Grazilda menatap balita empat tahun dari celàh pintu dengan hati-hati. Malam sudah larut. Dia tak ingin membuat gerakan yang mengejutkan. Sudah merupakan sebuah keajaiban Jefri akhirnya luluh dan mengijinkan Grazilda melihat putranya. Ya Tuhan. Putranya. Grazilda harus menggaris bawahi ini dengan serius. Anak yang sedang berbaring di atas ranjang itu adalah putranya, darah dagingnya sendiri. Ini bukan pertama kalinya Grazilda melihat putranya. Sebelum ini, ia pernah melihatnya di taman kanak-kanak. Namun, entah bagaimana malam ini terasa berbeda. Entah karena suasananya yang melankolis, atau memang emosi Grazilda yang sangat sensitif sehingga air mata mengaburkan pandangannya. Tangan Grazilda sangat ingin terulur dan menyentuh kepala anak itu dengan kelembutan sentuhan ibu. Dia ingin