Chapter 1 : Meet with You
Bunyi ketukan dari balik pintu memekakkan telinga. Kinan yang sedang lelap, tiba-tiba mengucek mata sembari memeriksa handphone. Mengecek jam. Mengapa pagi-pagi buta begini seseorang mengetuk pintu kontrakannya dengan begitu tak tahu diri.
Astaga!
Rupanya sudah jam sembilan siang. Dia begitu bangun terlambat hari ini. Namun, ia kembali menepuk dahi menyadari kebodohan. Hari ini Minggu. Dan dia tentu saja libur kerja. Siapa pula yang akan berada di kantor hari ini?
Untunglah dia tak seperti waktu-waktu lalu. Saat sudah bersiap pergi ke tempat kerja, dia menyadari ada yang salah ketika banyak sekali orang berolahraga ketika melewati taman depan.
“Cepat buka! Aku tahu kamu ada di dalam, Kinan!” Suara Ibu kontrakan dengan gedorannya yang keras membuat Kinan cepat kembali ke indranya.
Setengah mengantuk ia berjalan pelan menuju pintu yang hanya sepelemparan batu.
Seorang perempuan paruh baya yang memakai daster merah muda dengan motif bunga-bunga, berkacak pinggang menyambutnya dengan mata memerah. Kali ini Kinan sudah siap jika memang Bu Cindy akan memakinya lagi habis-habisan.
“Maaf, Bu!” ucap Kinan sebelum Bu Cindy mengeluarkan kata-kata dari bibirnya yang tebal. Badannya yang gempal hampir menutupi pintu sepenuhnya.
“Mana? Sudah tiga bulan ini!”
“Saya belum dapat uang, Bu. Kantor saya pailit beberapa bulan ini jadi gaji karyawan belum turun semua.”
“Bulan lalu juga alasannya begitu. Tidak ada alasan lain!”
“Iya, Bu. Karena memang masalahnya memang itu.”
Kinan menyeringai memamerkan gigi-gigi putihnya. Dua gigi kelinci paling depan terlihat menyembul. Menambah aura manis.
“Nggak usah bercanda sama saya. Nggak lucu!”
“Maaf, Bu. Kasih saya waktu satu minggu, ya!”
“Tiga hari!” jawab Bu Cindy tegas sembari melipat jari jempol serta kelingking. Memasang tiga jari tepat di wajah Kinan.
“Lima, deh, Bu!”
“TIGA!”
“Kalau empat gimana, Bu?” Kinan memasang wajah memelas minta dikasihani.
“Eh, kamu pikir lagi tawar-tawaran ikan di pasar, hah? Oke empat hari. Kalau dalam empat hari kamu masih belum bisa bayar, saya kontrakan rumah ini pada penyewa yang lain.”
“Baik, Bu. Terima kasih banyak. Kinan janji empat hari lagi Kinan bayar.”
Bu Cindy memanyun-manyunkan bibir bergincu merahnya. Komat-kamit. Lalu meninggalkan Kinan dengan wajah ketus. Keluar bunyi deritan tangga tua yang menuju lantai satu saat Bu Cindy menuruninya dengan langkah besar.
Kinan segera menghela napas berat lalu menutup pintunya pelan. Kali ini apa yang harus ia lakukan? Apa sebaiknya dia mencari pekerjaan lain yang memang lebih jelas dan pasti?
Bukan perkara berhenti bekerja begitu saja. Tapi Kinan sudah merasa nyaman bekerja di kantor penerbitan sebagai editor, yang pemiliknya tak lain adalah laki-laki yang baru dipacarinya satu tahun lalu. Kavin. Kavin merupakan seniornya saat sekolah menengah atas dulu. Kantornya baru berdiri selama dua tahun. Namun ternyata tidak berjalan dengan lancar setahun belakangan ini.
Di tengah kegambangannya memikirkan bagaimana membayar uang sewa, seorang perempuan dengan dress putih selutut masuk begitu saja tanpa permisi. Membuat Kinan yang melamun sedikit kaget.
“Ups, sorry!”
Natasya yang melihat Kinan kaget bukan main, merasa sedikit bersalah. Tanpa diminta dia menghambur ke tempat tidur Kinan yang berukuran minimalis. Memilih sama-sama duduk di tepian kasur saling berhadapan.
“Mikirin masalah yang mana, sih, serius sekali?” tanya Tasya. Ia mengeluarkan sebuah snack dengan banyak kandungan micin dari plastik putih berlogo minimarket. Tasya si anak orang kaya itu tak pernah datang dengan tangan kosong.
“Maksud?”
“Ya, kan, masalah kamu banyak banget, Nan. Aku jadinya bingung kamu mikirin yang mana!”
Sebuah bantal dengan sarung motif bunga abstrak, melayang ke wajah Tasya yang tertawa puas.
“Ya kamu enak anak orang kaya. Nggak usah susah-susah mikirin duit tiap hari. Lah aku?”
“Yang minta dilahirin jadi anak orang kaya ‘kan bukan aku. Jadi bukan salah aku, dong!”
“Iya, iya! Pak RT noh yang salah. PAK RT. PUAS?”
Kinan pikir hanya dirinya saja di dunia ini yang telmi. Nyatanya ada yang melampaui ketelmian dirinya. Baguslah! Orang bodoh di dunia tidak hanya dia seorang, pikirnya.
“Yeee, ngambekan!”
“Bodo!” Kinan mengambil bungkusan makanan ringan di tangan Tasya lalu melahapnya membabi buta. Seperti orang tak makan tiga hari.
“Minjem duit, dong, Sya!” selorohnya tiba-tiba.
“Ya ampun! Minjem duit ringan amat, Buk! Udah kayak mau minjem obeng tetangga.”
“Ya, kamu, ‘kan kaya. Buat bayar kontrakan, nih. Ditagih terus sama Bu Cindy.”
“Tumben banget, Nan. Sesulit apapun hidup kamu, kamu ‘kan anti minjem uangku. Tiap kali ditawarin kamu pasti selalu nolak.”
“Muka Bu Cindy serem Sya kalau lagi nagih uang kontrakan. Nanti deh kamu lihat sendiri gimana bola matanya yang hampir keluar semua. Tapi nggak serius juga, sih. Aku masih mau usaha.”
“Usaha apa?” tanya Tasya tanpa berhenti mengunyah cemilan yang direbutnya dari tangan Kinan.
“Usaha minjem duit sama kamu!”
“Yeee! Tampol juga, nih!”
Kinan dan Tasya tertawa bersama. Dengan Tasya, kadang Kinan lupa bahwa ia punya masalah yang berat. Ia sebenarnya tak pernah butuh solusi. Cukup setiap masalah yang ia alami didengarkan sahabatnya, itu sudah cukup.
“Beli kopi di kafe bawah, yuk! Kontrakan kamu sumpek tauk!”
“Iya, deh, yang Nyonyah! Yang rumahnya gedong. Sumpek banget kalau lama-lama diem di kontrakan yang segede tempat tidurnya doang!”
“Nah itu tahu!”
“Sialan!”
Lagi-lagi sebuah bantal sukses menampar Tasya tepat di pipi.
“Mau nggak?”
“Traktir tapi, ya! Bokek!”
“Kapan emang mesen kopi bayar sendiri?”
“Pernaaaah!”
“Kapan?”
“Lupa!” Kinan menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari nyengir kuda.
“Nah, kan! Sana mandi dulu! Iler tuh jijik banget iyuuuh!”
“Cuci muka aja, deh! Lagian juga cuci muka doang masih cantik.”
“Cantik palamu!”
“Yeee, sirik!” Kinan menjulurkan lidah sembari beringsut ke kamar mandi. Menyampirkan handuk di bahu.
Kali ini, sebuah bantal mendarat di wajah putih Kinan.
***
Hanya butuh berjalan kaki sepuluh menit dari kontrakan Kinan untuk sampai ke kafe di ujung jalan. Memang kontrakan Kinan yang berada di pusat kota itu cukup strategis. Tak heran jika biayanya sedikit mahal dibanding kontrakan di kawasan lain. Alasan Kinan tinggal di rumah kontrakannya yang sekarang pun agar dia mudah menjangkau tempat kerjanya tanpa keluar ongkos transport. Dan itu berhasil meskipun biaya sewa sedikit lebih mahal.
Kinan dan Tasya memasuki kafe bernuansa klasik dengan meja dan kursi yang terbuat dari kayu. Lagu pop mendayu memenuhi ruangan bercat putih itu. Setelah memesan dua cup capucinno, mereka duduk tepat di dekat jendela. Memilih sudut itu sebagai tempat favorit. Pemandangan jalan yang indah dengan para pejalan kaki yang lalu lalang di sepanjang trotoar, menjadi media mereka mencuci mata. Apalagi di hari Minggu seperti sekarang ini, jalanan akan ramai dengan orang-orang yang memburu kuliner di hari libur kerja. Bisa sekalian lihat cowok ganteng mirip Oppa Korea jika beruntung, pikir mereka.
Tidak butuh waktu setengah jam capucinno yang dinikmati Kinan diseruput habis. Tanpa malu, Kinan berdiri dari kursinya sembari meminta Tasya untuk membelikannya satu cup lagi.
“Pesen satu lagi, ya! Haus, nih!”
Tasya yang sudah hapal tabiat sahabatnya itu cepat-cepat mengangguk. Harga segelas kopi tidak lebih berharga baginya dibanding persahabatan yang mereka miliki.
Namun, bukan Kinan namanya jika tak membuat masalah. Saat dia sudah antri di kasir dan hendak berbalik, tepat di belakangnya berdiri seorang pria dengan perawakan tinggi berjalan sedikit tergesa ke arahnya. Kinan yang kaget menumpahkan capucinno tepat di kemeja putih laki-laki yang tanpa sengaja ditabraknya.
“Ma-maaf?!” ucap Kinan sedikit terkejut. Menyimpan tangan kanan di depan bibir merasa bersalah.
Laki-laki bermata sedikit sipit dengan wajah oriental di depannya menatap penuh marah. Hidung mancungnya mengeluarkan desis bak naga yang mengembuskan api.
Kinan menatapnya takut-takut. Sebab tatapan tajam laki-laki itu seperti seekor harimau yang bersiap menerkam mangsanya. Kinan yang bertubuh mungil, siap ditelan mentah-mentah.