Menjelang pukul 12. Sudah cukup lama. Kepala bayiku sudah menggantung di sana. Beberapa saat yang lalu keluarnya. Aku masih mengistirahatkan diri.
Kuelus pelan kepalanya yang terasa licin karena bercampur lendir. Sedetik kemudian aku mengejan lagi. Kali ini berhasil mengeluarkan ia sepenuhnya.
Segera kurengkuh tubuhnya dan kuletakkan ia di dadaku. Laki - laki.
Tali pusatnya menjuntai dari liang lahirku, karena masih menyatu dengan ari - ari yang belum keluar.
Ia mengerjap lalu menangis keras.
Tak terasa aku pun menangis.
Anakku, maafkan aku. Aku berjanji akan mencintaimu sepenuh hati mulai sekarang.
***
Vai tak henti - hentinya memainkan pipi Kun, keponakannya yang baru lahir tiga hari lalu. Vai rasa, Kun sangat mirip dengannya. Ia sangat senang melihat Kun tersenyum.
Vai mengelus perutnya saat rasa tak nyaman itu kembali datang. Semalam ia terbangun terus karena rasa tak nyamannya. Ia sedikit mendengkus. Kemudian sibuk memainkan pipi Kun lagi.
Ergh ... kali ini perut Vai terasa seperti ditarik. Rasanya seperti kram. Dan lagi, perutnya juga mulai teraea mulas.
Ia berlari ke kamar mandi, duduk di toilet cukup lama. Aneh ... tak ada apa - apa yang keluar. Vai berusaha cuek. Ia kembali ke kamar Lav dan bermain dengan Kun.
"Kau dari mana, Vai?" tanya Lav yang ternyata sudah menunggu dalam kamar.
Kapan pulangnya dia?
"Dari kamar mandi, Lav," jawab Vai.
"Vai ... kalau perutmu sakit, segera bilang padaku, ya?"
Vai jadi berpikir keras. Sekarang perutnya sakit, tapi ... ia tak berani bilang. Namun ia segera mengangguk. Padahal ia sendiri tak yakin.
Saat Vai berada di depannya, Lav kembali memeriksa perutnya. Melakukan gerakan memutar dan sedikit menekan di beberapa bagian. Posisi kedua bayi Vai sudah sangat bagus. Tapi Vai belum juga merasakan kontraksi, atau memperlihatkan tanda - tanda akan melahirkan.
Lav pun segera beralih dan mengganti popok Kun. Vai sangat lega. Ia sangat gemetar saat Lav memeriksa perutnya tadi.
Perut Vai kembali terasa kencang. Ia segera beranjak keluar dari kamar Lav. Untung Lav tak terlalu memperhatikan karena sedang fokus menatap putranya.
Vai berjalan tertatih ke kamarnya. Ia meringis - ringis sakit. Sesekali ia meraih seseuatu sebagai tumpuan berjalan. Sampai di kamar, Vai segera berbaring. Rasanya lumayan nyaman seperti ini. Meskipun rasa mulasnya tetap ada.
Vai mencoba tidur. Syukur lah, ia benar - benar tertidur akhirnya.
***
Sore hari sekitar pukul setengah lima. Vai terbangun. Ia disambut oleh rasa sakit yang luar biasa diperutnya. Tak dipungkiri ia segera memekik karena kaget. Bagian bawah sana terasa basah.
Vai meraba celananya yang memang basah. Ia tak bisa melihatnya karena terhalang besarnya perut. Vai mulai menangis. Perutnya sangat sakit. Pergerakan bayi - bayinya kali ini benar - benar menyakitinya.
Vai terus mengelus pelan di bagian pergerakan bayinya, berusaha tenang. Tapi bayinya sama sekali tak mau tenang.
Perut Vai terus mengencang. Vai merasakan sensasi licin di area k*********a. Ia takut sekali.
Vai hanya pasrah berbaring sekarang. Ia tak tahu harus apa. Hanya bisa kesakitan dan menangis.
***
Lav merasa khawatir. Tak biasanya Vai bersikap aneh seperti ini. Selepas memandikan Kun, ia segera ke kamar adiknya.
"Lav!" seru Vai ketika Lav masuk.
Sudah Lav duga. Sudah waktunya Vai melahirkan.
Lav segera mendekat, melepas celana Vai. Baru pembukaan lima. Tapi sepertinya Vai sudah sangat kesakitan.
"Lav ... sakit ...."
"Ssstt ... tenang, ya. Vai harus kuat. Baby akan segera lahir." Lav berusaha menenangkan Vai. Di lain sisi ia sendiri sangat takut dan khawatir.
"Lavh ... baby ... akan lahir?" ulang Vai terputus - putus.
"Iya. Saat baby akan lahir, rasanya memang sakit."
"Iya ... sangath sakith. Tapi ... tapi Vai senang baby akan lahir."
Kali ini Lav tak bisa menahan air matanya untuk. Ia segera menyibak kaos Vai. Lalu melakukan gerakan memutar seperti pijatan di beberapa bagian. Ia tak tega. Ingin menyerahkan persalinan adiknya pada orang lain saja. Tapi itu tak mungkin. Hanya ia yang ada di sini sekarang. Tak mungkin ia meninggalkan Vai.
Lav segera melebarkan kedua kaki adiknya. Kembali mengecek pembukaan. Sudah bertambah satu senti. Lav memutuskan untuk ke dapur, merebus air dan menyiapkan peralatan yang lain.
***
Pukul tujuh malam. Pembukaan Vai belum juga lengkap. Vai terus mengalami pendarahan. Lav tak henti - hentinya menangisi keadaan adiknya.
Vai menahan mengejan mengikuti signal tubuhnya. Hingga pukul 8, akhirnya tiba saatnya perjuangan Vai.
"Vai, saat perutmu sangat sakit, kau harus mengejan, ya. Mengejan sekuat yang Vai bisa."
Vai mengangguk kecil. Ia benar - benar melakukannya. Lav tahu itu sangat sakit. Tapi Vai tak menyerah.
"Bernapas Lah, Vai ... ayo dorong ...!"
Lav melihat kepala bayi Vai menyembul. Ia memberitahu Vai untuk terus mengejan. Vai menurut. Dengan sedikit memekik, kepala bayinya sudah separuh keluar dan terus keluar hingga sebatas leher. Vai terhempas ke ranjang dengan terengah hebat.
"Bernapas Lah, Sayang!"
Vai menangis. Perutnya sakit sekali, hingga ia merasa tak sanggup. Ia tidak kuat lagi.
"Mengejan lagi, Vai. Sebentar lagi baby keluar."
"Aaaarggh, errggghh ...." Vai mengejan lagi.
Peluh membasahi seluruh tubunya. Hingga sensasi ringan menyambut, setelah sakit yang teramat sangat. Bayinya sudah keluar. Vai tersenyum. Ia berhasil. Bayi itu menangis di sana.
Lav tak bisa menahan air matanya lagi. Adiknya ... kenapa nasib adiknya harus seperti ini?
"Lav, aku igin melihatnya," ucap Vai lemah.
Lav dengan bangga menunjukkan bayi laki - laki itu pada Vai.
"Laki - laki?"
"Iya."
"Adiknya masih di dalam perut, Lav."
"Iya, Vai. Vai harus berjuang sekali lagi."
Suasana haru itu berubah tegang lagi saat Vai kembali kesakitan. Kontraksi lagi. Bayi keduanya akan segera menyusul. Tapi bayi itu belum turun. Posisinya masih jauh di dalam sana.
"Lavh!" Vai menggenggam erat tangan Lav.
"Sabar dulu, Sayang. Baby masih beum turun."
Vai menggeleng kasar. Rasanya sangat sakit. Ia ingin semuanya segera berakhir.
Vai mengejan tak keruan. Membuat hanya gumpalan - gumpalan darah saja yang keluar.
Lav terus berusaha menangkannya. Tapi Vai tak terkontrol. Ia terus mengejan.
Sekitar 1,5 jam kemudian bayi kedua itu lahir. Namun kondisi Vai sepertinya tak baik. Ia pucat. Seperti tak ada darah lagi di tubuhnya.
Lav yang sudah menduga ini akan terjadi telah mengambil dua kantong darahnya sendiri. Golongan darah mereka sama, sehingga Lav tak perlu khawatir.
Vai pingsan. Di saat itu lah Lav bisa bebas menangis. Ia berjanji, mulai saat ini tak kan pernah meninggalkan Vai lagi.
***