibunya itu sudah mati-matian membelanya. Tapi Jodi malah memutuskan untuk setuju dengan ajakan sang ayah.
Bagi Jodi, bisa jadi kesempatannya tak banyak. Ia takut, jika saat malaikat maut menjemput, tapi hubungannya dengan kedua orang tuanya belum membaik juga.
***
Malam itu juga, Maharani kembali mengajak Jodi keluar ke pusat perbelanjaan. Karena Jodi sudah setuju dengan penawaran Jayadi, maka Maharani harus segera mempersiapkan pakaian yang tepat untuk anaknya itu. Ia mengajak jodi mencari setelan baju kerja untuk ia kenakan ke kantor..
Tidak sulit untuk menemukan pakaian yang cocok dengannya. Karena pada dasarnya fisik Jodi itu fleksibel. Mudah cocok dengan berbagai model dan warna pakaian.
"Kamu kelihatan ganteng banget kalau pakai setelan seperti ini." Maharani memuji putranya yang baru saja keluar dari kamar pas, untuk mencoba calon setelan kerja barunya.
"Jadi menurut Mama biasanya aku nggak ganteng gitu?" tanya Jodi.
Maharani pun tergelak. "Ya ganteng lah. Anak Mama ini kan adalah cowok paling ganteng se-galaxy Bima Sakti. Cuman kalau lagi paket setelan, gantengnya makin nambah. Soalnya auranya juga makin terpancar. Gitu lho maksud Mama."
Jodi hanya tertawa mendengar ocehan ibunya. Astaga. Ia malah salah fokus pada kata paling ganteng di Galaxy Bima Sakti. Ada-ada saja ibu-ibu kalau memuji anaknya sendiri.
Selesai memilih beberapa setelan baju kantor, mereka pun kini sedang menunggu semua pakaian yang mereka beli, diproses pengemasan oleh pada karyawan store.
Di saat itu lah, Maharani terus memperhatikan putranya itu.
"Jodi, kamu yakin mau ikut Papa ke kantor besok?"
"Iya, Ma. Memangnya kenapa?"
"Ya sudah kalau begitu. Mama takut kalau kamu menjalani ini semua karena terpaksa. Karena takut sama Papa. Mama takut kamu akan tertekan."
Jodi pun terdiam. Ya, seperti apa yang mengganggu pikiran Maharani. Pada kenyataannya, ia memang melakukan semua ini dengan terpaksa. Tapi demi tercapainya tujuan baiknya, Jodi mau tak mau harus melakukan hal ini. Dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menikmati segala prosesnya, meski mungkin memang akan sangat berat baginya.
***
Pagi ini, Jodi benar-benar akan melakukan ini. Akhirnya sesuatu yang selama ini berusaha ia tolak, akan ia lakukan dengan sepenuh hati. Ia memagut dirinya dalam cermin. Agak takjub juga. Benar kata Maharani. Ia terlihat lebih berkharisma ketika mengenakan setelan resmi.
"Jod ... ini berar. Tapi ini demi kebaikan. Demi keberhasilan misi Lo pergi ke Utah. Ayo, lakukan yang terbaik. Jangan sampai nyerah di tengah jalan. Ingat, Lo udah bisa sampai sejauh ini. Sayang banget kalau sampai gagal sebelum berhasil."
Jodi berbicara pada dirinya sendiri di dalam cermin itu.
Kemudian baru lah ia berjalan keluar dari kamarnya, menuju ke meja makan. Di sana sudah menunggu kedua orang tuanya. Dan Jodi pun segera bergabung untuk melakukan sarapan.
Maharani lagi-lagi mengujinya seperti kemarin. Sementara Jayadi hanya diam. Namun pandangan matanya memperhatikan Jodi dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Mereka pun segera sarapan dengan nikmat kemudian. Setelah sarapan, Jodi langsung masuk ke mobil bersama Jayadi.
Situasi menjadi sangat canggung di sepanjang perjalanan.
Namun seakan semua berubah ketika mereka sudah sampai di kantor.
Kantor besar nan megah itu mayoritas dipenuhi oleh para bule. Dan ayahnya merupakan bos terbesar mereka. Wibawa Jayadi sungguh tidak main-main. Semua orang menyambutnya sembari menunduk.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya mereka sampai di ruang rapat. Dan di sana lah Jodi akhirnya menemukan sisi lain dari sang ayah.
Hari ini, untuk pertama kalinya, sorot penuh kebanggaan itu terpancar dari mata Jayadi, pada Jodi.
"Please welcome, my one and only son, Jordiaz. He Will start to join the company today. Please take care of him well."
Jodi seakan tak percaya dengan sorot mata dan senyum penuh rasa bangga itu. Tak bisa dipungkiri, Jodi sangat bahagia karenanya.