Malam itu Dini, Ulis dan Tini terus saja membahas tentang pekerjaan di Jakarta yang semakin lama semakin sulit didapat serta semakin banyaknya persaingan. Setiap hari ada banyak calon pekerja dari kampung atau daerah mengadu nasib di Jakarta. Jadi mau tidak mau harus siap digaji kecil karena ada banyak calon lain yang bersedia digaji kecil. Banyak pihak-pihak yang mempekerjakan tenaga kerja ilegal atau di bawah umur seperti Kana dan tiga temannya. Dan banyaknya oknum-oknum yang membiarkan mereka dibayar rendah. Menurut Kana dia mesti meneruskan sekolahnya, jika tidak dia akan bernasib begini-begini saja di sepanjang usianya.
Malam itu Kana tidak tidur nyenyak lagi. Dia pikirkan bagaimana dia harus pergi dari warteg itu secepatnya. Dia tidak mau dijadikan sapi perah teman-temannya atau jadi bahan olok-olok. Kana menjadi yakin bahwa Jakarta adalah kota besar dengan sejuta kesempatan yang akan mengubah nasibnya kelak.
Kana bertekad kabur saja pagi-pagi. Dia sudah mendengar penjelasan dari Dini bahwa si pemilik warteg akan memilih untuk tidak mencari pekerja yang kabur, karena tidak mau bermasalah dengan polisi atau dinas tenaga kerja. Mereka takut usahanya dipermasalahkan karena membayar upah yang sangat murah dan harus mengeluarkan duit lebih banyak lagi untuk menyuap oknum-oknum ketenagakerjaan. Pihak penyalur juga ogah mengurus pekerja yang berulah dan lebih memilih cuci tangan.
***
Pagi itu Kana bekerja seperti biasa, membersihkan dapur warteg dan kamar mandi serta tiga kakus. Kana bekerja lebih semangat dari sebelumnya, hingga membuat orang-orang terheran-heran. Tiga teman sekamarnya ikut heran melihat Kana bekerja dengan sangat cekatan. Pak Tomo, pemilik warteg, jadi terkesima melihat Kana bekerja. Dia tidak marah-marah atau mengomel seperti sebelumnya.
"Brot. Bantu gue dong. Bersiin kerak-kerak panci. Tangan gue perih banget nih," bisik Dini saat melihat Kana duduk-duduk karena pekerjaannya sudah selesai.
Kana berdiri dari duduknya, menatap Dini dengan tatapan tajam.
Wajah Dini berubah. "Napa lo?" tanyanya.
"Aku nggak mau bantu kamu hari ini," ujar Kana menatap Dini dengan wajah datar.
"Awas lo. Mau gue bikin lo ke luar dari pekerjaan," ancam Dini pelan.
"Dengan senang hati. Kamu teriak aja, ngadu sana sama Pak Tomo," balas Kana. Ada Pak Tomo duduk-duduk sedang memainkan gawainya di sudut dapur.
"Atau aku peras badan kamu?" gertak Kana dengan wajah sangarnya. Gerahamnya terlihat gemerutuk.
Dini terkesiap dengan sikap Kana yang berubah. Dia tidak menyangka Kana seberani ini di depannya. Sebelumnya Kana mau saja dia suruh-suruh dan sangat patuh.
"Aku nggak takut hilang pekerjaan. Apalagi takut sama kamu ... aku pernah hampir membunuh," desis Kana berbisik. Kembali dia mengingat peristiwa malam saat dia menghunus pisau ke arah Raka.
Dini langsung cepat-cepat membersihkan panci berkerak yang dia pegang, karena Bu Eni muncul dan sepertinya menginginkan panci besar itu segera. Dia tampak ketakutan, karena mata Kana sudah melirik ke arah pisau yang ada di depannya. Sepertinya Kana memang tidak takut apapun. Tubuh Kana jauh lebih besar darinya.
"Kana. Kamu ikut Ibu ke pasar ya."
"Iya, Bu," jawab Kana sambil matanya yang tetap mengawasi Dini yang tertunduk.
Kana sudah tahu dia akan diajak ke pasar pagi ini. Pagi-pagi sebelum ingin kabur, dia menguping pembicaraan Pak Tomo dan Bu Eni. Bu Eni memuji pekerjaan Kana dan fisik Kana yang cukup kuat. Bu Eni menginginkan Kana menemaninya belanja di pasar dan bisa membawakan seluruh belanjaannya. Kana yang ingin berhemat dan tidak mau menggunakan uang pemberian Uwak Ita, langsung berpikir keras bagaimana caranya ke pasar yang cukup jauh itu dengan gratis tentunya.
***
Dengan cepat Kana lempar tasnya ke bak mobil truk kecil yang akan membawanya ke pasar. Dia disuruh duduk di belakang bak mobil, sementara Bu Eni duduk di bagian depan. Kana duduki tas ranselnya yang dia tutupi dengan sobekan kardus bekas.
Setiba di pasar, Kana langsung turun dari bak mobil pada saat mobil berhenti menghindari para pejalan kaki yang berseliweran di tengah pasar. Tentu Bu Eni dan sopir tidak menyadarinya karena mata mereka fokus ke depan.
Kana berjalan menyusuri pasar menuju lapak ilegal di pinggiran jalanan. Dia sempat menoleh ke arah mobil yang dia tumpangi menjauh ke dalam pasar. Kana menghela lega.
Kana duduk-duduk di antara lapak-lapak sambil mengawasi sekeliling.
"Emang hari ini ada sidak?"
"Katanya sih. Kurang tau juga gue. Gue buka lapak karena disuruh bos."
"Sidak orang gila, pengemis ma anak-anak jalanan."
"Oh. Jadi bukan sidak lapak."
"Dah dibayar dua hari lalu."
"Oh. Aman dong kalo gitu."
Kana terdiam menoleh ke sekelilingnya setelah mendengar tiga pedagang bercakap-cakap. Tidak ada orang gila atau tunawisma di sekelilingnya. Apa mungkin mereka sudah tahu jadwal sidak? Kana menggetok kepalanya, orang gila tahu jadwal sidak? Ada-ada saja Kana.
Matahari semakin tinggi dan cuaca mulai memanas. Kegiatan lapak sudah beroperasi dan belum ada tanda-tanda satpol PP datang. Kana yang duduk-duduk di samping sebuah ruko kecil menjadi cemas, bingung akan menginap di mana malam ini. Semoga ada jadwal sidak, harapnya di tengah bingungnya.
"Heh, Gembrot. Jangan duduk di sini. Ntar nggak ada pelanggan yang mau masuk," usir mbak-mbak cantik pegawai toko ke Kana.
Kana terkejut bukan main. Dia lalu beranjak dan berjalan menjauh dari ruko kecil yang baru saja dibuka itu.
Kana tidak tahu harus ke mana lagi.
Tiba-tiba dilihatnya ada bapak-bapak berpakaian sangat lusuh duduk di pinggiran jalan. Kana dekati saja bapak itu. Kana yakin bapak itu orang gila. Kadang dekat dengan orang gila lebih baik daripada dekat dengan orang normal yang dengan segala sumpah serapahnya.
"Sudah makan, Neng?" tanya bapak itu sambil menawarkan roti yang sudah berjamur ke arahnya.
Kana mengangguk.
"Sudah, Pak," jawab Kana. Kana memang sudah sarapan yang cukup banyak tadi pagi, nasi putih dengan dua lauk ayam goreng sisa lauk semalam, sambal terasi dan dua kerupuk udang. Kana juga minum teh panas manis, dia buat sendiri kala pegawai lain masih tertidur lelap.
Kana sekali lagi melirik ke arah bapak-bapak itu yang sangat lahap makan roti basi. Dia berpikir bapak itu tidak gila, sorot matanya masih sangat tajam.
"Nunggu satpol PP?" tanya bapak itu setelah menghabiskan rotinya. Dia melirik ke arah tas di belakang punggung Kana.
"Iya, Pak," jawab Kana pelan dan pasrah.
"Sebentar lagi. Tunggu aja di sini. Kalo lewat, nanti saya stopin mobilnya. Mau pulang kampung gratis kan?"
Kana terkesiap dengan pertanyaan bapak lusuh itu.
Kana mengangguk. Penasaran dengan bapak itu, dia ingin bertanya lebih lanjut. Tapi tiba-tiba terdengar suara-suara klakson mobil.
Kana lega, mobil yang dia tunggu-tunggu pun datang.
Ah, lucunya Kana. Ada banyak orang-orang berlarian dari persembunyian berusaha menghindari mobil satpol PP. Justru dia dan bapak itu malah mendekati mobil satpol PP dan menaikinya.
Bersambung