Harapan Kana

1266 Kata
Kana malah tertawa saat Oma Beth menyemprotnya dengan shower mandi saat Kana memandikannya di dalam bak mandi. Kana basah kuyup karenanya. "Oma Beth nakal ah," decak Kana sambil membalur tubuh kurus Oma dengan sabun mandi. Kana melakukannya dengan amat perlahan dan detail. Kana tidak jijik atau geli saat menggosok bagian sensitif Oma Beth. Dia sudah diajarkan Dian bagaimana menangani lansia saat mandi. Tantangan pekerjaan ini sangat besar, terutama saat menangani para lansia yang sedang mengalami tantrum seperti yang dialami Dian barusan. Jika tidak sabar, bisa berujung fatal. Tahun lalu ada pegawai yang dipecat karena tidak sabar menghadapi seorang kakek yang marah-marah. Pegawai tersebut malah membalas memukul kakek tersebut hingga terjatuh. Oma Beth masih saja menyiram-nyiram Kana sampai baju Kana basah, hingga bagian dadanya terlihat dari balik bajunya yang nyeplak. "Ih. Tet*k kamu guede, Kana." Oma Beth pegang-pegang d**a Kana. Kana tertawa kecil, padahal dadanya belum tumbuh sempurna. Tapi d**a Kana memang super besar, sesuai dengan tubuhnya yang besar. "Udah, Oma. Geli ah," decak Kana. "Nanti punya suami pasti seneng mainin tet*knya nih. Kenyal-kenyal." "Oma ih. Nakal." Kana dengan pelan menepis tangan Oma Beth yang sempat meremas dadanya. Ada-ada saja Oma Beth. Kana masih sangat belia, tentu dia tidak memahami tentang 'suami'. Mungkin Oma Beth mengira Kana sudah berusia duapuluhan dan mengerti akan gurauannya. Sekarang Oma Beth biarkan Kana membasuh sekujur tubuhnya. Beberapa saat kemudian, tubuh Oma Beth sudah kering. Dengan telaten Kana pakaikan tubuh Oma Beth dengan pakaian yang bersih. Kana arahkan kursi roda ke depan cermin. Kana siap menata rambut tipis Oma Beth. Sejenak Kana mengingat Mama dan uwaknya di kampung halamannya. Apa kabar mereka sekarang? Rasanya ingin merawat masa tua mereka. Meski Kana diperlakukan tidak baik dan dihina, tapi kerinduan tetap Kana rasakan, terutama terhadap mamanya. "Kata siapa Lusi datang ke sini lusa, Kana?" tanya Oma Beth yang sekarang sudah tenang. Lusi adalah anak tertua Oma Beth. Oma Beth memiliki lima anak dan Lusilah yang paling rajin mengunjunginya. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan sangat sibuk mengurus bisnis keluarga masing-masing. Keputusan ke panti jompo adalah dari Oma Beth sendiri. Oma Beth merasa sudah saatnya berkumpul dengan teman-teman seusianya di panti jompo. Suaminya sudah lama meninggal dunia, sepuluh tahun yang lalu. Oma sendiri sudah hampir dua tahun tinggal di panti. "La tadi kata Mbak Dian, Oma," ucap Kana. Dia tersenyum tipis karena Oma Beth menganggapnya sudah mengenal keluarganya. Padahal selama ini Oma Beth ditangani Dian. Kana hanya sekali-sekali diperlukan untuk menemani atau merawatnya. "Coba kamu telepon Lusi, Kana. Bilang jangan lusa. Besok saja datangnya. Suruh datang sama Olive anaknya. Oma kangen cucu Oma," rengek Oma Beth. Kana tertawa kecil. Dia tidak memiliki ponsel. "Nanti aku sampaikan ke Mbak Dian," ujarnya sambil terus menata rambut Oma Beth pelan-pelan. "Sekarang aja, Kana. Pake hape kamu gih," suruh Oma memaksa. "Aku nggak punya hape, Oma." "Masa?" Kana tertawa lagi. Lucu melihat wajah tua Oma Beth seperti anak kecil yang tidak percaya akan sesuatu yang katakan. "Iya, Oma. Nggak punya," ujar Kana. "Kalo gitu nanti Oma bilang ke Lusi beli hape buat kamu ya?" ujar Oma Beth. "Jangan ah, Oma...." Kana tertawa menggeleng. Ada-ada saja Oma Beth. Oma Beth tertawa kecil. Oma Beth sudah cantik dan bersih. Wangi lagi. Kana senang dengan perubahan sikap Oma Beth. Dia cium punggung tangan kanan Oma Beth. Oma Beth balas dengan mengusap-usap kepala Kana. Ah, benar kata Mbak Dian, merawat orang tua gampang-gampang susah. Gampang jika sedang manis-manisnya, tapi jika sedang ngambek, itu luar biasa menyakitkan perasaan. Kana dorong kursi roda ke luar kamar mandi. "Wah. Sudah wangi, Omaaaa." Oma Beth terkejut. Ada Lusi dan seorang anak kecil di dalam kamarnya. Mata Oma Beth berkaca-kaca menyambut pelukan anak dan cucunya. "Surprise, Mamiiiii!" seru Lusi. Perempuan cantik itu memeluk Oma Beth erat-erat. Kana lirik Dian yang menghela lega. Pekerjaan Dian dibantu Gino, sehingga kamar Oma Beth sudah bersih dan rapi seperti sedia kala. Kana yang sadar tubuhnya yang masih basah kuyup, dengan cepat melangkah ke luar dari kamar Oma Beth. Dia sempat berbisik ke Dian bahwa dia ingin segera ganti baju. *** Malamnya, Dian menginap di kamar Kana. Dia senang Kana membantu pekerjaannya siang tadi yang sangat melelahkan. Dian adalah pegawai yang pertama kali menyapa dan memperkenalkan diri ke Kana. Dian sudah bekerja selama tiga tahun di panti jompo dan menyukai pekerjannya, meskipun tantangannya sangat besar. Dian masih single juga tidak memiliki pacar. Tapi ada isu bahwa Gino menyukainya. Kini keduanya sudah rapi dengan pakaian tidur dan rebah di atas kasur besar di kamar Kana. "Jadi Mbak Dian langsung hubungi anaknya Oma pas Oma aku mandikan?" tanya Kana. Mereka berdua masih saja membahas kejadian siang tadi. "Iya, Kana. Habis nggak sanggup juga. Oma Beth sudah lima kali ngamuk begitu," jawab Dian. "Kasihan ya." "Iya sih. Tapi kadang sebel liat kelakuannya. Emang yang paling bawel tuh Oma Beth. Mana ada yang sanggup merawat dia. Mbak sebenarnya nggak sanggup. Tapi karena nggak ada yang mau, Mbak jadi kasihan sama Oma Beth. Untungnya ada Tiur yang mau jaga malam Oma Beth. Kalo nggak, masa sama Mbak seharian penuh ... hm ... lagipula Lusi juga baik sama kita. Suka ngasih tips besar." "Oh...." Kana tersenyum senang mendengar penjelasan Dian tentang Oma Beth. "Tapi Oma Beth tuh senang banget sama kamu, Kana. Oma Beth suka senyum kalo liatin kamu. Dia bilang kamu tuh lucu dan baik," Kana tertawa kecil. Dia hanya senang melihat orang tua tertawa. Selama ini dia tidak pernah melihat mamanya tersenyum atau tertawa saat melihatnya. Saat diberi kesempatan merawat dan memandikan para lansia, Kana pasti mengingat sedang merawat mamanya. Kana lalu terdiam, karena bayangan wajah mamanya terlintas di benaknya. "Kangen Mama?" tanya Dian. Dia sudah tahu hubungan Kana dan mamanya yang sulit. "Ya. Tapi kalo aku pulang juga percuma. Mama lebih sayang Kak Yuna." Dian usap-usap bahu besar Kana. "Aku harus sekolah dan kuliah. Aku ingin jadi guru," ujar Kana. Dian tersenyum hangat. Cita-cita Kana sangat mulia. "Emangnya kamu mau mengajar di TK, SD, SMP atau SMA?" Kana hela napas panjang. "Hm ... aku sering ngebayangin ngajar anak-anak kecil, Mbak. Anak-anak TK gitu." "Oh. Bagus." "Aku didik mereka supaya pas gede nggak suka ngebully orang." Dian mendadak tertawa. Kana juga tertawa lepas. "Haha. Kana. Ada-ada aja kamu." "Soalnya aku pas SD di kampung, gurunya kayak nggak peduli kalo aku diejek gajah bengkak atau babi kenyang." "Jahat banget teman kamu." "Menurutku mereka nggak jahat. Mereka nggak sadar aja kalo kelakuan mereka nggak baik dan nggak ada yang mengajari mereka." Dian memiringkan posisi rebahnya dan mengamati wajah dan sekujur tubuh Kana. "Trus kamu di rumah bagaimana ... Mama kamu aja menghina kamu. Tapi kamu tetap jadi anak baik." "Mama tuh nggak pernah menghina aku di depan orang-orang. Dia hanya malu punya anak seperti aku. Dia memilih diam dan menghindar dari orang-orang yang menghinanya karena aku. Dia menghinaku hanya di depanku saja." "Kana...." Dian salut dengan Kana yang tetap menilai bahwa mamanya baik meski dia sendiri tidak pernah diharapkan mamanya. Kana bahkan diusir dari rumah. "Apa nanti suatu saat kamu pulang dan bertemu Mama kamu, meski dia sendiri nggak mau liat kamu?" Kana mengangguk. "Seandainya dia nggak mau ketemu kamu?" "Ya. Aku pilih menghindar saja. Aku tetap berharap yang terbaik buat Mama." Dian hela napas panjang. "Seandainya aku Mama kamu, Kana. Aku adalah orang yang paling beruntung di dunia ini. Kamu baik hati." "Mbak berlebihan." "Aku nggak berlebihan. Nyatanya kehadiran kamu di sini justru membawa keberkahan. Aku merasakannya. Teman-teman juga. Pekerjaan kami sangat ringan, karena kamu bantu dan nggak pilih-pilih kerjaan ... hm ... apalagi Bu Wita. Dia sampai bilang begini, nggak mau kamu sekolah dan kepinginnya kamu sama dia terus." Kana tertawa kecil. "Tapi dia akhirnya nyadar kalo kamu juga berhak menentukan masa depan sendiri," lanjut Dian kemudian. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN