PULUHAN kendaraan berjajar rapi dengan warna-warni yang indah. Aku tersenyum kecil, betapa membahagiakan jika kisah hidupku akan seindah itu. Tetapi mungkin dulu, ya. Sebelum aku mengerti betapa mengganggunya teriakan Mamah saat berdiri di hadapan Papah. Betapa ngerinya tatapan tajam Papah saat berhadapan dengan Mamah.
Mika saat dua belas tahun lalu tidak seperti ini. Yang ia tahu, Mamahnya selalu membawa Teddy Bear cokelat setiap pulang dari kerja. Papahnya membawa boneka Barbie berwarna Pink dan begitu cantik. Mika dulu hanya bisa tertawa, menangis saat keinginannya tidak dikabulkan.
Tetapi sekarang, Mika tujuh belas tahun, tidak bisa mengeluarkan air mata lagi saat melihat Mamah bersitegang dengan Papah. Sudah tidak bisa berbicara di hadapan mereka. Aku terlalu takut, takut kalau takdir tiba-tiba berubah lagi dan membawaku ke jurang yang lebih mengerikan bahkan sebelum aku membuka mulut untuk menenangkan mereka.
Tapi aku tidak ingin mati. Karena ketika aku mati, aku tidak bisa melihat semuanya. Aku hanya ingin melihat, sampai mana Tuhan akan membenciku.
"Babe, lo pulang bareng siapa?"
Aku menoleh. Mendapati Amel sedang berjalan menghampiriku. Oh, aku lupa. Mungkin dia juga memarkirkan kendaraannya disini. Dia cantik. Baju Osisnya sengaja dibentuk pas untuk badannya. Begitu pun dengan rok abu-abunya. Ketat dan memperlihatkan bokongnya yang indah. Beginilah kehidupan anak SMA di jaman globalisasi. Tidak akan kalian temukan, kisah anak polos yang dibully karena kacamata tebalnya, atau karena buku yang dipegang.
Semua itu tak ada dalam kisah Mika Andrafia.
"Sendirilah! Mau nebeng kan lo?"
Dia tersenyum lebar, namun kemudian menggeleng. "Gue dijemput Romi," Aku hanya mendengus kesal. "Eh si Marsya buat tato baru tauu. Emang cabe satu itu nggak mau banget kalah."
Aku tertawa kecil, sembari memainkan kunci motor di tangan kanan. "Bilang aja lo sirik. Ajak Romi buat couple gih.. Lo gambar biji dia gambar pentil."
"Anjing lo! Yaudah ah. Gue balik, mau ke rumah calon mertua. Dadah, Sayang.."
Dia berjalan melenggokkan pinggulnya. Beberapa siswa menatapnya dengan senyuman kagum, jijik, dan meremehkan. Aku juga melihat segerombolan siswi berkerudung berbisik pelan sembari menatap Amel.
Aku hanya tersenyum.
Kakiku berjalan mendekati motor matic berwarna putih. Mas Ilham, penjaga parkir tersenyum ramah dan menghampiriku. Dia luar biasa. Aku tidak pernah melihat tatapan jijik atau meremehkan dari wajahnya seperti lelaki lain di sekolahku ini. Entah memang dia berhati malaikat, atau karena dia terlalu pandai menutupinya.
"Warna baru lagi, Mbak Mika?"
Aku tertawa kecil, refleks menyentuh rambutku yang baru kemarin kuwarnai cokelat. "Iya, Mas. Bagus nggak?"
Dia mengangguk dan tersenyum manis. "Udah pastilah. Seksi."
Aku tertawa kencang, dan ternyata itu menarik perhatian beberapa orang yang ada di parkiran. Kutatap mereka satu persatu hingga mereka membuang muka malu.
Ransel hitam, kugendong di belakang. Memakai jaket, sarung tangan, serta helm, baru aku mendaratkan bokongku di motor. "Makasih ya, Mas.." Aku berpamitan dengan Mas Ilham.
"Sama-sama, Mbak. Hati-hati.."
Motorku berjalan beriringan dengan motor lainnya menuju ke pagar otomatis. Aku berhenti dan memberikan uang untuk biaya parkir. Saat aku menarik gas, sebuah motor besar lewat dan tangannya menyentuh pinggangku. "Babi!" makiku kencang.
Aku tak peduli dengan tatapan orang saat ini.
"Awas Mbak pahanya ntar kena debu." Suara lelaki yang berdiri tak jauh dari sini.
Tidak menghiraukan semua 'hiruk-pikuk' sekolah, aku menambah kecepatan untuk segera sampai dirumah. Lelah harus berperan sebagai karakter yang berbeda tiap harinya.
Melewati sekitar satu jam di jalanan, aku sampai di rumah. Suasana begitu sepi saat membuka pintu dengan kunci cadangan yang kumiliki. Sebenarnya, di rumah pun aku merasa tak aman. Tetapi setidaknya, aku tak perlu takut ada orang yang akan melihatku menangis.
Aku masuk ke dalam kamar. Mengganti pakaian dengan kaus dan celana pendek. Duduk di tepi ranjang, aku memandang ke arah jendela. Tuhan? Kalau Kau membenci makhluk sepertiku, kenapa Kau ciptakan masalah yang aku tak mampu menghadapinya? Kenapa tak Kau buat aku menjadi deretan gadis berkerudung besar itu? Yang semua orang menatapnya kagum serta memuji.
"Aku udah bilang kalau separuh gajiku akan aku tabung sendiri! Kenapa sekarang kamu ngungkit lagi!?"
Aku tak terkejut. Jantungku sudah cukup terbiasa atau mungkin rusak untuk mendengar suara keras yang tiba-tiba. Itu suara Mamah. Bahkan dari kamarku yang harus melewati tangga, aku bisa mendengarnya dengan sangat baik.
"Tapi Mika makin besar kebutuhannya! Kamu sadar nggak?!"
Itu Papah.
"Ya karena kamu selalu buang semua gajimu di meja judi! Itu kenapa semuanya jadi nggak cukup. Kamu kepala rumah tangga, tapi selalu minta hasil gajiku. Punya malu nggak kamu!"
Aku tersenyum. Aku tidak akan menangis. Tidak untuk beberapa bulan lalu dan seterusnya.
"Kamu mikir kenapa aku selalu di meja judi? Karena kamu nggak pernah bisa jadi istri yang baik?!"
Aku pikir, Mamahku cukup baik menjadi istri. Bukan, bukan aku membela Mamah. Tetapi, setiap aku turun pukul 06.30, di meja makan sudah tersedia makanan. Rumah sudah rapi dan bersih. Kulkas tidak pernah kosong. s**u kesukaanku selalu terhidang di meja bersama roti panggang yang diolesi selai Blueberry. Siapa yang melakukan itu kalau bukan Mamah? Dia menjalankan peran istri dengan baik.
Yang aku tidak tahu untuk menilai adalah, perannya sebagai seorang Ibu. Oh, jika meninggalkan uang di meja makan dengan Note yang berisi ucapan selamat pagi adalah kriteria Ibu baik, maka ya. Dia adalah Ibu yang baik.
Aku lupa, hangatnya berada di pelukan Mamah dan Papah.
"Aku mau cerai!"
Suara Mamah kembali kudengar. Menunggu beberapa detik, aku tak juga mendengar jawaban Papah.
Satu hal lagi yang kutahu. Sebanyak apa pun permintaan cerai Mamah beberapa bulan ini, tidak akan pernah terkabul jika Papah tidak menjawabnya.
Tuhan? Sekarang Kau lihat? Takdirmu mencekikku.
Aku turun dari kasur, mengikat rambutku secara asal. Menuruni tangga, dan mendapati Mamah yang terisak di sofa depan TV, masih lengkap dengan setelan kerjanya. Papah sudah tidak kutemukan keberadaannya. Mungkin pergi ke club atau menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
Mamah menoleh saat mendengar suara gesekkan sandalku dengan lantai. Matanya sembab, dan herannya, aku tak merasa sedih.
Dia segera mengelap matanya kasar, lalu tersenyum ke arahku. "Udah makan siang, Mika?"
Kubalas senyumnya. Lalu aku menggeleng. "Baru mau makan."
Aku tak bertanya kenapa dia sudah pulang? Kenapa ia menangis atau pun dimana Papah? Aku sudah tidak pernah menanyakan hal yang sudah kutahu jawabannya. Aku tidak pernah menerapkan basa-basi, karena terlalu indah untuk ukuran keluargaku.
"Mamah boleh pergi kalau emang nggak kuat terus di sini." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.
Aku tidak bisa mengartikan tatapan Mamah. Satu hal yang kurasa benar, menjadi orang yang paling buruk diantara yang buruk, adalah sebuah kemewahan untukku.