10| Athala Winanta

1611 Kata
"ATHALA Winanta." Sebuah jabatan tangan disertai senyuman manis dari arah sosok laki-laki berwajah tampan itu, datang menyapa Nasya sesaat setelah gadis itu sampai ke dalam sebuah restoran mewah berbintang lima yang terletak di daerah pegunungan. Memilih untuk membalas jabatan tangan itu sembari tersenyum ramah, "Renasya Agnalia, panggil aja Agna." Dari balik kumis tipis yang menghiasi wajah itu, Nasya dapat melihat kalau laki-laki 'hasil jodohan' Papanya itu tersenyum saat mendengar suaranya. Entah apa maksud dari hal itu, Nasya hanya berharap kalau hari ini akan berjalan dengan baik dan sesuai rencananya. "Silahkan duduk." sambung laki-laki berjas putih itu sesudah melepaskan jabatan tangannya dari tangan Nasya. Sedangkan gadis yang saat ini terlihat sangat menarik dengan balutan one shoulder dress berwarna hitam. Tak lupa membiarkan rambut cokelat panjangnya disanggul sempurna, menambah aura luar biasa dari gadis pemilik mata abu itu.         "Sebelumnya saya mau minta maaf karna terlambat, saya gak nyangka aja kalau perjalanan kesini itu jauh banget." tidak ingin membiarkan kesan pertamanya hancur, Nasyapun sudah lebih dahulu menjelaskan. Penjelasan yang secepat itu direspon dengan sebuah anggukan kepala santai dari arah lawan bicaranya, "Gak apa-apa, saya paham sama jalanan pegunungan kok," "Tapi maaf sebelumnya," lanjut Athala lagi, "Saya sudah pesan makan, takut kalau kamu lapar karna terlalu lama dijalan." Ada sedikit rasa tersanjung di dalam diri Nasya karna menerima perhatian manis, "Iya, gak apa-apa. Saya juga kebetulan belum makan." "Syukurlah," balas Athala lagi sembari bernapas lega, "Saya pesan pasta, kamu suka pasta?" Tidak ada kata tidak untuk pertanyaan manis yang datang dari arah laki-laki berparas tampan itu. Merasa kalau acara perjodohan yang di awal sangat amat Nasya benci ini, ternyata tidaklah seburuk dugaannya. "Ngomong-ngomong, saya dengar dari Ayah, kamu jurusan fashion design, ya?" kecanggungan yang Nasya kira akan bertahan lama, nyata kembali hilang ketika Athala kembali mengajaknya berbincang. "Iya, tapi saya masih semester 4," jawab Nasya malu, "Gak kayak kamu, masih muda tapi udah S2." Sebuah tawa kecil Athala perlihatkan kala Nasya memujinya. Tawa manis yang sempat menyihir gadis itu untuk tak mengedipkan matanya. Mulai mempertanyakan, kenapa laki-laki sesempurna Athala dapat masih melajang di umurnya yang sudah matang ini. "Iya, saya juga gak habis pikir sama kehebatan saya." "Hm?" merasa salah mendengar ucapan sang lawan bicara, gadis itupun mengedipkan mata beberapa kali, "Gimana?" Masih dengan tawa kecilnya, laki-laki itu menatap Nasya lekat, "Saya juga gak nyangka, kalau ada orang sesempurna saya." Satu buah kalimat yang berhasil meruntuhkan segala jenis kekaguman yang sempat Nasya tanamkan. Tampan, kaya, berpendidikan tinggi dan memiliki perilaku normal, nyatanya tak ada di dalam sifat manusia. Tidak tahu harus merespon ucapan itu dengan bagaimana, Nasya memilih tertawa kecil. Terpaksa harus melakukan itu agar setidaknya, lawan bicaranya ini tidak terlihat terlalu aneh. "Kamu tahu, minggu lalu saya baru saja membeli sebuah pesawat pribadi," tidak berhenti sampai disana, laki-laki aneh bernama Athala itu kembali berkoar, "Betapa beruntungnya kamu, kalau seandainya perjodohan ini berhasil." "Gitu, ya?" respon Nasya malas, hampir saja mengeluarkan kata 'bodo amat' kalau saja ia tak mengingat siapa orang yang sudah mengatur pertemuan ini. "Oh iya," nyatanya, keanehan itu belum juga berakhir, "Saya juga tahun depan akan melanjuti pendidikan. Kebetulan saya keterima di Universitas impian, mungkin kamu kalo sudah lulus bisa lanjut--" "Maaf memotong-" sebelum Athala menyelesaikan omong kosong yang malah membuat Nasya merinding, gadis itu lebih dahulu menyela, "Tapi sepertinya saya permisi ke toilet dulu." "Toilet?" beo laki-laki itu dengan alis menaut, "Bukannya toilet disini pasti kotor? Memangnya kamu bisa?" Malas menjawab, hanya anggukan kepala saja yang mampu Nasya berikan sebagai jawaban. Tidak ingin kembali berbincang dengan manusia penuh rasa percaya diri itu. Beranjak dari atas kursi makannya sebelum berjalan cepat menuju sebuah pintu yang letaknya cukup tersembunyi. Dapat bernapas lega karna berhasil kabur dari hadapan manusia aneh itu. Tak ingin kembali ke hadapannya dan mendengarkan omong kosong itu sepanjang malam. "Gila, pantes aja gak ada yang mau. Dari lahir selalu dipuji atau gimana, sih?" gerutu Nasya ketika dirinya memandangi pantulan tubuhnya dicermin. Menyesal karna sudah membuang waktu dua belas jamnya untuk mempersiapkan penampilan luar biasanya malam ini, hanya untuk bertemu dengan laki-laki aneh yang hobi membanggakan dirinya sendiri. Sibuk mengatur pikirannya sebelum getaran dari dalam ponselnyapun terdengar. Meski malas memeriksa siapa orang yang sudah mengiriminya pesan, Nasyapun akhirnya tetap memutuskan untuk membuka pesan yang masuk ke dalam benda pipih itu. Membaca kata perkata yang masuk dari sebuah nomor tak dikenal dengan perasaan tak enak. 082145xxxx Kamu sudah selesai? Perlu saya jemput? Dan begitu menyadari siapa yang sudah mengiriminya pesan ini, mata Nasya sontak membulat sempurna. Panik sendiri dengan kepala yang menoleh ke arah kanan dan kiri, memastikan kalau manusia aneh itu tidak berada di sekitarnya. "Mampus gue." dengan tangan yang sudah menghilang ke dalam mulutnya, Nasya mengumpat penuh kegelisahan. Ia tidak ingin kembali kehadapan Athala dan mendengarkan obrolan tak pentingnya sepanjang malam, yang ada telinganya bisa seketika tuli. Jadi, sebelum keinginan laki-laki itu terwujud, Nasya sudah lebih dahulu mengangkat kaki dari dalam toilet itu. Berjalan dengan mengendap-ngendap agar dapat keluar dari dalam restoran mewah ini tanpa terlihat oleh sosok 'tampan' itu. Sebisa mungkin berjuang untuk menutupi wajahnya menggunakan tas kecil yang sedari tadi dirinya bawa, tidak perduli kala dirinya saat ini tengah menjadi pusat perhatian dari arah para pelayan di dalam restoran ini. Karna yang hanya Nasya perdulikan, adalah segera keluar dari sini dan kabur kemanapun. Dapat bernapas dengan sedikit lega karna dirinya berhasil menginjakan kaki keluar dari dalam tempat terkutuk itu. Memilih untuk menyelesaikan masalah keduanya, yaitu kendaraan. Menyesal karna sudah meminta supir yang diutus Nando untuk mengantarnya, Nasya perintahkan untuk pulang. Alhasil disinilah gadis itu berada, di depan teras restoran dengan kepala yang sibuk berputar. Mencoba mencari kendaraan apapun agar dapat menghilangkan dirinya saat ini. Kepanikan itu semakin Nasya rasakan saat getaran kedua kembali terasa di dalam genggamannya. Dengan takut-takut, gadis itu memeriksa pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. 082145xxxx Itu yang didepan kamu? Sedang apa?         Hirupan napas ganas yang Nasya lakukan, seakan memberikan tanda kalau sebuah bencana akan segera datang menghampirinya. Semakin kalang kabut di tempatnya dengan otak yang mendadak kosong, tak bisa memikirkan apapun untuk saat ini. Sempat berniat untuk lari ke depan restoran dan memberhentikan sebuah taksi, sebelum kemunculan tiba-tiba dari sosok yang tak disangka-sangka hadir. Kemunculan yang berhasil menarik perhatian Nasya untuk menajamkan penglihatannya yang memang sedikit bermasalah. Bahkan sangking tak percayanya, gadis itu sempat mengusap kasar kelopak terhias eyeshadow itu. Sekali lagi meyakini, kalau kehadiran Derren bukanlah sebuah halusinasi belaka. "Aduh, kenapa gak Kak Rino ajasih yang muncul!?" gerutu gadis itu gemas. Sempat menimang untuk sesaat sebelum langkah pasti dirinya ambil. Tak memiliki pilihan lain selain menghampiri sosok tampan yang berniat ingin memasuki sebuah mobil Lamborghini Aventador berwarna biru tua. Hampir saja menghilang ke dalam mobil dua pintu itu sebelum tepukan singkat nampak menyapa bahu kokoh Derren. Tepukan yang berhasil menolehkan sang pemilik tubuh dalam waktu singkat, terlihat menatap Nasya dengan wajah terkejudnya meski hanya dalam waktu hitungan detik. "Lo ngapain disini?" "Nonton konser!" gemas Nasya, "Ya makanlah." "Maksud gue, kok lo bisa disini?" ralat Derren tanpa merubah ekspresi tenangnya, sesekali cowok itu terlihat memalingkan wajahnya dari arah Nasya. "Itu--" kali ini, ekspresi gadis itu berubah kembali panik, bahkan ia sempat menolehkan kepalanya ke arah belakang, memastikan kalau Athala tak sedang mengejarnya. Hal yang membuat Derren ikut melakukan hal yang sama, baru menyadari wajah panik dari gadis cantik dihadapannya ini. "Gu-gue boleh nebeng gak?" tanya Nasya dengan wajah memohon, menatap manik Derren dengan lekat. Berharap kalau hal itu akan membuat lawan bicaranya menyetujui permintaan dadakannya, meski di akhir, manusia menyebalkan tetaplah akan menjadi manusia menyebalkan. Karna bukannya merasa iba, cowok itu justru malah merasa kesal. Menganggap kalau senior satu itu sudah membuang-buang waktu berharganya. "Gila ya lo?" hanya kata itu yang terdengar pedas di telinga Nasya sebelum dirinya berniat kembali melangkah pergi. Namun sudah jelas, kalau Nasya tak akan membiarkan Derren meninggalkan dirinya begitu saja. "Iya, anggep aja gue gila, tapi please tolongin gue," ujarnya pasrah dengan sesekali menolehkan kepalanya ke arah belakang, "Gue bisa mati mendadak kalo stay disini." Sempat menepis genggaman tangan Nasya dari arah jaket bombernya sebelum kembali menatap sinis gadis itu. Menganggap sentuhan Nasya adalah sebuah virus yang dapat menularkannya. "Bukan urusan gue." Hampir saja berteriak memaki kalau saja Nasya tak mengingat mimpi buruknya yang bisa saja datang menghampiri sekarang juga. "Derren, ayolah, masa sama temen kampus lo tega jahat kayak gini," ucap Nasya masih berusaha membujuk manusia batu itu. "Temen kampus?" beo Derren tak suka, "Sejak kapan kita temenan?" Menyerah untuk kembali memohon dengan kata-kata, Nasyapun berusaha keras untuk membuang segala jenis ego gila yang berada di otaknya. Apalagi saat ponselnya kembali bergetar singkat, membuat gadis itu sempat kehilangan akalnya untuk sesaat. Karna sebelum cowok itu benar-benar meninggalkan dirinya ditempat ini, Nasya sudah lebih dahulu berlutut dengan tangan yang terlihat menyatu didepan wajahnya. Tak lupa dengan manik penuh rasa sedih yang saat ini terlihat menatap lekat ke arah sosok tampan itu. Terpaksa harus mengeluarkan jurus andalan terakhirnya demi kelangsungan hidup. Sebuah hal mengejutkan yang mampu menghadirkan wajah mematung si tampan, menatap tak percaya ke arah Nasya yang baru saja melakukan hal gila itu dihadapannya. "Please?" pinta Nasya untuk kali terakhirnya, masih dengan pandangan yang menatap lekat ke arah manik cokelat Derren. Menunggu respon cowok berkacamata itu dengan putus asa, sudah tak bisa memikirkan cara lain kalau Derren benar-benar berakhir pergi meninggalkannya. "Gue akan kabulin satu permintaan lo kalo lo sekarang bantu gue, hm?" penawaran gila terakhir yang berhasil keluar dari dalam bibir itu tanpa bisa dipikir ulang. Bukannya cepat-cepat merespon, malah hening yang menyapa cowok berkacamata itu. Sibuk memandangi manik indah Nasya tanpa dapat berkata-kata. "Satu kedikitan?" Ralat Nasya dengan otak yang dirinya putar, "Dua? Apa ti--" "Naik." belum sempat menyelesaikan penawaran gila itu, Derren lebih dahulu memotong. "Apa?" geming Nasya tak yakin, merasa kalau dirinya sudah kembali salah dengar. "Naik, sebelum gue berubah pikiran."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN