Grazilda melihat mobil yang ia ikuti berhenti di suatu bangunan yang tampak meriah dengan warna-warna semarak. Ada lukisan dinding hewan di salah satu sisinya dan sekumpulan permaian anak-anak di halaman luas. Grazilda mengerutkan kening, memberikan tebakan dengan akurat.
Taman Kanak-kanak.
Tak berapa lama kemudian, pintu mobil sport hitam yang Jefri kendarai terbuka, membiarkan sepasang ayah dan anak dengan tas punggung berkarakter kartun keluar bersana.
Dari tempat Grazilda duduk sekarang, dia tak bisa menangkap keseluruhan profil anak berusia empat tahun itu karena ia hanya melihat punggung dan sisi kanan tubuhnya secara sekilas. Tapi, momen ini sudah lebih dari cukup membuat jantung Grazilda berdentam tak beraturan.
Naluri Grazilda terasa lebih sensitif daripada biasanya. Seluruh perhatiannya tercurah secara penuh pada anak kecil yang beberapa saat sebelumnya dituntun dalam genggaman tangan Jefri. Tak ingin membuang-buang waktu, Grazilda segera turun setelah memastikan mobil Jefri pergi dan melanjutkan perjalanan.
"Terimakasih, Pak! Ini ongkos dan tambahan tips!" Grazilda mengeluarkan beberapa lembar seratus ribuan, dan segera keluar dari taksi dengan perasaan agak linglung.
Tak ingin mendebat, sopir itu mengambil uang yang Grazilda tawarkan dan tersenyum kecil.
"Ah. Orang sekarang! Mudah banget keluarin uang!" Sopir tersebut menggeleng kecil merasa simpati pada perkembangan jaman. Namun, melihat berapa banyak uang yang ia terima kali ini, sang sopir memilih diam dan bersyukur dalam hati. Siapa yang mampu menolak uang?
Grazilda merapikan anak-anak rambut yang nakal dan menyelipkannya di belakang telinga dengan anggun. Tas kecil berwarna hitam metalic ia genggam kuat-kuat, sebelum akhirnya melangkah ke Taman Kanak-Kanak. Beberapa orang berseliweran. Sepasang ibu dan anak banyak berdatangan menuju tempat ini. Di area halaman utama, banyak anak-anak bergerombol dan mulai berteriak-teriak memainkan sesuatu.
Pandangan Grazilda jatuh pada anak lelaki yang masih menggendong tas berkarakter kartun. Wajah anak ini bersih dengan mata besar dan murni yang tampak menawan. Pipinya gembil. Rahangnya mewarisi Jefri dengan tulang tinggi dan kuat. Bibirnya tipis, terlihat seperti sedang mengerut kesal. Saat ini dia tengah dikerumuni beberapa anak, mencoba ditarik untuk bermain sesuatu, tetapi tampaknya menolak mereka semua. Ada karakter tegas di wajahnya dan tanda wataknya yang keras kepala. Jelas hal ini diwarisi dari Jefri.
Grazilda berdiri membeku untuk beberapa saat. Wajah anak itu terasa asing, tetapi membawa rasa nostalgia yang sangat kuat. Mungkinkah itu karena pengaruh alam bawah sadar karena ia adalah putranya, atau mungkin reaksi alami yang sulit dijelaskan nalar, Grazilda sendiri tak terlalu memahaminya. Tanpa sadar, Grazilda berjalan mendekat dan memanggil nama sang anak.
"Felix!"
Anak itu menoleh, merasa heran ada seseorang yang memanggilnya secara tiba-tiba dan menatap Grazilda cukup lama. Beberapa anak juga menoleh ke arah Grazilda.
"Tante cantik! Cantik! Cantik!" Seorang anak perempuan yang terdekat melompat-lompat di dekat Grazilda, menatapnya antusias. Grazilda tersenyum canggung, tak terlalu paham bagaimana mengatasi reaksi anak-anak. Pengalamannya pada anak-anak sangat terbatas dan bisa dibilang sangat sedikit.
"Felix?" kembali Grazilda bertanya untuk memastikan. Jantung Grazilda berdetak tak karuan. Nadinya lebih cepat daripada biasanya. Punggung Grazilda terasa dingin dan lembab.
Grazilda tak berani banyak berspekulasi, tetapi hatinya melompat-lompat dengan sejuta harapan. Benarkah ini Felix? Benarkah ini putranya? Benarkah ini darah dagingnya? Semua pertanyaan itu terasa tak masuk akal tetapi berhasil meledak cepat dalam otaknya hanya dalam waktu beberapa detik.
"Felix? Kamu Felix kan?" kembali Grazilda menyapa untuk ketiga kalinya. Dia melangkah mendekat ke arah Felix, mencoba untuk berlutut. Namun, langkahnya sia-sia. Anak itu mundur teratur dan menatap Grazilda dengan curiga.
"Aku nggak kenal Tante!"
Hanya itulah kalimat yang Grazilda dapatkan sebelum akhirnya ditinggal pergi begitu saja ke ruang dalam. Interaksi mereka tak luput dari pengawasan seorang guru wanita berusia pertengahan tiga puluhan. Setelah kepergian Felix, guru wanita itu datang kepada Grazilda dan menyapanya dengan kewaspadaan tinggi.
"Maaf. Boleh tahu identitas Ibu ini?" tanya salah seorang guru dengan name tag "Riana D. Setya, S. Pd.".
Merasa dirinya dianggap menjadi bahan ancaman, Grazilda tersenyum kecut dan mengusap wajahnya dengan kasar. Siapa yang menyangka datang ke tempat ini dan menyapa anak yang ia tebak adalah putranya sendiri, justru menjadikan Grazilda diwaspadai orang lain?
"Saya Grazilda, Bu. Dia Felix Renald Brahmono, bukan?" tanya Grazilda memastikan. Riana mengangguk, tatapannya masih penuh kecurigaan. Banyak kasus penculikan anak akhir-akhir ini. Sebagai seorang guru yang bertugas membimbing murid dan mengawasi mereka, Riana berkewajiban menjaga anak-anak didiknya dengan sepenuh hati. Dia mencoba melakukan tugasnya dengan baik.
"Ya. Dia Renald Brahmono!" Reina membenarkan.
"Putra Jefri?"
"Ya. Putra Pak Jefri Brahmono!"
Konfirmasi guru itu sudah menjelaskan semuanya. Grazilda mengangguk kecil dan mengatakan sesuatu. "Saya adalah salah satu kerabatnya. Bisakah saya mengambil waktu sebentar dengan anak itu untuk berbincang?"
Reina semakin waspada. Dia menggeleng tegas dan menyuarakan keberatannya. "Maaf, Bu. Tadi anak itu mengatakan tidak kenal sama Ibu. Saya nggak bisa mengijinkan situasi berkembang yang tidak menyamankan anak. Tanggung jawab saya adalah menjaga stabilitas mental anak di sini. Jadi, jika ibu benar-benar kerabat Felix dan ingin menemuinya secara langsung, saya sarankan datang ke rumahnya secara pribadi di luar jam pembelajaran sekolah. Atau, bisa dikomunikasikan dengan Pak Jefri lebih dulu. Tanpa itu, saya tak berani bertindak terlalu jauh!" Reina menjelaskan panjang lebar, tak memberi celàh sama sekali bagi Grazilda untuk bertemu dan memupuk hubungan yang lebih baik dengan putranya.
Ada kekecewaan besar di hati Grazilda. Taman Kanak-Kanak ini memiliki pengaturan yang ketat dan gurunya juga bertindak tegas. Reina menekankankan kata-kata "jika ibu benar-benar kerabat Felix" seolah-olah Grazilda saat ini tak memiliki integritas sama sekali di hadapan orang lain. Dengan kata lain, ia tidak dipercaya sepenuhnya oleh Reina.
Wajar sebenarnya. Felix sendiri tidak mengakui identitas Grazilda. Apalagi yang bisa ia lakukan? Hari ini Grazilda kalah telak dan tak ada gunanya tetap melangkah maju. Dengan bijak, Grazilda menghargai keputusan Reina dan memilih pergi dari tempat itu. Ada bisik-bisik dari wali murid yang mulai berdengung du belakangnya.
"Katanya dia kerabat Felix, tapi anaknya aja nggak kenal. Kita kan nggak tahu niat buruk orang lain!"
"Iya. Bener sih kata Bu Reina. Lebih baik diberi sikap tegas. Kalau bener kerabatnya kan harusnya dia berkunjung ke rumahnya langsung, bukannya nyamperin di sini!"
"Kelihatannya wanita baik-baik. Tapi sejauh menyangkut keamanan anak, kita perlu waspada. Lagi pula kita semua tahu Pak Jefri orang kaya. Mudah dijadikan sasaran kriminal. Apalagi melalui anaknya. Ya, 'kan?"
Komentar-komentar senada terdengar saling bersahutan. Grazilda hanya tersenyum masygul dan berjalan menuju jalur utama sebelum akhirnya menghentikan taksi pertama yang lewat. Suasana hatinya sangat buruk. Dia duduk membeku di dalam taksi, menatap pemandangan luar melalui jendela mobil dengan mata memerah.
Harapannya yang semula rapuh kini hancur perlahan. Apa yang ia pikir sanggup diraih dan ditemui, nyatanya tak semudah itu dilakukan. Ada garis tak kasat mata yang menahan dirinya melakukan sesuatu di luar batas kemampuan.
Felix Reinald Brahmono.
Putra yang sepertinya memang tak ditakdirkan untuk ia raih. Putra masa lalu yang mungkin hanya akan menjadi kenangan kecil dan tak memiliki tempat untuk Grazilda berfungsi lebih.
Jika Grazilda bijak, seharusnya ia mundur teratur dan membenahi hidupnya untuk melangkah ke depan memperjuangkan kemandirian baru. Hanya saja, sebagai seorang ibu, bagaimana bisa ia melangkah pergi sementara ia terlanjur tahu ada putra asing dari masa lalunya? Putra yang bahkan mengaku tidak mengenal dirinya.
Ibu macam apa Grazilda? Anaknya sendiri tidak mengakui keberadaannya. Sebagai seorang manusia, dia telah menciptakan kegagalan yang paling memalukan sepanjang sejarah.
…