Ketamakan bukanlah rasa dahaga yang dapat terpaksa oleh kekuasaan. Ketamakan adalah candu dimana kekuasaan adalah penangguh kebutuhan yang terus berlipat ganda.
Rujak Pala berdesir kencang, bahkan para anggota buta tidak menyadarinya. Mereka tidak akan pernah menyangka bahwa orang yang harusnya mereka intimidasi malah bertindak seberani, senekat dan segegabah itu. Baseball bat berwarna gelap itu menghajar pinggul salah satu buta yang berdiri paling depan dan paling tepi. Machete nya terlempar berdencingan di jalan gang sedangkan tubuhnya linglung menabrak dinding. Satu gerakan serangan Bratasena yang tiba-tiba itu membuatnya tak sadarkan diri.
Satu rekannya juga sama tidak beruntungnya. Awalnya bermaksud menyerang Bratasena dengan machete tajamnya, kedua kakinya digasak laki-laki bertubuh besar itu dengan baseball bat yang berhasil melumpuhkan rekannya tadi. Akibatnya sungguh fatal dan fenomenal. Walau anggota buta ini tidak kalah besar dan berotot, namun kekuatan pukulan Bratasena membuat kedua kakinya terangkat ke udara sedangkan kepalanya menubruk tanah.
Anggota buta terakhir sigap dengan adegan yang luar biasa cepat dan tak diperkirakan ini. Ia berhasil melayangkan sabetan machete nya ke arah Bratasena. Bacokan itu memapras udara kosong karena sang target mampu menghindar dengan baik. Ia sendiri terlempar mundur dan jatuh terduduk karena serangan balasan berupa tendangan Bratasena. Orang ini merupakan anggota buta yang tadi mengeluarkan kata-kata ancaman kepada para Pendawa. Kini mulutnya kelu karena rasa sakit di ulu hati dan tulang ekornya menyeruak ke otaknya. Ia berusaha bangun namun tak mampu karena matanya berkurang-kunang dan akhirnya membuatnya tak sadarkan diri persis seperti kedua temannya. Hal terakhir yang ia lihat sebelum semaput adalah bayangan hitam baseball bat yang melayang tepat ke arah wajahnya.
Kegelapan berusaha menutupi ketiga sosok tubuh yang bergelimpangan di jalan gang tersebut. Namun Bratasena, Permadi dan para Punakawan tahu dengan jelas bahwa ketiga orang tersebut adalah anggota kelompok buta dari Pringgandani Corp. yang jelas dikirim untuk mengintimidasi dan mengancam para Pendawa dari Astina Enterprise by any means necessary alias menggunakan cara apapun. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah agar Pendawa ngeper dan menyingkir dari area bisnis kekuasaan mereka.
Bratasena meletakkan Rujak Pala nya ke lantai paving block. Badan raksasanya menunduk ke arah salah satu sosok yang pingsan di depannya. Maksud hati ingin memegang jas hitam korbannya untuk dicek identitas atau apapun yang bisa dilihat dan dicari tahu. Namun teriakan awas Permadi membuat refleks Bratasena yang luar biasa bagus mendorongnya berguling cepat ke depan dan menghindar dari desingan peluru.
"Dua orang di atap. Mereka menggunakan sniper rifle Modelo 1950. Kakang ke kanan, aku ke kiri," ujar Permadi.
Komunikasi serba cepat ini sudah menjadi makanan Pendawa sehari-hari. Mereka harus selalu bersifat taktis dan praktis dalam menghadapi ancaman.
"Mereka adalah orang-rang gandarwa, tuan," ujar Penyukilan kepada Permadi.
Para Punakawan juga mencari tempat perlindungan. Smarasanta dan Bagong masuk ke dalam bar, sedangkan Sukodadi dan Penyukilan menempelkan punggung mereka di dinding bangunan seberang bar bersama Permadi. Dari sini, penembak jitu di atas atap tidak dapat mencapai mereka.
Bratasena berlari dengan begitu gesitnya, meninggalkan rentetan tembakan di belakangnya. Ia meloncat ke tangga darurat dan mencelat ke lantai atas.
Permadi demi melihat Kakangnya sudah jauh dari sasaran tembak dengan santainya meloloskan kedua pistolnya dan dengan anggun berjalan ke tengah gang dan melepaskan tembakan ke arah datangnya serangan.
Teriakan menggema di atas sana.
Kelihaian sang flamboyan dalam ilmu menembak jelas tak bisa dipertanyakan lagi. Lawan-lawannya yang menggunakan senapan laras panjang khusus sniper pun tidak dapat menyelesaikan misi mereka, sedangkan Permadi dari jarak sekian dengan hanya dua Ruger Pistol 22 Automatic berhasil melukai mereka. Ketajaman pandangan dan ketepatan menembak Permadi berada di atas rata-rata.
Permadi masih berdiri di tengah gang dengan kedua pistolnya mengacung ke arah para penyerang berada. Tidak ada reaksi balasan dari para penyerang.
"Aku dan Kakang Bratasena akan mengejar mereka. Lindungi ibu dan kangmbok Drupadi. Jangan lupa urus mereka," kata Permadi kepada Sukodadi dan Penyukilan sambil menggerakkan kepalanya sedikit ke arah ketiga anggota buta yang pingsan di jalan gang itu.
Tanpa menoleh ke belakang dan memasukkan pistol lagi ke holsternya, Permadi lari dengan cepat sampai tubuhnya hilang ditelan gelap. Sukodadi dan Penyukilan saling pandang, kemudian sama-sama memalingkan wajah mereka ke arah tiga tubuh berserakan tak sadarkan diri. Keduanya juga sama-sama berkacak pinggang tanpa berkata-kata.
Tubuh bulat Bagong muncul dari dalam bar setelah celingak-celinguk memperhatikan keadaan di luar. Tak lama Pinten dan Tangsen ikut keluar dengan pisau terhunus di tangan kiri mereka. Samiaji keluar terakhir, karena Smarasanta ditinggalkan untuk menjaga dan menemani Madame Kunthi dan Lady Drupadi.
"Kalian tahu apa yang harus dilakukan," ujar Samiaji kepada para Punakawan.
"Iya tuan. Kita harus mengganti lampu-lampu gang ini dengan yang lebih terang," ujar Bagong polos.
Sukodadi memutar bola matanya ke atas, sedangkan Penyukilan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dari balik topi boater nya. Pinten dan Tangsen saling berpandangan, tidak terlalu memperhatikan keluarga atau kebodohan Bagong dan reaksi saudara-saudaranya.
Tak butuh waktu lama ketika mereka akhirnya mendengar suara sirine mobil polisi meraung-raung mendekat. Segera saja sepasang saudara kembar tersebut masukkan kedua pisau ke sarungnya. Raut wajah mereka juga dapat dibaca oleh sang saudara tua, Samiaji.
Mobil polisi yang tidak dapat masuk gang tersebut berhenti di ujung jalan. Raungan sirene berhenti dengan satu bunyi meletup yang khas, namun sinar di tonjolan di atas mobil masih berputar, seakan menyapu tiap sudut gang, menyilaukan mata. Dua petugas keluar dengan tergesa-gesa dari dalam mobil.
Salah seorang petugas langsung meloloskan sebuah revolver colt .22 long rifle nya, sedangkan satu rekannya sudah menggenggam gagang senapan laras panjang M1 Carbine kaliber .31 yang terkenal ringan dan mudah digunakan. Kedua petugas itu menodongkan senjata mereka kepada kelompok manusia yang berdiri di depan tiga tubuh tergeletak tak bergerak di depan sebuah bar yang dindingnya menghitam. Percikan listrik masih terjadi sedikit-sedikit di tengah bau terbakar dan bensin.
"Kalian cukup cepat untuk sebuah keterlambatan," ujar si bungsu kembar Tangsen.
Sang saudara kembar, Pinten ikut menimpali dengan dengusan yang dikeraskan dan kedua mata memicing sinis, "Saking cepatnya, kata 'keterlambatan' jadi hilang maknanya."
"Wah, wah, wah ... dua anak muda yang pandai bermain kata. Kalian tahu apa sebutan anak muda seperti kalian bagi orang tua seperti kami? Kurang ajar ... Ya, kurang ajar namanya. Biasanya kekurang ajaran cukup disumpal dengan bogem. Tapi untuk kalian, tinju saja nampaknya tak cukup," ujar petugas polisi yang menodongkan revolver colt nya.
"Karena nampaknya kalian adalah keluarga yang suka berbicara, kita perlu berbicara panjang. Masuk!" perintahnya penuh amarah dan kilatan kebencian memantul dari sepasang bola matanya.