"Kamu kenapa, Ma? Kok masuk buka pintunya kenceng amat, buru-buru!" Jayadi langsung mengomeli istrinya yang ia anggap tidak santun kelakuannya. Ia mengernyit menatap wajah istrinya. Baru ia sadari, Maharani menangis.
Emosi Jayadi langsung terpicu lagi. Karena ia langsung teringat saat istrinya terus menangis hanya karena tidak diizinkan mengangkat telepon masuk dari nomor rumah.
"Rani ... sudah lah, kenapa kamu malah nangis lagi? Bukannya kamu sudah setuju, kita bisnis dulu sebentar. Kemudian kamu akan pulang lama nanti, nemanin Jodi. Dia juga pasti sudah dibawa ke rumah sakit Sama Mbah Jum sekarang. Apa yang kamu khawatirkan sehingga terus menerus menangis seperti anak kecil?"
Maharani sudah payah menenangkan diri, menahan supaya sesenggukan yang ia alami segera mereda. Karena jika tidak, ia tidak akan bisa bicara dengan benar, untuk menjawab ucapan Jayadi.
"Pa ... bukan itu masalahnya. Aku baru saja cek ponsel. Ada panggilan dari nomor nggak aku kenal. Dua kali. Kemudian karena nggak aku angkat teleponnya, orang itu mengirim pesan. Dia mengaku sebagai Pak Irwan. Papa ingat, kan? Pak Irwan yang kita reskrut sebagai guru les privat Jodi dan Aldi dulu? Dia sekarang juga adalah gurunya Jodi. Beliau bilang bahwa ...."
Belum selesai Maharani bicara, namun sudah disela oleh Jayadi. "Dia bilang, Jodi sekarang lagi berada di ICU, kan? Katanya kondisi Jodi kritis, kan? Dan dia juga bilang ... Jodi mengidap kanker darah, kan?" Jayadi dengan santainya menjawab demikian, sambil membalik halaman korannya.
Seketika Maharani tercengang dengan mulut terbuka. Bisa-bisanya setelah mendengar kabar seperti itu tentang putranya sendiri, tapi Jayadi masih bisa begitu tenang. Tidak panik sama sekali
"Pa ... bagaimana Papa bisa tetap tenang ketika mendengar hal buruk terjadi pada anak kita? Ya, aku ngerti. Mungkin Pala masih terbayang kejadian saat Aldi pergi. Tapi apa benar, ketika anak kita satunya lagi berada dalam bahaya, Papa tidak melakukan apa-apa kecuali terus lanjut membaca koran?" Maharani memberanikan dirinya sediri, berusaha kuat supaya ia tidak terus menerus hanya menangis.
Ucapan dengan nada cukup tinggi dari sang istri itu, cukup untuk menghentikan aktifitas Jayadi membaca koran. Laki-laki itu meletakkan koran di atas meja, lalu melepas kaca mata bacanya
"Rani ... kenapa kamu harus panik dan khawatir pada informasi yang bahkan nggak jelas berasal dari siapa? Well, dia mengaku sebagai Pak Irwan. Tapi kenyataannya? Apakah ia benar-benar Pak Irwan atau bukan, nggak ada yang tahu. Bagaimana kalau orang itu adalah bagian dari sindikat penipu? Bukan kah kita sudah cukup berpengalaman menghadapi hal-hal seperti ini, sebagai seseorang yang sudah bertahun-tahun menjalani bisnis skala besar?"
Ah, Maharani mengerti kenapa Jayadi bisa begitu tenang. Ternyata laki-laki itu menganggap bahwa informasi tadi tak lebih hanya sekadar tipuan saja.
Maharani kini juga menyadari, bahwa seseorang yang sejak tadi melakukan panggilan padanya, Ternyata memang lah orang yang sama, dengan yang melakukan panggilan pada Jayadi. Bahkan ia juga mengirim pesan yang sama pada suaminya.
Maharani yang tadinya begitu panik, kini ikut tersugesti oleh anggapan Jayadi bahwa seseorang yang coba menghubungi mereka ini adalah seorang penipu.
"Tapi, Pa ... bagaimana kalau informasi yang diberikan itu benar? Bagaimana jika ini berhubungan dengan telepon dari rumah tadi?" Maharani masih coba meyakinkan sang suami.
"Nggak mungkin lah. Jodi mana mungkin sakit seperti itu. Selama ini kita selalu memberikan perawatan terbaik. Juga memberikan makanan kelas terbaik. Mana mungkin dia sakit parah. Ada-ada aja."
Maharani pun terdiam. Memikirkan ucapan sang suami. Memang benar, sejak dulu mereka selalu memberikan segala sesuatu dengan kualitas terbaik pada Jodi. Rasanya memang tidak mungkin jika putranya itu sakit parah seperti apa yang dikatakan seseorang di ponsel itu.
"Pa ... bagaimana kalau untuk memastikan, kita telepon ke rumah aja?" Maharani pun mengucapkan apa yang ingin ia lakukan. Takut pasti jika suaminya kembali marah. Tapi ia memberanikan diri.
"Ya silakan aja. Paling juga nggak ada yang angkat. Mereka semua pasti ikut antar Jodi ke rumah sakit, kan." Jayadi kembali menjawab dengan begitu santainya seakan tanpa beban.
Ketenangan Jayadi segera mensugesti Maharani untuk kembali merasa tenang. Dan kini ia yakin, orang di ponsel itu memang hanya seorang yang berusaha menipu mereka saja.
Di saat bersamaan, terdengar pemberi tahuan bahwa pesawat yang akan mereka tumpangi sebentar lagi akan memasuki jadwal terbang.
Jayadi pun segera meminta istrinya itu untuk bergegas. Maharani pun akhirnya tak memiliki pilihan selain ikut serta. Ia masih menyimpan keinginannya untuk kabur diam-diam. Tapi sepertinya tidak akan ia lakukan sekarang.
***
Geram rasanya. Sampai ia menggenggam erat ponselnya itu. Pesan yang ia kirim sudah dibaca, baik oleh Jayadi ataupun Maharani. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang membalas. Bahkan ketika Pak Irwan sudah memberi waktu jeda 30 menit pada mereka. Tapi sama sekali tak ada balasan dari keduanya.
Malangnya Jodi hidup dalam Keluarga yang seperti ini. Wajar jika akhirnya Jodi tumbuh menjadi anak yang suka seenaknya sendiri. Karena memang tidak ada sosok yang benar-benar membimbingnya. Hanya ada para asisten, yang pasti tak berani menegur berlebihan jika Jodi melakukan kesalahan.
Sekarang Jodi justru mengalami kemalangan lain. Ia sakit parah, ia pendam sendiri semuanya.
Pak Irwan berjalan gontai mendekati tiga orang lanjut usia itu kembali. Syukur lah sekarang Mbah Jum sudah lebih tenang.
"Bagaimana Pak Guru? Apa Bapak dan Ibu sudah memberi kabar?" tanya Mbah Jum.
Pak Irwan tak berani menatap wanita itu. Karena sudah merasa memberi harapan palsu. Ia ternyata tidak berhasil memperoleh kabar dari Jayadi dan Maharani.
Pandangan Pak Irwan justru lurus menatap pada Jodi di dalam sana. Jodi yang masih belum sadarkan diri. Jodi yang tubuhnya dihiasi banyak peralatan medis.
"Maafkan saya, Bu Jum, Pak Muklas, Pak Bagio ... ternyata saya tidak berhasil mendapat kabar dari Pak Jayadi ataupun Ibu Maharani. Tapi tenang saja, saya akan tetap berada di sini untuk membantu kalian memantau perkembangan kondisi Jodi. Saya nanti juga akan menghubungi teman-teman baiknya. Saya yakin, mereka juga akan bersedia memantau kondisi Jodi. Saya jamin, mulai sekarang, meskipun tanpa kehadiran kedua orang tuanya, Jodi tidak akan pernah kekurangan kasih sayang dan perhatian lagi."
Pak Irwan serius mengatakan itu semua. Sungguh, ia sakit hati. Bagaimana seorang anak bisa begitu malang. Bahkan mungkin nasib anak-anak yatim di panti asuhan masih jauh lebih baik dari nasib Jodi. Setidaknya banyak orang yang sayang pada mereka. Tidak seperti Jodi yang malang.
Pak Irwan juga ingin menebus kesalahannya yang memilih untuk bersikap tegas pada Jodi selama 2 tahun ini. Padahal ia tahu persis bagaimana kondisi Jodi. Ia ingin berganti posisi untuk menegaskan pada Jodi tentang azaz kehidupan yang baik. Tapi sepertinya ia memang sudah terlalu keras.
Ia berjanji, mulai sekarang ia akan kembali menjadi sahabat Jodi. Seperti dulu.