Uang dan Kekuasaan

1629 Kata
“Seniman itu dilarikan ke rumah sakit. Kemungkinan dia akan menuntut atau meminta ganti rugi ke perusahaan kita karena dia ada dibawah naungan kita, Pak,” ucap Aldi yang sebelumnya datanng bersama dokter dan seorang pelayan. “Perusahaan bisa menanggungnya, atau melimpahkan semua kesalahan pada pribadi perempuan itu.” “Kita nggak seburuk itu buat limpahin kesalahan sama anak itu. Dia mau diperkosa, jadi pasti dia bikin perlawanan.” “Lalu? Bapak akan ganti rugi? Masalahnya kesaksian perempuan itu tidak bisa dibuktikan karena CCTV yang mati. Saya juga tidak ingin induk dari Bratadiama Inc ini menjadi kena berita buruk.” “Gak usah takut, emang sekarang saya miskin banget sampe gak bisa ganti rugi?” Sang ajudan diam. “Dia anak magang, penerima beasiswa kita juga ‘kan? Kita lindungi dia.” Saat keduanya sedang bicara, pintu kamar terbuka. Sang pelayan dan dokter sudah selesai memeriksa Meida. “Pakaiannya sudah diganti, Pak. Luka memarnya juga sudah diobati. Dia akan baik-baik saja saat terbangun nanti. Mungkin hanya sedikit syok.” “Terima kasih. Kalian boleh pergi.” “Kami permisi, Pak.” Dokter itu berasal dari Rumah Sakit Bratadiama yang ada di Bandung sekaligus dokter pribadi Jarvis. Mudah untuk memanggilnya ke hotel. Lagipula, siapa yang tidak mengenalnya karena sosoknya yang menjadikan pembangunan di kota ini semakin meningkat. “Kamu juga bisa pergi, ngapain disini?” “Saya, Pak? Nanti bapak butuh sesuatu.” “Nanti saya telpon lagi atau hubungi yang lain. Pantau terus seniman itu, jangan sampai dia bikin ulah. Dan cari tahu segala sesuatu tentang anak itu.” Niat Jarvis kesini untuk menenangkan pikiran. Karena dia bingung harus bertanggung jawab kepada siapa. Selama tiga hari setelah kejadian itu, Jarvis mencari tahu juga. Tapi informasi yang dia dapatkan kalau Wendy melakukan aktivitasnya seperti biasa. Harusnya selama tiga hari kemaren gak terpaku sama si Wendy, bisa aja karyawan lain di gedung perusahaan itu terus gak sengaja mungut nametag dia kan? Jarvis menerka-nerka sendiri. Dia masuk ke dalam kamar dan melihat Meida yang terlelap disana. “Kasihan banget. Udah miskin, hidupnya sulit pula,” gumam Jarvis. Sengaja tidak membawanya ke Rumah Sakit supaya tidak heboh. Jarvis menunduk melihat dengan jelas wajah Meida, ada aroma kecurigaan. Mungkin kah? Drrrttttt! Drrtttt! “Ck, Mommy mau ngapain?” gumamnya sebelum mengangkat panggilan. “Hallo, Mom?” “Ade bungsu kamu marah-marah, katanya Jeffrey aja udah ke Bandung terus main sama kamu. sekarang dia mau pulang ke Indonesia, tapi mau ketemu sama kamu dulu.” “Mom, Kakak banyak kerjaan disini. Gak bisa ngasuh. Waktu kemaren aja Cuma nongkrong di café sama Jefffrey.” “Jangan terlalu sibuk. Nanti kalau sakit, yang ngoperasi Kakak itu ya adik-adik!” “Kok nyumpahin Kakak sakit sih?” “Bukan nyumpahin Kakak sakit. Tapi kalau sama saudara itu harus saling rangkul. LynLyn lagi pusing sama Koasnya. Dia mau ketemu sama kamu.” “Yaudah suruh ke apartemen Kakak aja. Kakak masih diluar ada kerja ini.” “Jangan kasih makanan kambing ke si ade.” “Maksud?” “Itu…. selada dan sejenisnya. Pake nasi juga, dia bisa pingsan kalau sehari gak nemu nasi.” “Iya. Kakak tutup telponnya.” “Sebelum tutup harus ngapain dulu?” Jarvis memejamkan matanya, dia menarik napas dalam. “I love you segunung.” “Love you too, anak Mommy! Jangan lupa cari calon istri, Kak. Kakek buyut kamu terus bilang mau jadi ubi, dia mau liat kamu nikah dulu katanya.” “Kakak tutup telponnya.” Karena lelah dengan pikiran akan kesalahannya, Jarvis akhirnya tidur di sofa sambil menunggu Meida bangun dan mengajaknya bicara nanti. *** Dalam tidurnya pun, Jarvis merasa menderita. Seseorang menindih tubuhnya, Jarvis jadi pengab hingga mulutnya terbuka untuk mengambil napas. “Kakak bangun?” Suara cempreng itu langsung membuat Jarvis membuka mata. Kaget langsung mendapati wajah sang adik di depan matanya. Dia kapan datang? Mau apa kesini? “Eh, beneran udah bangun ya?” Jaclyn yang sebelumnya menindih sang Kakak itu langsung bangun. “Tadi ade ngantuk, terus tidur aja di pelukan Kakak. Udah lama enggak, kangen banget. Tapi kayaknya sekarang Kakak makin tua deh, udah gak kuat.” “Bukan Kakak yang gak kuat, tapi kamu yang berat,” ucapnya Jarvis bangun. “Kenapa kamu bisa kesini?” “Tadi di aparatemen Kakak ketemu sama Pak Aldi, terus nanya Kakak dimana, terus dia ngasih tau kalau Kakak disini.” “Gak mungkin dia ngasih tau gitu aja.” Jaclyn berfikir, mengingat kejadian dirinya yang sampai salto untuk mendapatkan informasi dimana Kakaknya berada. “Enggak kok, dia ngasih tau Jaclyn gitu aja.” Niatnya hendak mencari ketenangan, kini malah pusing dengan sang adik yang menatapnya dengan mata berbinar. “Kakak naksir ya sama cewek cantik yang lagi pingsan itu?” “Kakak nolong dia. Sana kamu ke apartemen.” “Kalau nolong, kenapa gak dibawa ke Rumah Sakit aja? kenapa malah disini? Hayohhhh ketahuan.” “Dengerin, dia itu mau jadi kor─” “Tau, tadi ade denger dari Pak Aldi. Tapi tetep aja aneh karena Kakak malah simpen di kamar hotel. Pasti inimah ada ketertarikan.” Jaclyn duduk di bibir ranjang. “Cantik gini sih gak heran.” “Ade jangan macam-macam,” ucap Jarvis memperingati. Telpon dari sang ajudan membuat Jarvis membuka pintu balkon. Dia mengangkatnya dan mengabaikan sang adik yang sedang memegang hidung Meida. “Ya ampun cantik banget ini hidung. Bulu matanya juga lentik. Mana keliatan masih muda. Panteslah itu si Kakak punya sesuatu terselubung,” gumam Jaclyn terkekeh. “Gue jampi dulu biar bisa jadi Kakak ipar.” Memutar-mutarkan lengannya, kemudian menempelkan kedua telapak tangan di pipi Meida. “Hihihi, halus banget. Tinggal komat-kamitnya.” Berbisik berulang kali di telinga Meida, “Aku cinta Jarvis, aku bakalan jadi istri dia.” Terus mengatakan kalimat itu sampai Meida terganggu dan membuka matanya. “Eh?” Jaclyn langsung menegakan tubuhnya. “Woahhhh! Matanya juga indah banget! Asemmm! Rezeki nomplok kalau dapet ipar modelan gini! Woahhh!” “Hoekk!” Jaclyn segera menutup mulut. “Maaf tadi abis makan durian.” “Kamu siapa?” Meida masih dilanda pusing, dia memaksakan dirinya untuk duduk. “Adiknya Kak Jarvis. Nama aku Jaclyn. Panggil aku Lynlyn aja ya.” Mata Meida langsung membulat, adiknya Jarvis? Dia langsung ingat apa yang terjadi. “Jangan khawatir, Kakak aku niatnya baik mau nolong. Terus cowok yang mau lecehin kamu udah ditanganin sama bawahannya Kakak aku. Siapa nama kamu?” “Meida,” jawabnya dengan canggung. “Berapa? Minta ganti rugi satu juta dollar?” Kalimat Jarvis itu membuat Meida dan Jaclyn saling bertatapan. *** “Saya sarankan untuk menuntutnya saja, karena dia melakukan pelecehan dan karyawan kita hanya membela diri.” “Prosesnya bakalan panjang ‘kan? Apalagi dia yang udah asuransikan tangannya itu. Kita ambil jalan damai aja. 500 ribu dollar. Kalau dia gak mau terima, kita baru tempuh jalur hukum.” Disaat Jarvis sedang bicara, Jaclyn dan Meida mendengarkan saja. “Ini kayaknya ponsel kamu bunyi deh.” Jaclyn mengambilkan ponsel dari tas Meida. “Ya ampun, dari rumah sakit.” Meida langsung mengangkatnya. “Um, maaf ya ini kalau angkat telpon harus loudspeaker. Hapenya udah jelek.” “Oh silahkan aja, aku gak bakalan nguping kok.” Menutup telinga dengan longgar. “Hallo, Ibu saya nggak kenapa-napa ‘kan?” “Tidak, Mei, ini dokter Vicky. Saya mau sampein kalau pengobatan baru buat ibu kamu bisa mulai dilaksanakan minggu depan. Untuk biayanya 10 juta setiap sesinya. Ini pengobatan yang lebih efektif dan kita memerlukannya sekarang. Tolong segera datang kesini dan setujui hal ini.” “Tapi, dok… harus minggu depan?” “Kondisi ibu kamu memburuk. Kala ditunda bakalan makin buruk. Tapi untuk memulai sesi ini, kamu harus bayar dulu tagihan rumah sakit sebelumnya. Untuk keterangan lebih lanjut, kamu datang kesini secepatnya.” “Terima kasih.” Dalam diamnya, Jaclyn mendengar pembicaraan itu. “Kamu udah sadar?” tanya Jarvis mendekati Meida dengan wajahnya yang dingin. “Ingat apa yang terjadi?” “Ya,” jawabnya acuh. “Saya minta maaf, Pak. saya melakukan tindakan itu untuk melindungi diri saya sendiri.” “Saya tahu, tapi dia juga tidak takut untuk membawa hal ini ke pengadilan. Yang saya khawatirkan adalah nama perusahaan. Kamu dibawah Bratadiama sekarang.” Meida menunduk memainkan jemari tangannya. “Kami sepakat untuk memberikan uang sebanyak 500 ribu dollar, dan dia akan tetap menggunakan jasa Bratadiama supaya nama perusahaan semakin baik.” Meida menelan salivanya kasar. “Saya diminta untuk datang sendiri menemuinya.” “Seharusnya kamu mengajak bertemu diluar hingga hal ini tidak terjadi. Kamu juga penerima beasiswa dari Yayasan saya ‘kan?” “Saya mohon jangan Tarik beasiswa saya, Pak. Hanya satu tahun lagi. Setelah saya menyelesaikan semuanya, saya akan mengganti semua uang itu.” “Mengganti dengan cara apa? Kamu bisa hasilkan 500 ribu dollar dalam waktu dekat?” Jarvis memandang tajam pada Meida. PLAK! “Adee?!” “Ada nyamuk di pipi Kakak.” Jaclyn berdehem karena susananya tegang sejak tadi. “Aku mau ngobrol dulu sama Kakak. Sini deh.” Menarik Jarvis keluar kamar untuk bicara berdua dengannya. “Kak, gini logikanya. Ini anak lagi di semester akhir, dia juga gak mau hal buruk terjadi. Ibunya juga di Rumah Sakit, butuh biaya 10 juta perminggu buat pengobatannya. Jangan semakin membebani dia, Kak.” “Tahu darimana kamu?” “Tempe lah, orang tadi nguping.” Jaclyn berdecak. “Dia anak pinter makannya dapet beasiswa. Cantik pula makannya Kakak tertarik ‘kan?” “Kakak gak tertarik sama dia.” Jaclyn terkekeh. “Hilihh… gak mau ngaku.” “Emang gak tertarik.” “Sebagai sesama manusia. Ayok kita bantu dia, Kak. Bayarin rumah sakit ibunya dan pertahankan dia sampai lulus.” “Wajah Kakak kayak Bank Emok kah?” “Sebagai gantinya…. Dia jadi asisten pribadi Kakak di apartemen! Yeayyy! Jadi Kakak sama dia 24 jam!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN