8. Salah Paham

1410 Kata
Tara menarik selimut sampai menutupi pundaknya. Ia mencoba kembali terlelap dengan kenyamanan yang ia rasakan. Namun, tiba-tiba kesadaran mengusik ketenangannya. Masih dengan mata tertutup, gadis itu mencoba mengurutkan peristiwa yang terjadi kemarin siang hingga malam. Perlahan mata Tara terbuka. Tatapannya terpaku pada langit-langit di atas ranjang dan lampu gantung dengan pencahayaan yang redup, ia lalu duduk sambil memijat dahi. Sesaat kemudian, pandangannya memindai dinding marmer di sekeliling kamar hingga tiba di walk-in closet yang berisi pakaian, tas, dan beberapa pasang sepatu pria berbagai jenis dan warna yang berada di sudut kamar. Kamar siapa ini? Tara kebingungan, tetapi beberapa detik kemudian ingatannya dipenuhi oleh perintah Bastian semalam yang membuat perutnya mual. Oh, s**t! Ini pasti kamar si berengsek itu. Tara menduga dalam hati. Ia menyibakkan selimut, lalu turun dari ranjang. "Ups! Apa ini?" Tara menyilangkan tangan menutupi bagian bawah tubuhnya yang hanya mengenakan celana dalam berwarna hitam. Serangan panik pun datang saat ia meraba bagian dadanya yang terbalut kemeja putih. "Ya, Tuhan. Where is my bra?" Kekalutan menghantarkannya kembali ke ranjang untuk menarik selimut lalu melilitkan ke tubuhnya. "Apa yang sudah terjadi sebenarnya? Bastian Witjaksono, awas kamu kalau berani macam-macam padaku!" Sambil menggerutu Tara mencari-cari pakaiannya, namun ia tidak menemukannya. Ia menahan jeritan saat ia menatap dirinya di cermin besar di dalam walk-in closet. Penampilannya tampak sangat kacau. Wajahnya kusam dan rambutnya kusut mengembang seperti sarang burung. "Auw! Sangat mengerikan." Tara berlari ke luar menuju kamar mandi tapi kejutan lain sudah menantinya di sana. "Wow!" Tara terperanjat saat pintu kamar mandi terbuka. Sejenak, tanpa sadar, Tara menikmati pemandangan bentuk tubuh telanjang pria yang sangat mengagumkan. Bahunya yang lebar dan dadanya yang bidang membuat Tara ingin ber-landing ria di sana. Air dari pancuran mengguyur melintasi bulu-bulu di dadanya dan semakin turun membasahi lekukan six pack-nya. "Sedang apa kamu di sana?!" teriakan Bastian memaksa kesadaran Tara untuk berkumpul. Tara mengerjap. Rasa malu, bingung, dan kaget tercermin di wajahnya. "Saya ... saya mau ke kamar mandi." "Apa kamu tidak mendengar ada suara orang sedang mandi, hah?!" tanya Bastian dengan nada geram. "Maaf, Pak. Saya kebelet pipis." Tara berdalih untuk mengaburkan kegugupannya. Bastian berjalan ke arah Tara. Jantung Tara hampir meledak ketika pria itu menarik selimut yang melilit tubuhnya. Secara otomatis Tara melangkah masuk ke kamar mandi untuk menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh. "Buka!" perintah Bastian. Tara membelalak. "Apa?! Tidak mau!" Bastian terus berusaha membuka selimut Tara. Namun, Tara tetap mempertahankan hingga terjadilah perebutan selimut. "Bapak mau ngapain sih?!" tanya Tara dengan nada kesal. Tara berbalik dan berniat keluar dari kamar mandi secepatnya tapi Bastian berhasil mencegahnya. Ia melingkarkan tangannya ke tubuh Tara dari belakang dan menyeretnya ke bawah pancuran. "Aduh! Pak Bas, mau ngapain sih?" "Aku bilang buka selimutnya. Susah amat sih!" Merasa kedinginan dan hampir tidak bisa bernapas lantaran besarnya volume air yang mengguyur di atas kepalanya, Tara merelakan Bastian membuka lilitan selimutnya. Sesaat kemudian, Bastian mendorong tubuh Tara agar menjauh darinya. "Sekarang kamu boleh berbalik," tutur Bastian dengan nada yang sedikit lebih tenang. Tara berbalik. Bibir merah muda alaminya membentuk huruf O. Ternyata Bastian merebut selimutnya untuk menutupi bagian tubuh yang jelas-jelas menunjukkan jenis kelaminnya, pikir Tara. Tatapan Tara masih terpaku pada lilitan selimut di pinggang Bastian, sementara d**a Bastian bergemuruh hebat melihat cetakan transparan p******a Tara di balik kemeja basahnya. Tara menangkap reaksi Bastian. Ia menurunkan pandangan ke dadanya. "Oh, my God!" Tara salah tingkah. Ia menyilangkan tangan di depan d**a lalu berbalik dan berlari ke luar dari kamar mandi. Bastian mengikuti. Langkah Tara terhenti saat tatapannya berserobok dengan tatapan Keyzia yang sudah berada di dalam kamar, sedangkan Bastian tertahan di belakang Tara. "B-Bu Key," ucap Tara gugup. "Key, what are you doing here?" imbuh Bastian. Sama halnya dengan Tara dan Bastian, Keyzia pun terkejut. Pasalnya, semalam ia merasa tidak yakin jika Bastian dan Tara memadu kasih. Ibu muda yang selalu berpenampilan anggun itu berpikir mereka hanya bersandiwara. Ia hafal betul seperti apa kakak sepupunya. Namun, pagi itu ketidakyakinannya terbantahkan. Keyzia menatap selimut basah yang melilit di pinggang Bastian. Lalu, tatapannya beralih ke rambut Tara dan kemejanya yang basah kuyup. Wanita itu mengerutkan dahi melihat bulatan hitam kecil di d**a tara. Refleks, Tara kembali menyilangkan tangannya di depan d**a. Bastian merespon reaksi gugup Tara. Ia memutar tubuh Tara, merengkuhnya ke dalam dekapan untuk menutupi rasa malu wanita itu. "Sorry, pintu kamarnya terbuka. Kupikir kamu sendirian dan sudah siap berangkat ke kantor. Aku hanya ingin mengambil berkas-berkas keuangan kantor cabang WSG Globe," jelas Keyzia. Bastian melepas dekapannya dan membiarkan Tara yang masih terbebani rasa malu berdiri memunggungi Keyzia. Ia menuntun Keyzia berjalan menuju pintu. "Berkasnya ada di meja kerjaku. Kamu cari saja sendiri. Aku mau berpakaian," tutur Bastian sedikit berbisik sambil memegang kenop pintu kamanya. "Kamu tidak lupa memakai kondom, 'kan, Bas?" canda Keyzia hampir menyemburkan tawa. "Shut up! Sudah sana ke meja kerjaku!" usir Bastian. Tawa Keyzia terdengar keras, membuat Bastian ingin menjitak kepala wanita itu. Setelah pintu tertutup, ia berjalan melintasi Tara menuju walk-in closet. "Waktumu hanya lima belas menit untuk mandi dan berpakaian jika tidak ingin terlambat tiba di kantor," titah Bastian, "kamu pakai handuk baru saja. Kamu bisa ambil di lemariku. Tadi aku lupa membawa handuk." Terbiasa tinggal sendirian, Bastian bebas melakukan apa saja di dalam kamarnya bahkan ketika ia tidak mengenakan sehelai pakaian pun. Namun, pagi itu Bastian melupakan Tara yang tidur di kamarnya. "Siap, Komandan!" sahut Tara penuh semangat. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, Tara sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya. Ia tidak mau datang terlambat ke kantor. Rambut hitam basahnya menjuntai melewati bahu. Tetesan-tetesan air yang belum terseka oleh handuk masih menempel di wajah dan pundaknya bagai butiran kristal, membuat kulit mulusnya yang terekspos mengkilat dan bercahaya. Dari depan cermin besar di walk-in closet, Bastian melihat pantulan wajah dan tubuh Tara yang berdiri sekitar satu meter di samping kiri belakangnya. Desir gairah mengalir ke seluruh pembuluh darah Bastian. Sebisa mungkin iris kelabunya menghindari pemandangan itu. Namun, godaan terkuat adalah ketika reaksi tubuh mengkhianati pikiran. Tatapan Bastian tidak bisa beralih dari Tara. "Pakaian saya di mana, Pak?" pertanyaan Tara membuat Bastian mengerjap. "Aku menyimpannya di tempat pakaian kotor," balas Bastian enteng. Tara melotot. "Apa?! Bra saya juga?" Bastian mengangguk. "Yep!" "Terus, saya pakai baju apa dong sekarang? Mana sama bra-nya juga. Bapak juga sih pakai acara buka-buka bra segala. Semalam Bapak menggerepe-in saya, ya?" tuduh Tara tanpa basa-basi. Bastian menggertakkan gigi. Amarah bergulir melintasi kilat matanya. "Kamu salah kalau kamu pikir aku tertarik padamu. Katamu, kamu tidak suka tidur sambil mengenakan bra. Kamu sendiri yang melepasnya. Juga rok dan blazermu. Apa perlu aku putar ulang rekaman CCTV di kamar ini saat kamu menelanjangi diri kamu sendiri?" Tara tersentak. Ia tidak percaya ucapan Bastian lantaran ia tidak mengingat semua itu. Namun, jika itu benar, mau ditaruh di mana mukanya? pikir Tara. "Tidak perlu, Pak." Pandangan Bastian menjelajah tubuh Tara dari atas ke bawah, lalu ia berbalik dan berjalan menuju nakas di samping ranjang. Pria itu mengambil ponsel dari laci nakas tersebut, kemudian menghubungi Keyzia. "Key, bawakan setelan kerja untuk Tara. Size M." "Kamu tunggu di sini. Keyzia akan membawakanmu pakaian baru," tutur Bastian setelah menutup panggilan teleponnya. "Oh, iya. Kalau kamu risih, kamu bisa memakai bathrobe-ku dulu. Ambil sana di lemari!" Tara mengerucutkan bibir. Bastian seenak jidatnya memerintah Tara. Jika bukan karena Tina, ia tidak sudi berurusan dengan pria bernama Bastian itu. Sambil menggerutu dalam hati dan fokus pada lipatan jubah mandi milik Bastian yang tersampir di tangannya, Tara berjalan tergesa. Dari arah berlawanan, Bastian yang sedang memfokuskan pandangannya pada layar ponsel berjalan ke arah Tara. Tabrakan pun tidak terelakan. Tara menjerit ketika langkahnya limbung dan melayang. Dengan cekatan, Bastian meraih tubuh Tara ke dalam dekapannya dan jatuh bersama-sama ke atas ranjang dengan posisi Bastian berada di atas tubuh Tara dan mendekap posesif wanita itu. "Auw! Pak, aduh! Ah!" teriak Tara. Keyzia mengetuk pintu kamar Bastian. Namun, lantaran Keyzia mendengar teriakan Tara, ia langsung membukanya. "Bu Tara tidak apa ...." Kalimat Keyzia menghilang di ujung saat pemandangan di hadapannya menjelaskan dengan sangat jelas bahwa Tara tidak apa-apa. Pemandang yang menakjubkan ketika dua orang sedang di mabuk asmara. Itu yang ada di pikiran Keyzia. "Aku letakkan baju Bu Tara di sofa ruang tamu saja, ya! Maaf, mengganggu. Oh, iya. Aku akan bilang pada Bu Zizah kalau kalian akan datang terlambat," imbuh Keyzia. Pandangan Bastian dan Tara spontan tertuju pada Keyzia. "Key, kita tidak sedang—" "Bu Key, jangan salah paham ...." Penjelasan Tara dan Bastian tidak berguna sama sekali karena Keyzia dengan cepat menutup pintu kamar itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN