2. Usaha Pertama

1565 Kata
Udara dingin di malam musim kemarau itu tak mampu menyejukkan hati Tara. Amarah terus memanas dan berkecamuk dalam jiwanya. Ia tidak bisa duduk santai di tempat tidur, hanya menekuri monitor laptop di pangkuannya, dan berulang kali membaca email yang terpampang di sana sampai setiap kata dan kalimatnya melekat dalam ingatan. Rasa sedih menusuknya begitu dalam. Air bening menggelincir dari sudut matanya dan turun membasahi pipi. Pundaknya naik-turun, tubuhnya bergetar saat kepedihan kembali menyelimuti diri. Bayangan dirinya berjalan meninggalkan pintu panti asuhan dan gadis kecil yang menangis didekap seorang suster membuatnya terisak kencang. Sampai sekarang sakitnya perpisahan itu masih membekas dan tak mungkin terlupakan. Ia dan adiknya, Tina, harus mengalami masa-masa sulit setelah kehilangan orang tua mereka. Mulai dari hidup di panti sampai akhirnya mereka diadopsi orangtua berbeda. Dan meskipun sejak itu mereka hidup terpisah, kasih sayang di antara mereka tidak pernah berkurang. Derita Tina adalah derita Tara, begitupun dengan kebahagiaannya. Ia takkan membiarkan seorang pun menyakiti Tina. Tara menyeka air matanya dengan punggung tangan, lalu meremas seprai katun yang membungkus kasur. Kemarahan membuat sekujur tubuhnya gemetar. Ia menggertakkan rahang dan berkata penuh dendam, "Aku bersumpah kau akan membayar semuanya, Bastian Witjaksono. Kau harus merasakan penderitaan yang sama seperti yang Tina rasakan." *** Kriiing ... kriiing Telepon di meja kerja Tara berdering. Tara melepaskan tarian jemari lentiknya dari atas keyboard komputer untuk mengangkat gagang telepon dengan cepat. Setelah berbicara beberapa saat dengan si penelepon, Tara bangkit dari duduknya dan bergegas menuju ruangan Keyzia. “Masuk!” Perintah Keyzia setelah Tara mengetuk pintu. Tara mendorong pintu ruangan Keyzia dengan penuh semangat. Namun, semangat Tara mendadak anjlok setelah pintu ruangan itu terbuka lebar. Ia melihat tidak hanya Keyzia yang berada di ruangannya, tapi ada dua eksekutif lainnya di sana. “Selamat siang, Bu Key, Bu Anna ... Pak Bastian.” “Selamat siang. Mari duduk di sini, Bu Tara.” Keyzia menunjuk tempat kosong di samping tempat duduknya. Ragu-ragu, Tara duduk. Meskipun berusaha untuk tetap tenang, tetapi berhadapan dengan Bastian secara langsung dan dari jarak dekat tetap membuat jantung Tara berdetak dua kali lebih kencang. Tina. Nama itu kemudian yang menguatkan Tara untuk tidak gugup apalagi gentar menghadapi Bastian. Dan seperti terhipnotis nama itu, Tara mampu menatap Bastian dengan berani saat tatapan mereka berserobok. “Begini, Bu Tara.” Ucapan Keyzia mengembalikan logika Tara dan membuat wanita itu mengalihkan pandangan kepadanya. “Kami bertiga sudah membicarakan masalah iklan yang diusulkan Bu Tara dalam meeting kemarin. Pak Bastian setuju jika Bu Tara mulai besok bisa memulai tugas lapangan untuk menemui dr. Barry dan meminta ulasannya tentang produk baru dari anak perusahaan kita.” Tara diam mencerna ucapan Keyzia. Ia sedikit bingung tapi ia yakin bisa melakukan perintah Keyzia. Berbeda dengan Bastian yang sedari tadi memperhatikan Tara. Pria itu yakin kalau Tara diam karena wanita itu merasa tidak mampu dan terbebani dengan tugas tersebut. “Apa tugas itu terlalu berat untuk Bu Tara?” tanya Bastian dengan nada sedikit sinis. Tara menyatukan alisnya lalu tersenyum simpul menanggapi pertanyaan mencela Bastian. “Tentu tidak, Pak Bastian. Saya senang dengan pekerjaan yang Bapak berikan. Berapa hari saya harus mendapatkan ulasannya?” Tara berbalik menantang Bastian. “Tiga hari,” tegas Bastian. “Tiga hari? Dokter itu perlu meneliti kandungan bahan-bahan dalam produk baru kita, Pak? Jika waktunya terburu-buru, penilaian dan ulasannya mungkin tidak akan se-objektif yang diinginkan.” Tara memprotes. “Tidak sanggup tiga hari?” tantang Bastian. “Pak Bas ....” Keyzia memberi peringatan pada Bastian untuk memberi Tara waktu lebih banyak, tapi Bastian tidak menggubrisnya. “Kalau tidak sanggup—“ “Bapak akan mendapatkan ulasan dari dr. Barry dalam waktu tiga hari.” Tara memotong ucapan Bastian dengan penuh keyakinan, sekaligus mematahkan keraguan pria itu. “Oke. I keep your promise.” Bastian berdiri lalu melihat Keyzia dan Anna. “Selamat siang.” Ia kemudian meninggalkan ruangan Keyzia tanpa menoleh ke arah Tara sedikit pun. Tara mengembus napas. Kekesalannya pada Bastian harus ia sembunyikan dalam-dalam di depan Keyzia dan Anna ketika kedua wanita itu kembali fokus berbincang dengannya. “Bagaimana, Bu Tara? Bisakah Ibu meminta ulasan dan penilaian dr. Barry dalam waktu tiga hari?” Anna terlihat masih ketar-ketir dengan jawaban yang sudah ia dengar sebelumnya. “Jangan khawatir, Bu Anna,” sambar Keyzia, “saya yakin Bu Tara bisa mendapatkan apa yang dijanjikannya pada Pak Bastian. Saya jaminannya.” Tara tercengang. Ia tidak menduga Keyzia sangat memihaknya sejak pertama kali ia memasuki ruang meeting. “Bu Key—“ “Kalau ada kendala dalam proses di lapangan, Bu Tara jangan sungkan hubungi saya,” potong Keyzia. “Baiklah, Bu Key. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.” “Kerjakan saja apa yang diperintahkan Pak Bastian dan jangan sampai mengecewakannya. Pekerjaan Bu Tara di sini untuk sementara saya berikan pada asisten saya dulu.” “Baik, Bu.” Siang itu juga Tara menghubungi sahabatnya, Lala. Ia meminta model majalah pria dewasa tersebut untuk membantunya bertemu dengan dr. Barry Irawan. Lantaran Lala berteman baik dengan dr. Barry, tidak terlalu sulit untuknya membuat janji temu di luar jam praktik sang dokter. Meskipun Tara mendapat kemudahan akses bertemu dengan dr. Barry, tetapi perjuangan setelah bertemu dengannya tidaklah mudah. Tara harus berpura-pura menjadi pengguna produk skincare baru dari perusahaannya. Ia tidak mengatakan bahwa ia bekerja di WSG Globe kepada dr. Barry agar dokter itu bisa memberikan penilaian dan testimoni yang objektif terhadap produk skincare tersebut. Keesokan harinya Tara kembali menjalani pekerjaannya seperti biasa, padahal ia sudah mendapatkan izin untuk tidak masuk kantor dan fokus pada urusannya dengan dr. Barry. “Kok, hari ini Bu Tara masuk?” Suara Keyzia yang tiba-tiba terdengar mengejutkan Tara. “I-iya, Bu.” Tara berhenti bercengkerama dengan keyboard komputernya. Ia mengarahkan pandangan ke pintu ruang kerjanya dan melihat Keyzia dengan blazer hijaunya sudah berdiri di sana. “Sudah bertemu dengan dokter kulit itu, Bu Tara?” lanjut Keyzia. Dari tempat duduknya Tara menyambut kehadiran Keyzia dengan senyuman manis. Tara terus memandangi Keyzia sampai wanita itu tiba di depan meja kerjanya. “S-sudah, Bu, tapi saya masih menunggu dr. Barry memberikan ulasannya. Saat ini saya sedang membuat laporan kegiatan saya kemarin. Tadi saya sudah berdiskusi sedikit dengan Bu Anna. Kami sudah mempunyai rencana agar semuanya berjalan sealami mungkin dan tidak ada kesan dibuat-buat saat dokter itu memberikan ulasan terhadap produk baru kita nanti, Bu." "Bagus. Saya tunggu kabar baiknya, ya." Keyzia tersenyum bangga. Chief Financial Officer yang menjadi atasan langsung Tara di departemen keuangan itu memang terkenal ramah. Ia tidak segan bertegur sapa dengan staf yang berada di bawah perintahnya dan staf dari departemen lain. "Bisa kita berangkat sekarang?" Suara maskulin Bastian membuat Tara terkesiap. Pria paling berpengaruh di gedung berlantai 48 itu tiba-tiba saja muncul seperti hantu di tengah pintu ruang kerja Tara yang terbuka lebar. Ekspresi wajahnya dingin dan pandangannya hanya ditujukan kepada Keyzia, seakan tidak ada orang lain di tempat itu. Tara bergegas berdiri, meski tahu pria itu tidak peduli. "Selamat siang, Pak." Bastian hanya melirik dan tidak menjawab. Pria dengan setelan jas abu-abu itu memalingkan pandangannya ke arah lift yang terletak di depan ruang kerja Tara. Partisi ruangan yang terbuat dari kaca memudahkan Tara untuk bisa menganalisa arah pandangan CEO arogan itu. Tara mengatupkan bibirnya rapat-rapat, mengatur napas, dan meredam emosinya agar tak terlihat oleh Keyzia. Di saat kepalanya hanya berisi kekesalan pada Bastian, Tara melihat reaksi berbeda di wajah Keyzia. Tampak jelas wanita itu tidak menyukai sikap Bastian yang dingin dan pongah terhadap Tara. Satu lagi kemenangan untukku, batin Tara. "Saya dan Pak Bastian akan pergi makan siang. Saya juga mau tahu perkembangan iklan natural itu karena Bu Tara masih menjadi bawahan saya di departemen ini. Nanti, kirim soft copy-nya ke email saya. Terima kasih." "Baik, Bu." "Yang asli, bawa ke ruangan saya." Tiba-tiba Bastian angkat bicara. Dengan kedua tangan terkubur di saku celana dan tatapan tajam yang menembus iris cokelat Tara. Bastian memperingatkan, "Saya mau laporan itu sudah ada di meja saya saat saya kembali." "Tapi, ini baru laporan sementara saja, Pak, karena ulasannya belum ada." "Aturan nomer 63 di perusahaan ini adalah tentang transparansi. Bu Tara mau dianggap tidak melakukan transparansi pekerjaan Ibu?" Keyzia berbalik memelototi saudara sepupunya menyatakan keberatan. "Bas—" "Saya yang membuat keputusan, Bu Key." Bastian menegaskan siapa dirinya. Keyzia mengangkat pundaknya dan berkata pasrah, "Okay. You're the Boss." "Baik, Pak. Saya akan memberikan laporannya pada asisten Bapak sebelum Bapak kembali." Tara mencoba mengakhiri percakapan yang mulai menegang antara Keyzia dan Bastian. "Saya mau Anda juga ada di sana untuk menjelaskan. Saya yakin, orang dari departemen keuangan dan akuntansi tidak terlalu becus membuat laporan pemasaran,” titah Bastian dengan nada mencemooh. Darah Tara kembali memanas. Tangannya mengepal erat di samping rok pensil merahnya. Namun, sekali lagi ada Tina di hati dan pikirannya yang menuntut agar ia tidak melepaskan pria sombong itu dari bidikannya. Titah Bastian yang tak terbantahkan disambut Tara dengan senyuman kaku. "Baik, Pak." Keyzia mengacungkan jempolnya dan memandang Tara bangga. "Good girl! Kalau begitu saya pergi dulu. Jangan lupa untuk makan siang, Bu Tara." Tara kembali tersenyum sambil berucap, "Iya, Bu. Terima kasih." Keyzia berbalik lalu menarik pelan tangan Bastian supaya segera mengikuti langkahnya. "Kenapa sih kamu tidak bisa bersikap ramah sedikit saja pada staf di sini?" pertanyaan bernada tinggi Keyzia terdengar jelas oleh Tara yang masih memandangi punggung mereka yang semakin menjauh. "Ramah bukan nama tengahku," ucap Bastian, sama sekali tidak berniat memelankan suaranya. Aku yakin sebentar lagi keangkuhanmu yang setegar gunung batu itu akan terkikis habis, Bastian. Tara tersenyum sinis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN