Kalabendana Classics. Manuscripts, Scriptures, and Bookstore

1029 Kata
Persaudaraan sejatinya bukanlah ikatan semacam rantai yang berjalinan. Persaudaraan adalah kebutuhan. Kebutuhan untuk saling memenuhi dan saling melengkapi. Persaudaraan adalah dua roda bergerigi yang saling mengisi celah agar keduanya dapat berputar. Kota kecil di bagian timur jauh Wanamarta itu terbangun di malam hari. Siang adalah kehidupan palsunya, sedangkan malam adalah kehidupan yang sejatinya. Keadaan ini jelas berbeda dengan kota pusat Wanamarta dimana siang adalah kehidupan dan malam adalah waktu dimana mayoritas masyarakat menutup pintu rapat-rapat karena para pecinta kejahatan mulai mengeluarkan cakar mereka ketika malam kelam hadir menyapa dengan paksa. Lampu-lampu beragam cahaya mulai dihidupkan di casino, bar, nightclub, pub, restoran, hotel, jalan-jalan, dan apartemen-apartemen. Pasangan kekasih bergandengan berjalan cepat dan ceria, berhenti hanya ketika mobil-mobil Ford Thunderbird atau Chevrolet Corvette merah lewat sebelum mereka menyebrang jalan. Dua bangunan raksasa menjadi latar belakang kota kecil itu. Satu gedung adalah sebuah pabrik pengepakan daging, sedangkan satunya yang lebih kecil namun terlihat lebih terang adalah sebuah lembaga dan perusahaan yang bergerak di bidang medis. Keduanya milik sebuah perusahaan raksasa bernama Pringgandani Corp. Di balik gemerlap malam, sudut-sudut kota kecil ini tetap menyimpan kegelapannya. Empat blok ke arah sebuah gudang barang, satu sosok misterius berjalan melewati blok demi blok di keremangan jalan. Lampu jalan temaram menyamarkan wajahnya yang tertutup cap hitam yang nampak kebesaran untuk kepalanya. Ia mengenakan jaket kulit dan celana panjang denim yang oversized. Sosok itu berjalan mantap walau terlihat sekali menghindari keramaian menuju ke sebuah toko buku kecil yang berwarna-warni karena kaca display nya yang dihiasi oleh kaca patri atau came glasswork dan leadlight. Potongan-potongan kaca kecil disusun membentuk sebuah pola atau gambar, disatukan dengan bilah-bilah timbal dan disangga dengan bingkai kaku di samping dan di atas jendela display dan sedikit bagian di atas pintu dan ventilasi. Di bagian atas kaca patri jendela display itu tertulis besar-besar tulisan dengan font bergaya Helvetica, 'Kalabendana Classics. Manuscripts, Scriptures and Bookstore.' Tumpukan buku-buku bersampul kulit yang kecoklatan dengan tulisan judul dan penulis buku yang keemasan atau berwarna merah terang bersatu dengan buku-buku yang usang dimakan waktu menjadi pemandangan yang kontras dengan kaca patri yang berkilauan. Namun pemandangan ini malah membuat sebuah kepuasan tertentu bagi para pejalan dan pengunjung toko buku ini. Belum lagi cahaya lampu dari dalam bangunan yang memberikan efek bermain pada kaca-kaca tersebut. Sosok itu menurunkan ujung cap nya agar tetap menutupi wajahnya ketika telah sampai di depan toko buku tersebut. Ia melihat kiri dan kanan sebelum membuka pintu perlahan. Gerakan ini menimbulkan bunyi lonceng yang diletakkan di atas pintu bagian dalam. Bau buku menyeruak. Selain tumpukan buku di lemari, display, bahkan di lantai, ada pula gulungan perkamen dan kertas-kertas dengan beragam bentuk dan format. Ia menarik nafas panjang menghirup bau yang luar biasa menenangkan ini. Di belakang meja setinggi d**a orang dewasa berdiri seseorang dengan kepala yang sedikit lebih besar dari badan yang menopangnya. Ia berdiri menggunakan pijakan tambahan agar dapat terlihat oleh pelanggan. Memang ia masih cukup muda, tapi tetap saja struktur tubuhnya tidak biasa. Sepertinya sewaktu kecil ia menderita stunting yang membuat tubuhnya berhenti tumbuh. Namun dibalik bentuk fisiknya, aura wajahnya menunjukan ketentraman dan kenyamanan. Rambutnya lepek seperti menempel di kepala saja. Dua giwang lebar di kedua telinganya menambah ketidakcocokan parasnya. Ada pula sedikit bibit kumis dan jenggot samar di wajahnya. Ia mengenakan sweatshirt berwarna krem dan kacamata dengan frame terbuat dari cangkang penyu. Melihat kedatangan seorang tamu, lelaki ini menyibak kacamatanya untuk melihat lebih jelas dan tersenyum. Ia turun dari penyangga tubuhnya dan menghampiri sang tamu yang bahkan untuk ukuran manusia normal, sosoknya ini cukup jangkung. Melihat perbedaan keduanya benar-benar bak gambaran antara laut dan gunung. "Kenapa kau mengenakan pakaian laki-laki kangmbok? Kau terlalu cantik untuk ini," ujar sang penjaga toko buku itu dengan mendongakkan kepalanya jauh ke atas. Di sisi yang lain, tentu saja sang tamu menundukkan wajahnya jauh ke bawah untuk melihat ke arah sang pemuda kerdil itu. Tak diduga sang sosok jangkung misterius tersebut mengecup kening sang laki-laki pendek itu, "Adikku tersayang Kalabendana, sejak kapan seorang anggota buta itu cantik atau tampan? Kita adalah orang-orang bengis tanpa belas kasihan, kasar dan seram. Bukankah itu mengapa kita diberi nama buta yang berarti raksasa, dan kita bangga akan itu?" "Ah, kangmbok Arimbi. Sarkasme … sarkasme mu itu. Ayolah kita duduk di sana, aku lelah harus mendongak untuk berbicara denganmu. Aku juga tak tega melihatmu harus menunduk terus hanya untuk berbicara denganku. Akan kubuatkan secangkir espresso. Ini toko buku, alkohol tidak bekerja baik disini. Seperti mengenakan oversized denim seperti yang kau kenakan itu dipasangkan dengan double-vested suit. You may, but they just don't go together. They don't fit. Tapi ... Sebagai gantinya, akan kubuatkan espresso dengan ekstrasi tingkat tinggi hingga pahitnya melebihi gelapnya malam di Pringgandani ini." Sosok misterius yang kemudian diketahui sebagai Arimbi dan adik bungsunya, Kalabendana tersebut tertawa renyah bersama. Tangan Kalabendana menggandeng tangan kakaknya ke sebuah sudut di toko buku itu. Dengan kursi-kursi kecil dan sebuah meja bundar, dikelilingi oleh buku dan bau kertas nya yang khas, Arimbi tidak bisa menolak kenyataan bahwa ia merasa nyaman berlipat-lipat. Bau kopi tak lama menyeruak membobol indra penciuman kedua insan manusia tersebut. sekejap saja mereka sudah mulai menyesap cairan kopi regukan demi regukan tanpa kata. Sudah dua gelas kecil espresso mereka habiskan. "Aku hampir lupa rasa kopi," ujar Arimbi. "Hah, kau sedang serius, kangmbok? Bisa-bisanya engkau melupakan rasa kopi. Bagaimana mungkin kau gantikan kafein dengan alkohol, kangmbok? Ini benar-benar tidak bisa diterima!" ujar Kalabendana dengan sebal yang sedikit dibuat-buat. Arimbi tersenyum kecut. "Aku tak pernah menggantikannya, adikku. Hanya sudah hampir tidak pernah meminumnya." "Bukankah itu sama saja? Artinya kau kan sudah tidak berpikir bahwa kopi adalah bagian dari hidupmu lagi. Whiskey? Rum? Yang mana kangmbok? Kau sedang melarikan diri dari apa?" "Bukan melarikan diri, hanya menghindar." "Ah, kau sedang kembali memainkan kata-kata lagi? Ayo lah kangmbok, kau pasti kesini karena ingin mengatakan dan mengutarakan sesuatu, bukan? Sudahlah, muntahkan saja apa yang ada di dalam pikiranmu itu," desak Kalabendana mengenal baik tabiat dan sifat kakak perempuan yang ia sayang itu. "Aku memang kesini untuk suatu kepentingan, tapi bukan berarti hanya itu yang aku inginkan. Tidak bolehkah aku bertemu adik bungsuku yang paling kusayangi?" "Ah, akupun rindu kau kangmbok."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN