Si tukang bohong.

2120 Kata
MY BOY             Mata setajam elang itu sejak tadi tak henti hentinya menatap gelagat gadis itu. Bahkan kelopak mata itu tak bergeming. Sedikitpun tidak.             “Ya! Ayo!”  teriakan gadis itu sangat bersemangat. Seulas senyum itu muncul di bibir Juna.             “Masuuukkk !!!  Oi masuk oi!”  teriak gadis itu lagi, begitu heboh. Tapi orang orang di sekitarnya tak peduli. Karena sudah dua jam gadis itu berteriak teriak seperti itu.             “Ya ..!! Harusnya tadi masuk kan!”  keluh gadis itu sambil mengambil bola basket baru lagi.             Ya! Sudah sejak tadi, Juna memperhatikan gadis itu. Benar benar unik dan menarik. Gadis itu dengan sangat lincah memasukan bola bola itu ke keranjang. Dan heboh sendiri. Sudah dua jam lamanya Juna memperhatikan gadis itu. Dan bukannya bosan. Dia malah tambah tertarik pada gadis itu.             “Aish! Kok gue jadi payah gini sih,” keluh gadis itu sambil terus berusaha memasukan bola basket lagi.             “Cantik,” celetuk Juna sambil meneguk kopi janji jiwa. Kopinya di minum. Jiwanya di sakitin. Ups. Kembali ke gadis itu. Juna melirik rambutnya yang tak di ikat, di gerai sebahu dan itu membuat Juna gatal. Ingin mengikatnya.             “Cape,” keluh gadis itu sambil duduk, tiket di mesin bola basket sudah menyentuh lantai belakang.             “Mana aus lagi, kaya di padang gurun.” gadis itu mengibas ngibaskan kaos untuk mengangin anginkan lehernya.             “Minum …?”             Gadis itu mendongak dan melihat cup minuman dingin yang terlihat sangat menyegarkan. Ia bisa melihat siapa yang memberinya minum.             Cowok asing, siapa nih. Ngasih minum segala. Sok asik.             “Engga mau, makasih.” jawab gadis itu dengan ketus.             Alis Juna berkerut. Ia mendapatkan penolakan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kehidupannya sejak kloer dari rahim. Oh ini penolakan yang kedua, ia pernah di tolak lahir oleh opungnya.             “Gue ngasih minum baru, bukan bekas kenyotan gue. Lagian dari pada kopi, gue lebih suka ngenyot yang bergizi. Kaya …”             Juna menggantung kalimatnya,” Kaya, s**u ….”             Sekali lagi, Juna menggantung kalimatnya. Gadis yang baru bertemu pertama kali dengannya itu merasa risih.             Cowok aneh, gila lagi. Ngebahas s**u pula! Sinting!             Gadis itu sudah hendak beranjak dari lantai untuk pergi meninggalkan Juna. Ia pikir, Juna orang c***l kali. Gara gara bahas s**u di pertemuan pertama.             “Gue lebih suka s**u kedelai, engga suka yang macem macem.” lanjut Juna dengan senyum jenaka.             “Gue ngasih minum, karena gue mau minta bantuan sebentar. Pliseo.”             Wajah memelas yang Juna tunjukan memang mujarab. Sejenak gadis itu urung, ia tak jadi pergi.             “Mau minta bantuan apa?” tanya gadis itu dengan enggan. Gara gara bahas s**u, dia jadi setengah setengah untuk menolong Juna.             “Gue mau minjem Hp boleh? Hp gue ketinggalan, minjem Hp lo buat nelfon orang rumah, buat ngejemput gue.”             Kata kata Juna terucap dengan lancar seperti sudah di s**u? Eh di susun sebelumnya. Akhirnya gadis itu merogoh saku kantongnya. Handphone itu terulur ke tangan Juna.             Juna menerima handphone itu dengan girang,” Duit gue udah keburu buat beli minum, jadi engga bisa buat ongkos pulang.” jelas Juna lagi sembari memencetkan nomor yang sudah ia hapal di luar kepala.             “Nih, minum dulu.” tawar Juna sembari mengulurkan lagi, KOPI JANJI JIWA. Gadis itu yang mulanya ragu ragu, akhirnya menerima minuman itu.             Minum aja kali ya? Kan gue udah bayar. Iya la! Pulsa gue.             Gadis itu meminum kopi dingin itu dengan rakus. Dua jam bermain dan kerongkongannya memang harus di gilas dengan air.             Juna asik memencetkan nomor itu dan sekarang menempelkan ponsel milik gadis itu ke telinga. Gadis itu memperhatikan tangan Juna.             NU HA NA HI NU HA NA HI NUHYAAKKK.             Bunyi nada dering aneh tapi lucu itu terdengar nyaring.             “Bunyi apa tuh?” tanya Juna pada dirinya sendiri dengan heboh. Kemudian ia merogoh saku celananya sendiri.             Gadis itu sontak melotot. Karena Juna mengambil ponsel dari sakunya. Ia menghentikan meminum kopi. Juna nyengir devil saat melihat ekspresi kekagetan itu.             “Eh! Gue ternyata bawa Hp!”  sorak Juna tanpa rasa bersalah karena berbohong. Tapi bukannya apa apa. Juna malah mematikan panggilan itu dan memencet mencet ponselnya.             “Nih gue kembaliin hp lo, makasih ya. Udah ngasih nomor lo ke gue.” Juna nyengir senang. Sedangkan gadis itu.             Byur! Dia memuncratkan kopi yang sedang ia minum.             Jadi gue di kibulin? Dia boong bilang engga bawa Hp, supaya dapet nomor gue?               Mata gadis itu sudah membulat sempurna, hendak marah pada Juna. Tapi terhenti. Karena Juna sudah mendekatkan kepalanya. Mereka bertatapan amat dekat dan wajah Juna terlihat jelas. Alis tebal dengan hidung mancung yang bangir. Senyuman manis nan jahil secara bersamaan itu muncul.             “Nama gue Juna, Arjuna. Biasa di panggil sayang.” kata Juna sambil memasukan handphone ke saku gadis itu.             “Jangan lupa telfon gue nanti malem ya B-A-B-Y .” Juna mengeja panggilan sayang itu di kuping gadis itu. Byur.             Sekali lagi, sisa kopi di mulut itu muncrat tak bisa di hentikan.             “Lo!”  tunjuk gadis itu dengan nada marah. Tentu saja. Dia baru di permainkan, karena kebaikan hatinya. Sudah di salah gunakan.             “Sayang.” tegas Juna tanpa rasa bersalah di ikuti cengiran puas.             “Oh iya, itu juga bukan kopi baru sih-”Juna nampak menimang nimang. Ia berbohong dua kali ke gadis itu.             “Itu kopi bekas gue, jadi itu ciuman gue buat lo. Simpen aja, buat kenang kenangan.”             Gadis itu melotot dan melihat tragis ke sedotan yang ia sentuh dengan bibirnya itu.             Ciuman gue! Bibir maha ratu gue! Deritanya di dalam hati. Ia hendak menyemprot Juna dengan segala amarahnya.             “Jangan lupa telfon gue ya, Baby.” Juna sudah melangkah pergi meninggalkan area bermain games di mall itu. Punggungnya sudah menjauh dan gadis itu sudah terpaku.             “Ya gusti! Bibir gue! Najis najis najis!”  teriak gadis itu sembari mengusap bibirnya dengan kasar.             “Mama!!”  teriaknya lagi dengan frustasi. Ciuman. Huaa.             Di sebrang sana, Juna terkekeh geli begitu melihat respon yang tak di duga duga,” b**o, orang sedotannya gue balik.” celetuknya sambil berlalu. Ia sudah puas karena mendapatkan nomor telfon gadis itu.             “Jun!”  teriak sebuah suara memanggil namanya dengan akrab.             “ARJUNA !!”  sebuah teriakan lagi, tapi beda orang.             “Oi! Kalian dari mana geng.” Juna nyengir senang saat melihat dua sahabatnya itu. Namanya? Seto dan Dika.             “Lo kemana? Dua jam kita berdua nyari, jangan jangan lo di culik!”              Seto sudah mendekati Juna, dan bug! Pukulan melayang.             “Gila lo! Main pukul pukul,” rintih Juna kesakitan. Dua jam ia di cari cari dan di tanya sedang apa? Ya! Memandangi ciptaan Tuhan paling sempurna lah!             “Sekarang gue yakin, kenapa bidadari di suruh di langit aja,” runtuk Juna.             Seto dan Dika malah saling pandang heran.             Dika mengulurkan tangan,” Lo, kerasukan? Kena sawan? Mabok balsem?”             Mereka bingung, kenapa Juna tiba tiba menghayal tingkat tinggi dan ngomong yang”Engga jelas”itu.             “Iya, Bidadari di suruh di langit supaya jaga sinyal jaringan telfon. Nih gue punya nomor salah satu bidadarinya.” Juna berbicara dengan tambah menghayal. Seto dan Dika malah tambah kejang kejang.             “Wah! Beneran mabok balsem Set!”  seru Dika pada Seto yang sama sama sedang menggeleng geleng kan kepala.             Melotot ke arah Seto dan Dika,” Jangan sirik lo.”             Juna ingat, tadinya ia berpamitan untuk membeli minuman dan lanjut walking walking around mall sambil tebar pesona. Bukan tebar bibit. Nanti bingung, kalau perempuan satu mall hamil anak mereka bertiga.             Juna yang melihat gadis itu memasuki tempat untuk bermain games, langsung tertarik. Bukan hanya karena parasnya. Tapi ke- unikan yang ia temukan dari gadis itu. Dan sanking uniknya, b****g Juna sampai tipis gara gara duduk dua jam di lantai, sambil memandangi ciptaan Tuhan yang maha indah itu. Bidadari penjaga sinyal.             “Yuk bawa pulang aja ini bocah, nanti kalo di tanya orang rumah Juna kaya gini? Kita jawab apaan ..?”             Mendengar itu, Seto jadi menyahut.” Ya kita bilang aja, ke Nyokap sama Bokapnya. Eh mohon maaf tante, tadi di mall otak Juna engga sengaja jatoh. Udah dua jam di cariin, engga ketemu ketemu.”             “Jadi sekarang, Juna engga punya otak tan.” sahut Dika dengan tertawa.             “Ikhlasin aja tan, kalo sekarang Juna engga punya otak.” Seto berceletuk lagi.             Dika dan Seto tertawa lepas dengan obrolan tak bermutu mereka. Juna yang mendengar otaknya di bawa bawa langsung tidak terima.             “Otak lo pada yang engga ada, kosong dari sananya. Ketinggalan di rahim!”              Nah nah nah! Kalau Juna sudah berbicara seperti ini. Tandanya ia sudah kembali norman. Normalnya Juna? Itu artian abnormal untuk orang orang sekitanya.             “Yaudah buruan balik, bentar lagi mau malem.” ajak Juna pada dua temannya.             “Bukannya lo sukanya waktu malem …?” tanya Seto dengan nada m***m.             “Iya, kalo malem kan bisa-”sahut Dika tapi keburu di potong Juna.             “Bisa ngepet rumah lo berdua!”    ^^^             Juna pulang ke rumah. Rumah besar dengan segala fasilitas mewahnya. Ada ayah dan ibunya yang sedang ada di teras rumah. Kebetulan. Batin Juna.             “Mommyy!!!”  teriak Juna memanggil Ibunya yang sedang sibuk menuangkan kopi ke cangkir milik ayahnya.             Juna berhenti di depan ibunya yang sudah geleng geleng melihat kelakuan anak laki laki semata wayangnya itu.             “Wah! Wah wah!”  seru Juna seolah olah kaget.             “Ada Doddy juga!”              “Doddy doddy! Dikira bapak kamu itu apa! Satpam komplek!”  semprot Galang, ayah Juna.             Galang geleng geleng kepala saat ia di panggil doddy doddy oleh anaknya sendiri. Mungkin waktu buat Juna, ia lupa Bismillah.             “Lah! Mama di panggilnya Mommy aja engga masalah, masa Papa di panggil Doddy engga mau.” elak Juna dengan seringai jahil di bibirnya. Ingin rasanya, Galang menabok mulut putranya, dengan alas sendal. Tapi yang ia pakai ternyata sendal akupuntur rupanya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk menabok mulut Juna.             “Engga gitu prosedurnya Juna.” jelas Galang dengan menahan dongkol.             “Dari mana? Seto sama Dika ke mana? Tadi kan mereka sama kamu …?” Sekar melihat ke belakang dan dua cecungut hamba sejati Juna itu. Yang selalu mengikuti Juna kemana saja. Tidak ada.             “Mereka engga ikut Ma, tadi Juna lelepin di kandangnya macan.”             “Hah?” Galang dan Sekar bersahutan.             “Hah?” Juna menirukan ekspresi Ayah dan Ibunya. Orang tua itu malah di buat kesal. Bukannya jawaban, malah ledekan Juna.             “Juna dari mall Ma, mereka pulang engga ngikut ke sini. Lagian Seto sama Dika kan punya rumah sendiri, Jadi Juna sendirian.” jelas Juna, ia sadar Ayah dan Ibunya mulai tak sabaran.             “Juna masuk dulu ya Mommy, Doddy …”             “Doddy! Doddy!”  teriakan Galang tak di dengar anaknya. Juna sudah masuk ke dalam dan tak menggubrisnya.             Padahal sendal akupuntur Galang sudah di tangan, ia pun mengurungkan niat itu.             “Sebenernya dia mirip siapa sih? Kok bisa kaya gitu,” runtuk Galang sambil meraih cangkir kopinya.             “Aish panas panas!”  teriaknya saat lidah itu terbakar kopi yang masih mengepul.             “Ati ati Pa,” Sekara langsung mengipasi mulut suaminya.             “Gara gara Juna!”  ^^^             Juna memasuki kamarnya yang berantakan. Ada globe yang sudah menggelinding di lantai dan jadi bole. Dan segala bentuk orak arik kamar lelaki. Juna sedang libur sekolah, sebentar lagi. Libur akhir semester akan berakhir. Dan tak di sangka. Di hari hari terakhir ia berlibur. Ia bertemu hal tak terduga.             “Gila gila, bidadari mana yang gue liat tadi.”             Juna menerawang nomor yang ada di ponselnya. Segera nomor itu tersimpan di kontaknya dengan nama.” JODOH DI TANGAN JUNA.”             “Tolong, tangan Tuhan jangan dulu ikut campur,” Juna berdo’a             “Nanti Juna jadi anak baik, ngasih makan si Oke sama si Uci.”             Juna menyebutkan Tokek dan Kucing peliharaanya yang kadang lupa di beri makan. Juna memang seperti itu, suka memanggil orang dengan panggilan yang buat sebel. Pernah suatu ketika, kebiasaan memanggil nama orang yang tanggung ini membuat Juna di jitak. Di empedunya tepatnya.             “Hei Ma!”  teriak Juna memanggil seseorang. Gadis yang di panggil panggil Juna sejak tadi, tetap berjalan tak menghiraukan.             “MA! MA! MA!”  teriak Juna lagi, tak kalah keras dari sebelumnya.             “Hei! Gue punya nama ya! Ma! Ma! Emang gue emak lo!”              Gadis itu akhirnya berbalik dan memarahi Juna.             “Lah, nama lo kan Mayang, iya kan Ma?”             Juna malah memangilnya dengan panggilan itu lagi.             “Iya! Tapi bisa engga, manggilnya sekalian. MAYANG!”  Mayang sudah emosi sejak tadi.             Ma! Ma! Lo pikir gue yang nyusuin lo sampe segede gini. Gerutu Mayang masih kesal.             “Ya kan gue manggil Ma, lo engga mau, ya udah gue  ganti panggil ANG deh!”  jawab Juna dengan nada tawar menawar.             Plak! Buku paket setebal ratusan halaman itu di tonjokan ke perut Juna.             “Mayang! Dan gue bukan emak lo JUNA!!” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN