Pencarian

1670 Kata
Meida mencoba untuk menghalau semua perasaan gelisah itu. Apakah pria itu akan mengingatnya? Tapi jelas-jelas malam itu Meida mencium aroma alcohol. Semoga saja tidak, Meida tidak ingin ada masalah. “Karena saya udah nyentuh kamu dalam keadaan tidak sadar, maka itu bukanlah salah saya. Saya akan penjarakan kamu!” Meida menggelengkan kepalanya. “Gak gitu juga ‘kan?” gumamnya dengan pipi mengembung. “Masa iya gue yang diperkosa, terus gue yang dipenjara.” Imajinasinya terjadap orang kaya sangat berlebihan, karena itu pernah terjadi pada keluarganya. “Kamu akan saya Tarik beasiswanya karena sudah menodai saya! Dan kamu gak akan kerja disini lagi. Titik.” “Masa iya gitu?” “Mei, kamu lagi ngapain sih ngomong sendiri?” “Eh? Nggak, Mbak. Lagi mikir aja gimana kita ke depannya.” “Masa depan cerah lah, Mei.” Wanita itu melangkah menuju dapur dan ikut menyeduh kopi seperti Meida. “Bakalan banyak tunjangan kalau sama Bratadiama Inc, jadi jangan khawatir lah.” “Hehehe, semoga aja.” “Kamu juga dapet beasiswa dari Yayasannya ‘kan? Katanya nyaman banget gak harus ada p***************a. Itu udah makmur banget kalau sama mereka.” Ketika Meida sibuk bicara dengan rekannya, seseorang memanggilnya, “Mei, lu panggil sama manager.” Yang membuat Meida langsung menelan salivanya kasar. “Iya, Mas. Nanti aku kesana.” kemudian menatap rekannya yang lumayan dekat dengan Meida. “Si Ibu Wendy kayaknya beneran benci sama Meida deh, Mbak. sampe datang ke kampus katanya.” Padahal dirinya sudah mengirimkan pesan bahwasanya tidak bisa masuk lalu menonaktifkan ponsel supaya tidak diganggu. “Dia Cuma takut ngerasa tersaingi aja, secara kamu cantik sama pinter. Banyak ide yang kamu keluarin selama magang disini, dan dia gak suka itu.” “Pinter salah, bodoh apalagi,” gumam Meida pergi ke ruang manager. Benar saja disana sudah ada Wendy dan Niko; sang manager. Memang banyak yang bilang Meida mirip dengan Wendy saat pertama kali masuk ke perusahaan ini. Di usianya yang masih 20 tahun, Meida akan lulus jurusan Bisnis. Memiliki pemikiran yang kritis, jadi sepertinya Wendy merasa terancam dengan hal tersebut. “Selamat pagi menuju siang, Pak, Bu.” “Duduk, Mei. Tanpa saya jelaskan juga kamu bakalan tahu kan kesalahan kamu apa?” “Iya, Pak. saya mohon maaf karena tidak masuk selama tiga hari berturut-turut, tapi saya juga tidak bisa menghentikan kehendak Tuhan, saya juga tidak mau sakit.” “Persyaratannya kan melampirkan surat keterangan sakit. Ditambah kamu meninggalkan banyak project, kebetulan juga perusahaan ini sudah resmi diakusisi. Jadi banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan.” Meida menunduk, dan dia melihat Wendy sepertinya puas dengan hal itu. Perempuan berumur 26 tahun itu bukannya membimbing Meida, malah menganggapnya sebagai saingan. “Saya tidak akan mengulanginya lagi, Pak. Karena semua pekerjaan sudah selesai, apakah ada yang bisa saya lakukan untuk kalian?” “Beresin ruangan bekas direktur, nanti orang dari Bratadiama Inc pasti kesana,” perintah Wendy. “Baik, Bu.” “Katanya dia gak suka bau-bau aneh. Tempatnya harus steril juga, kamu beresin yang bener ruangan itu.” Daripada melawan dan banyak masalah, lebih baik Meida melakukan tugasnya. “Udah kayak OB aja gue.” Ketika memasuki ruangan direktur. “Pantesan satu bulan gak masuk-masuk. Mau dialihkan ternyata.” Meida jadi berfikir, Kenapa ruangan ini harus dibersihkan, kan nantinya juga mereka akan pindah kantor. Memang bau jamur, jadi Meida mencari pewangi untuk ditaruh disana. “Mau kemana, Mei?” tanya sang rekan. “Mau beli…. Ih, itu pengharum ruangan? Mbak kok beli banyak?” “Beli satu gratis satu. Kenapa?” “Mau dong, Mbak. Ruangan Direktur bau apek, boleh gak?” “Ambil aja, Mbak gak terlalu suka wangi stella Jeruk.” “Okeyy!” *** Jarvis Bratadiama, di usianya menuju tahun ke-25, dia sudah melampaui batasnya. Itu sebabnya kakek buyutnya menyebut Jarvis dengan julukan, BuZz Kota Bandung, sebuah plesetan dari BuZz Lightyear. Jarvis menatap dirinya sendiri dalam cermin, tampan dan juga mempesona. Siapa yang tidak suka melihat visualnya yang setampan ini. “Bapak? Saya izin masuk.” “Masuk saja,” ucapnya mengizinkan sang ajudan memasuki kamarnya. “Ada apa?” “Saya sudah meminta mereka mensterilkan seluruh ruangan. Apa bapak yakin akan pergi kesana?” “Iya, apa dia juga ada disana?” “Dia masuk kerja dan terlihat baik-baik saja, Pak.” Melihat iPad kemudian memberikan laporan terkait rapat hari ini yang dipindahkan karena acara mendadak ini. Tadinya, perusahaan hasil akusisi ini tidak akan disatukan dengan Bratadiama Inc. Namun karena sesuatu terjadi, Jarvis ingin membawa semua pegawai menyatu dengan kantor utama. Dan bahkan dirinya melakukan kunjungan. “Bagaimana, Pak?” “Setuju, tapi tambahkan satu pertemuan nonformal di hari sabtu, saya mau menghindari….. Mommy…” “Sudah saya atur. Mobilnya akan siap dalam 1 jam, saya akan menunggu dibawah. Saya akan menyimpan foto tempat tersebut, supaya bapak bisa mempertimbangkannya lagi.” Setelah sang ajudan keluar, Jarvis menatap foto perusahaan yang akan dia kunjungi. Itu dalam keadaan ramai dan hari biasa. Terlihat berantakan dan pegawainya berkeringat. Jarvis sampai mengerutkan kening. “Gak papa, menuju tak terbatas dan melampauinya,” ucapnya pada diri sendiri. Akhirnya dia pergi juga ke perusahaan tersebut, hanya perusahaan kecil yang memiliki satu lantai, tapi memiliki prospek yang bagus di masa mendatang. “Selamat datang, Pak. Saya manager yang membawahi PT ini. Nama saya Niko. Dan ini adalah jajaran Spesialis Dapartemen yang membawahi 5 dapartemen di tempat ini.” Mata Jarvis focus pada perempuan berambut pendek yang menunduk, Wendy dengan semua pemikirannya, “Ganteng banget ancur…. Gak sanggup liatnya. Haduh, berondong kaya emang lebih menggoda.” “Saya sudah menyiapkan laporan untuk disampaikan pada Bapak. Mari, Pak.” dibawa oleh Niko ke ruangan Direktur meninggalkan pegawai yang lain, focus pada perempuan yang menunduk terus dari tadi. Di ruangan Direktur, Jarvis tidak terlalu tertarik dengan semua presentasi yang dilakukan sang manager. Untungnya ruangan itu bersih, jadi Jarvis bisa duduk dengan nyaman. Tanpa Jarvis ketahui, ada sosok lain disana. Meida tidak keburu keluar dari ruangan Direktur, dia takut bertemu dengan Jarvis jadi memilih untuk diam di bawah meja. Sambil melihat kaki Jarvis yang terus bergerak. Ibuuu! Takutt! Teriaknya dalam hati. “Haduh,” gumam Jarvis. “Kenapa, Pak? ada masalah?” “Ada tissue?” “Ini, Pak.” Jarvis menggunakannya untuk alas duduk dikursi. “Ini kursi murah ya?” “Ya? um…. Saya tidak tahu nominalnya, Pak.” “Yasudah lanjutkan lagi.” Menatap Niko dengan pikiran yang melayang, sampai Jarvis merasakan perutnya mulas. Tidak biasanya! Padahal dia tidak sarapan pagi tadi! “Saya mau ke kamar mandi.” “Di pintu itu, Pak. silahkan.” Saat Jarvis memasuki kamar mandi, hidungnya langsung disambut dengan aroma yang memabukan. “Bau orang miskin!” ucapnya kesal. Namun, Jarvis tidak tahan ingin mengeluarkan isi perutnya. Jadi dia menutup hidungnya sambil menatap pewangi ruangan yang ditempel sangat tinggi disana. “Orang g*blok mana yang naik ke atas sana buat nempelin pewangi jeruk?” *** Niko menatap Jarvis yang masih ada di kamar mandi. “Itu orang mules ‘kah?” gumamnya. “Atau emang lagi musim ya? Gue juga mules.” Duuuttttt! Dan kentut sembarangan. “Gak bisa ditahan.” “Uhuk! Uhuk! Hoekkkk!” tapi itu membuat Meida tidak tahan, dia keluar dari persembunyiannya dengan wajah merah. “Mei, sejak kapan kamu disana?” “Uhuk! Hoekkk! Hhh…. Saya gak ada waktu… buat keluar,” ucapnya lemas dan menutup hidung. Wajah managernya merah karena malu. “Mei, saya tadi gak──” BRUK! “Uhuk! Hoekkkk! Ini siapa yang buang angin?! Keluar dari dalam malah disambut aroma begini?” tanya Jarvis dingin dan wajahnya yang kesal. “Maaf, Pak. Ini pegawai saya namanya Meida, dia kesini nanya mau minum apa.” Meida membulatkan mata, managernya menumpahkan kesalahan itu padanya! Bahkan Niko sekarang menatapnya memohon meminta pengertian. Namun, pemikiran Meida blank! Dia tidak mau menatap Jarvis, hanya menunduk dengan jantung berdetak kencang mengingat kejadian mengerikan itu. “Maaf, Pak. apakah bapak ingin minum sesuatu?” “Gak usah, sana keluar,” ucapnya segera duduk dikursinya lagi. Meida yang penasaran itu mengangkat pandangan, apakah Jarvis tidak mengingatnya? Ketika tatapan mereka berpandangan, pria itu menyipit menunjukan rasa tidak sukanya pada Jarvis. “Kenapa masih disini? Cepat keluar, aroma busuknya semakin menyebar.” “Ba-baik, Pak.” Niko yang merasa bersalah itu berbisik, “Maaf, nanti saya traktir kamu kopi.” Tapi bukan itu yang menjadi pemikiran Meida, tapi Jarvis yang sama sekali tidak meminta maaf padanya atau setidaknya memperlihatkan tatapan bersalah. “Orang kaya emang gitu,” gumamnya sambil tertawa hambar. “Mei, kamu darimana aja?” “Dari dalem, Mbak.” “Loh, kenapa itu? kamu mau nangis?” “Hmm, banyak debu di dalem, Mbak. Mau ke kamar mandi dulu.” Meida hanya ingin menangis. Kenapa nasibnya sangat sial? Orangtuanya bercerai, Ayahnya termpramental dan memiliki ibu tiri yang kurang ajar, Ibu kandungnya sakit-sakitan dan membutuhkan biaya. Ini salah satu alasan Meida magang disini, karena dia dapat uang yang banyak. Tapi rasanya tersiksa sekali, kapan dia bisa bahagia seperti wanita diluar sana? puncaknya ketika dia diperkosa dan dirinya dianggap sampah. “Benci gue sama itu orang. Benci banget,” ucapnya. “Bu Wendy, Ibu dipanggil ke ruang Direktur,” ucap seseorang memasuki toilet. Dari bilik kamar mandi, Meida masih bisa mendengar percakapan itu. “Hah? Masih ada Pak Jarvis disana?” “Masih, Bu. Pak Niko minta saya buat panggil Ibu.” “Bentar, saya mau dandan dulu.” “Secepatnya ya, Bu. Saya dengar Pak Jarvis mau segera pergi.” “Haduhhh, bentar saya harus cantik dulu,” ucapnya segera keluar dari sana. Wajahnya sumringah dan terus tersenyum. Tapi Wendy menahannya supaya Jarvis tidak ilfeel. Begitu masuk ke ruangan tersebut, dirinya langsung menunduk menyembunyikan senyuman bahagianya. “Pak Niko manggil saya?” “Iya, Pak Jarvis mau ngomong sama kamu. Saya tinggalin kalian berdua ya,” ucapnya keluar dari sana. Wendy mengerutkan keningnya, apa yang akan Jarvis lakukan padanya? Wendy merasakan pria itu mendekat. Sebelum menggenggam tangan itu, Jarvis memakai handsanitizer dulu. “Kamu sudah punya pacar?” tanya Jarvis dengan wajah yang dingin. “Be-belum, Pak. Ada apa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN