1. Heavy Rain on The Grave of His Love
Derasnya air yang ditumpahkan langit sore itu tak membuat seorang wanita hengkang dari tempatnya yang tidak memiliki atap sebagai pelindung diri agar tidak basah. Wanita itu lebih memilih satu atap dengan pusara yang ada di depannya.
Sehidup, semati. Itu adalah janji cinta wanita itu bersama pemilik pusara di hadapannya, tapi sang cinta sudah lebih dulu pergi mengingkari janji cinta mereka. Bulir-bulir air mata bersatu dengan air hujan menuruni pipi tirusnya, derasnya hujan tidak bisa membungkam tangisan pilu si wanita.
Langit semakin gelap dan hujan semakin deras mengguyur bumi. Namun, belum ada tanda-tanda dari wanita itu ingin beranjak dari pemakaman, dirinya masih setia memandangi pusara yang sudah basah oleh air yang ditumpahkan langit.
Perlahan bibirnya bergerak memanggil nama si pemilik pusara dengan suara sendu yang bahkan hampir tidak terdengar oleh suara hujan.
Setelah cukup lama memanggil nama si pemilik pusara tubuhnya ambruk ke tanah, tepat di atas pusara cintanya. Tak lama terlihat seseorang berlari menerobos derasnya hujan, dia menghampiri si wanita dan langsung menggendong serta membawanya ke dalam mobil yang sejak tadi dia gunakan untuk memperhatikan si wanita.
Mobil sedan hitam yang di kendarai orang itu melaju pelan di pelataran pemakaman menuju pintu keluar. Di sepanjang jalan, orang itu sesekali menatap wanita yang berbaring tak sadarkan diri di kursi belakang lewat kaca spion, tampak begitu khawatir melihat wanita itu berwajah pucat.
Orang itu menaikan kecepatan mobilnya ketika sudah keluar dari pemakaman, sangat begitu jelas kalau dia begitu khawatir sehingga ingin cepat-cepat sampai ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi wanita itu.
Fokusnya terbagi ketika sekelebat bayangan seorang pria muncul di depan matanya, sontak orang itu menginjak rem secara tiba-tiba, bahkan dahinya membentur kemudi dengan sangat keras. Setelah mobil berhenti di tengah jalan, orang itu menoleh ke belakang memastikan wanita itu masih dalam kondisi baik-baik saja ketika dia menginjak rem secara mendadak.
Dia menghela nafas lega melihat si wanita masih baik-baik saja. Dia menatap jalanan yang gelap dengan jarak pandang kurang dari satu meter karena hujan turun sangat deras. Seketika bayangan seorang pria muncul lagi di depannya.
“Tolong, jaga mereka. Maafkan aku karena telah merebut cintamu. Kini aku kembalikan padamu. Sekarang giliranmu untuk hidup bersama mereka dan merasakan betapa tulus serta indahnya cinta yang ia berikan,” ujar bayangan pria itu, suaranya pelan dan ringan, seringan angin.
Orang itu memejamkan kedua matanya, membenturkan dahinya ke kemudi beberapa kali hingga meninggalkan bekas kemerahan. Setelah merasa cukup dengan menyakiti diri sendiri, orang itu terisak pelan dengan dahi yang masih menempel pada kemudi.
“Aku sudah belajar cara merelakannya, dan itu berhasil. Tapi aku tidak tahu cara untuk menyembuhkan lukanya karena kehilanganmu, Gibran. Bagaimana kalau aku malah memperparah lukanya,” gumamnya dengan suara serak disertai dengan bulir bening keluar dari sudut matanya.
Setelah menenangkan hatinya, orang itu kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit, beruntungnya kali ini dia tidak mendapatkan kendala lagi hingga bisa menolong wanita itu tepat waktu.
Setelah menunggu beberapa jam di samping si wanita, akhirnya orang itu bisa bernafas lega ketika si wanita sudah siuman. Namun, orang itu merasa terluka ketika melihat kondisi si wanita. Wanita itu terus menangis dalam diam, bahkan tatapan matanya kosong. Dokter mengatakan kalau si wanita mengalami depresi.
Saat itu juga, dia memeluk si wanita dengan perasaan penuh penyesalan dan kesakitan. Bibirnya juga berucap memanggil nama si wanita, berharap dia bisa menolongnya.
“Jangan tinggalkan aku. Jangan ada lagi yang meninggalkanku. Cukup papa dan Gibran yang meninggalkanku,” bisiknya di telinga si wanita.
Hari berganti hari, semua di lalui dengan keadaan yang sama oleh orang itu. Setiap pagi dia akan menjenguk si wanita yang masih dalam kondisi yang sama. Hanya dua puluh menit di setiap paginya sebelum dia harus pergi bekerja. Sore harinya dia akan kembali lagi sampai pukul sembilan malam, dan seperti itu setiap harinya. Namun, khusus hari sabtu dan minggu, dia akan berada di samping wanita itu selama dua puluh empat jam.
Seperti sore ini, karena besok adalah hari sabtu, sepulang bekerja dia akan langsung pergi ke rumah sakit. Tidak lupa dia membawakan sebuket bunga indah kesukaan si wanita, berharap dia bisa membawa kembali kesadaran wanita itu.
Dia menyunggingkan senyum tipis ketika membuka pintu kamar rawat wanita itu. Sambil menyapa pada si wanita, dia juga menaruh buket bunga di tangannya di sisi wanita itu.
“Hari ini toko bunga yang biasanya tutup. Katanya sedang ada acara keluarga, jadi Mas membelinya di toko bunga yang lain,” kata orang itu sambil membuka jas yang dipakai lalu menyampirkannya di sofa.
Orang itu duduk di samping si wanita yang masih menatap kosong. Senyum tipisnya pudar berganti dengan senyum sedih. “Kembalilah, Yes. Kembalilah demi diriku,” lirih orang itu.
Orang itu menarik sebelah tangan si wanita dengan sangat hati-hati lalu mendekatkan ke wajahnya, dia mencium hangat punggung tangan si wanita disertai bulir bening luruh dari kedua matanya yang membasahi punggung tangan si wanita.
Dia sedikit menjauhkan tangan si wanita dari wajahnya lalu membalikan tangan wanita itu. Rasa sakit menyusup ke dalam hatinya, ketika melihat perban yang melingkar di pergelangan tangan wanita itu. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana wanita itu bersimbah darah di lantai, padahal dirinya hanya terlambat datang tiga puluh menit dan orang yang biasa menjaga wanita itu ketika dirinya tidak ada sedang keluar sebentar untuk melakukan panggilan.
“Jika tidak demi diriku. Maka kembalilah demi ketiga malaikat kecilmu. Mereka menunggumu di rumah, mereka membutuhkanmu, Yesenia,” isak orang itu pelan.
***
Beberapa tahun kemudian.
Di dalam sebuah kamar, telah terjadi perang antara seorang princess kecil berpakaian cantik dan seorang dokter kecil dengan jas rapinya. Mereka melakukan perang menggunakan sebuah bantal di atas kasur.
“Jangan berisik, mama nanti bangun,” suara lucu khas anak kecil keluar dari bibir seorang anak kecil yang tampan, yang duduk melihat tingkah princess dan dokter kecil.
“Shanum yang duluan!” jawab si dokter kecil dengan suara yang kurang jelas.
“Katanya mau jadi Dokter, bicara saja belum jelas,” ledek princess kecil sambil menjulurkan lidahnya.
“Shanum, jangan meledek Bara,” lerai bocah tampan yang duduk santai melihat tingkah kedua kembarannya tersebut.
“Senna, jangan membela Bara terus. Bela juga Shanum!” tukas si princess dengan wajah merengut.
“Jangan mau membela Shanum. Senna itu timnya Bara,” ujar si dokter kecil dengan suara yang masih tidak jelas.
“Jangan mau, Senna. Bara itu bicaranya tidak lancar,” sela si princess.
Dokter kecil menangis karena terus mendapatkan bully dari si princess kecil. Tangisannya yang cukup kencang berhasil membangunkan seorang wanita muda yang tidur di atas ranjang yang berbeda, tapi masih dalam satu ruangan.
“Ada apa, Bara?” tanya wanita itu dengan suara khas bangun tidur. Dia bergegas menghampiri ranjang yang di naiki ketiga bocah kecil itu.
“Mama, Shanum meledek, Bara terus,” adu si dokter kecil.
Wanita itu tersenyum, dia menarik si dokter kecil dan si princess untuk duduk di pangkuannya. “Shanum, jangan meledek adikmu terus, kasihan dia,” ujar si wanita dengan lemah lembut, “kalian itu bersaudara, kembar, jadi jangan saling menyakiti. Mengerti?”
“Mengerti, Mama!” jawab ketiga bocah itu serempak.
“Bagus. Sekarang Mama mau masak. Kalian main dulu dan jangan bertengkar lagi.”
Wanita itu bangkit dari duduknya, sebelum keluar dari kamar, dia lebih dulu membereskan tiga buah tempat tidur. Ketika dia keluar, ketiga kembaran itu mengekorinya hingga ke dapur.
“Kenapa kalian ikut Mama ke dapur?” tanya wanita itu yang baru sadar.
“Kami lapar, Ma,” jawab Shanum, si princess kecil.
“Kalian duduklah dulu. Mama akan ambilkan roti dan selainya,” ujar si wanita.
Ketiga kembar itu langsung duduk di kursi, tak lama wanita itu kembali dan menyiapkan sarapan untuk ketiga anak kembarnya.
“Kalian makan rotinya dengan rapi, Mama akan masak kesukaan kalian semua. Ingat jangan bertengkar di meja makan,” ujar wanita itu memperingati ketiga anak kembarnya.
“Mengerti, Ma!” jawab mereka serempak.
Wanita itu tersenyum hangat, dia mencium pipi ketiga anak kembarnya sebelum memulai acara masak pagi hari itu.
Ditengah kesibukannya memasak dan membersihkan rumah seorang diri, tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Wanita itu bergegas meninggalkan pekerjaannya dan hendak menuju pintu.
“Biar Senna saja, Ma,” sela si sulung yang sudah berjalan.
“Terima kasih, tampannya Mama,” ujar si wanita.
Rupanya pujian yang dikeluarkan si wanita membuat kedua anak yang lainnya cemburu, mereka sama-sama merengut sambil melipat kedua tangannya di depan. Wanita itu langsung menyadari gerak-gerik dari kedua anaknya, dia langsung menghampiri keduanya sambil mencium kedua pipi mereka.
“Kalian juga cantiknya Mama dan tampannya Mama,” ujar si wanita yang berhasil membuat kedua anaknya yang lain tersenyum.
“Pagi cucu-cucu Oma yang cantik dan tampan!” suara lantang datang dari seorang wanita paruh baya yang masih tampak cantik dan anggun di usianya.
“Oma!” teriak kedua kembar yang langsung meloncat dari kursinya untuk memeluk omanya tersebut.
Setelah memberikan sambutan kepada cucu-cucunya, wanita paruh baya itu memeluk serta ibu cucu-cucunya. “Bagaimana kabarmu hari ini, Nak?” tanyanya.
“Seperti biasa, Mi,” jawab si wanita sambil melepas pelukan.
“Mami kemari karena ingin memberikan baju untuk wisudamu,” ujar wanita paruh baya.
“Sudah jadi, Mi?”
“Sudah. Sekalian Mami juga ingin memberikannya kepada mamamu.”
“Biar aku saja yang mengantarkannya ke rumah mama.”
Wanita paruh baya itu menggeleng. “Tidak. Kebetulan Mami ingin mengajak mamamu pergi ke salon.”
“Bukankah baru minggu kemarin Mami pergi ke salon?”
“Kenapa memangnya? Mami harus mempersiapkan diri karena akan menghadiri acara wisudamu, sayang.”
“Yang punya acara itu menantu kita, bukan Mami. Tapi malah Mami yang sibuk sendiri,” celetuk seorang pria paruh baya yang baru saja datang bersama si sulung.
“Memangnya kenapa? Mami juga ingin tampil cantik di depan teman-temannya menantu Mami,” tukas wanita paruh baya itu.
Pria paruh baya itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Nak, Papi akan mengajak si kembar jalan-jalan selagi Mami dan mamamu ke salon,” ujar pria paruh baya.
“Kalau begitu aku akan mempersiapkan mereka dulu, Pi.”
Kedua kembar itu bersorak kegirangan hingga meloncat-loncat, tapi berbeda dengan si sulung yang hanya tersenyum tipis mengekspresikan kegirangannya.