SEMUA mata menatapku dengan tatapan beragam. Jika biasanya aku dengan senang hati mengabaikan, tetapi kali ini terasa berbeda. Mereka terang-terangan berbisik di hadapan. Atau berbincang cukup keras saat melewatiku. Telingaku juga cukup bagus untuk menangkap topik perbincangan mereka.
Orang tua Mika minggat. Kasihan, sih, ditinggal sendirian.
Seandainya dia itu normal kayak kita, gue mau aja nemenin dia. Tapi sayang, pergaulannya ngeri. Ngerusak masa depan.
Bayangi, deh, kalau bokap lo tiba-tiba pergi demi perempuan lain? Terus nyokap lo stres jadi ikutan pergi.
Gue nggak bisa bayangin, sekarang masih bisa napas, kalau sampai itu terjadi di keluarga gue.
Aku memejamkan mata serapat mungkin. Bolehkah aku berharap sekali saja, mataku tidak usah kembali terbuka setelah ini? Telingaku tuli sesaat untuk semua perbincangan mereka?
"Nggak usah didengerin. Ayok..." Amel dan Marsya menarik tanganku bersebalahan.
Aku melepaskan diri, lalu tersenyum untuk mereka berdua. "Gue nggak lagi sakit. Lebay banget, sih, lo berdua..."
Mereka mengendikkan bahu tak acuh, lalu berjalan beriringan bersamaku. Aku menyukai mereka yang bersikap biasa saja. Tidak mencoba untuk memberi nasehat dan segala bentuk belas kasih lainnya. Mereka berdua masih tetap memperlakukanku seperti Mika sebelumnya.
Kemarin, setelah kejadian di depan gerbang. Galang dan Radian. Aku menghubungi Marsya dan Amel. Mereka datang, mendengarkan semua ceritaku dan memutuskan untuk menginap. Aku bahkan masih ingat, kalimat pertama yang diucapkan Amel setelah ceritaku; "Lo, kan, emang Dewi Kesakitan. Jadi masalah begini doang, gue mah yakin nggak ada apa-apanya." Aku sangat tersentuh saat itu. Dan Marsya, dia mengatakan kalimat yang aku sendiri bahkan tidak menyangka akan keluar dari mulutnya; "Perempuan itu dilahirkan sangat istimewa, Mik. Karena lo nggak istimewa buat Papah dan Mamah, lo pasti istimewa buat orang lain. Yakin."
Dan aku mengerti sekarang, aku merasa istimewa saat berada di dekat mereka. Amel dan Marsya selalu bisa membuatku bersyukur bahkan dalam keadaan terburuk. Jangan ambil mereka, Tuhan. Jangan sakiti mereka. Biar aku saja. Aku sudah terbiasa, dan kurasa hati ini sudah tak mengapa Kau sakiti. Aku tidak akan mengeluh. Aku berjanji.
"Gue ke kelas dulu. Fisika, nih. Jadi siswa abadi gue kalau sampai nggak ikut kelas." Marsya tertawa kecil. Menggoyangkan bokongnya sebentar, sebelum berjalan menuju kelasnya.
Amel berdecak. "Ya Allah Marsya... b****g bapuk juga belagu."
Aku tertawa, diikuti Marsya yang berbalik badan menatap kami. Dia justru semakin mencondongkan bokongnya ke belakang, mengikuti goyangan Zaskia.
Aku dan Amel semakin tertawa kencang, saat melihat Radian beserta kelompoknya berjalan di depan Marsya. Marsya, langsung berdiri tegak dan berlari menuju kelasnya. Aku mendengar dia mengumpat dalam bahasa Sunda. Dia sangat lucu kalau sedang merasa malu.
Tatapan mata kami bertemu. Galang menatapku dalam, kenapa aku tidak pernah bisa lepas dari tatapan itu? Dia selalu mengunci mataku agar terus menatapnya, tetapi aku tetap tidak bisa membaca maksudnya. Aku beralih menatap Radian, ekspresi bersalahnya mudah sekali dibaca. Dia menatapku begitu sedih, matanya sayu.
Aku menoleh ke arah Amel, saat aku merasakan tangannya menggenggam milikku kuat. Aku mengangguk, berusaha memberitahunya kalau aku baik-baik saja. Amel dan Marsya juga sudah tahu mengenai kejadian di depan gerbang. Dan Marsya, justru dengan senangnya memberitahuku kalau Radian mengiriminya pesan. Tetapi sayang, hanya untuk menanyakan keadaanku. Dia, katanya marah denganku, tetapi tetap saja mau menginap dan berangkat sekolah bersama. Marsya sangat lucu untuk menjadi hiburanku.
Aku segera menarik tangan Amel untuk berjalan, begitu aku melihat Radian dan Galang mendekat ke arah kami. Aku tidak marah. Tidak ada alasan bagiku melakukan itu. Tetapi, aku butuh pelampiasan untuk semuanya. Aku malu dengan keadaanku. Mereka mengetahui semuanya di waktu yang sama sekali tidak tepat. Jadi, aku tidak salah, kan?
Sesampainya di kelas, aku meletakkan ranselku di atas meja. Kepalaku juga menumpu di atas ransel. Aku ingin memejamkan mata sejenak. Aku lupa bagaimana rasanya tertidur pulas dan bermimpi indah. Aku sudah tidak pernah merasakan lagi.
"Mika...."
Aku mendongakkan kepala, mendapati Arga, Ketua kelas sedang berdiri di dekat mejaku dan Amel. "Ya?"
"Lo dipanggil Bu Intan. Disuruh ke ruangannya."
Aku menoleh ke arah Amel, dia mengendikkan bahu. Kenapa Bu Intan memanggilku? Dia guru BK, itu berarti aku telah melakukan sesuatu yang salah? Amel mengangguk dan tersenyum, yang membuatku yakin kalau semuanya akan baik-baik saja. Maka, aku berdiri dan keluar dari kurungan meja dan kursi ini.
Aku menoleh, menatap tangan Arga yang berada di pundak kananku. Dia tersenyum tipis, "Semuanya baik-baik aja," ucapnya pelan, dan terdengar..., tulus?
Kepalaku mengangguk dan aku membalas senyumannya. "Thanks." Kemudian berjalan ke luar kelas.
Sepanjang koridor, aku mendengar perbincangan hangat mereka lagi. Aku bukanlah artis sekolah. Aku tidak mengikuti ekstrakulikuler apa pun. Aku hanya siswi yang datang ke sekolah, pulang dan begitu seterusnya. Tetapi sepertinya, beritaku menjadi topik panas saat ini. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa. Galang dan Radian? Mereka tidak mungkin sepengecut itu.
Aku terpekik kaget, dan secara refleks berhenti. Firman. Dia tiba-tiba sudah ada di hadapan. Batinku terus merutuki kebodohanku yang sejak tadi melamun. "Maaf," ucapku lirih.
Dia diam. Matanya menatapku sangat..., dingin. Tengkukku meremang, dan aku merasa takut saat aku memberanikan diri untuk balas menatapnya. Aku tidak sebodoh itu sebenarnya. Aku tahu Firman tidak menyukaiku. Sejak dulu, saat aku menjadi model untuk projek mereka. Tatapannya sudah menunjukkan betapa dia menilaiku sangat rendah. Tetapi sekarang, aku bisa merasakan kalau tatapannya lebih dari itu. Dia terlihat ingin memakanku hidup-hidup.
"Bahkan Alam pun seneng lihat lo menderita..." Dia mengatakan itu dan berlalu meninggalkanku yang mematung.
Alam?
Aku tersenyum. Bukan hanya Alam, bahkan Tuhan pun senang melihatku menderita. Mungkin, Firman tidak sedang dalam keadaan mood yang baik.
Semua guru sepertinya memiliki kubikel masing-masing. Mataku berputar, berusaha mencari nama Intan Hidayatulina. Sangat sulit memang, karena aku jarang sekali masuk ke sini. Aku tidak pernah membantu guru untuk membawa buku atau kertas ulangan ke kantor. Aku juga tidak pernah membelikan makanan atau minuman untuk mereka. Sudah kubilang, aku tidak pernah melakukan hal sebaik itu.
Setelah bertanya kepada salah satu guru lelaki di ujung pintu, di sinilah aku sekarang. Duduk di sebuah kursi berhadapan dengan guru cantik. Bu Intan ini masih gadis. Dan sebenarnya, dia lebih populer dengan sebutan Miss Intan.
"Mau cerita?" tanyanya sembari tersenyum.
Apa maksudnya? Kalau dia pikir aku membutuhkan semua ucapan motivasi dan terapi kalimatnya, dia salah. Aku tidak butuh itu semua. Aku tidak sesedih yang mereka pikir. Papah dan Mamah tidak sejahat itu sampai harus membuatku sedih. Iya, kan?
Aku baik-baik saja.
Ya, aku baik-baik saja.
Sebanyak apa aku harus mengatakan kalau aku baik-baik saja? Sebanyak apa yang kuperlukan agar mereka percaya kalu aku baik-baik saja? Agar mereka tidak bisa melihat betapa hatiku sudah tidak berbentuk. Betapa perasaan yang tidak bisa kujelaskan ini menumpuk dan siap meledak.
Aku baik-baik saja.
"Jangan takut. Saya nggak suka makan orang, kok."
Aku tersenyum kecil. Diikuti tetesan air mata. Kemudian yang bisa kudengar dan rasa, senyumku berubah menjadi tawa kecil. Aku butuh dia. Orang di depanku ini. Aku butuh Bu Intan seperti ini. Aku kembali tersenyum lebar, dan kurasakan pipiku diusap pelan oleh Bu Intan menggunakan tisu putih. Memangnya ada tisu berwarna lain? Aku tertawa dalam hati.
Bu Intan menggenggam tanganku. Dia mengucapkan kata-kata yang sulit kumengerti. Aku yakin sudah mengatakannya, kalau otakku ini kopong. Tetapi yang kupercaya, dia adalah orang pandai yang bisa membuat bibirku akhirnya bersuara. Aku bercerita tentang semuanya. Tentang apa pun yang kurasakan, kulihat, dan kuinginkan. Bibirku bercerita tanpa kumau.
Bersama Amel dan Marsya, aku tetap merasa kuat. Tetapi sekarang, entah bagaimana, tiba-tiba kepalaku tertunduk di meja yang menjadi batas kami. Aku sesenggukan, dan kepalaku terus diusap pelan oleh Bu Intan.
"Semuanya baik-baik saja. Itu sugesti yang harus kamu tekankan untuk diri kamu. Mika, ada saatnya hidup itu tidak pernah memihak. Alam juga ikut berkonspirasi untuk menghancurkan. Tapi percaya, itu justru akan semakin membuatmu menjadi kuat." Aku mendongak, saat tidak lagi kudengar suaranya. Ternyata dia sedang menatapku. "Di luar sana, ada orang yang pengin banget lihat kamu bahagia. Seperti Mika biasanya."
"Tapi saya cacat, kan, Bu? Orang-orang yang mau mendekati saya, itu hanya rasa kasihan. Dan saya benci itu."
Dia menggeleng. "Enggak. Siapa bilang semuanya seperti itu? Contohnya saya. Saya nggak pernah kasihan sama kamu. Malah saya nggak suka sama kamu. Kenapa kamu bisa secantik ini? Kenapa kamu bisa sekuat ini, Mika? Kenapa kamu bisa setegar ini? Kamu sendirian, lho, sekarang. Mamahmu pergi. Papahmu juga. Tapi kamu masih bertahan. Kamu kuat."
"Papah mungkin masih akan kembali ke rumah. Hanya raga. Karena jiwanya, aku sudah menganggapnya mati." Aku tersenyum simpul.
Bu Intan mengelus kepalaku dan mengangguk kecil. Dia berdiri dan menuntunku untuk keluar dari kantor. "Saya juga iri. Gimana bisa kamu bikin seorang Galang kalang kabut nyari saya jam sebelas malam."
Aku mendelik. Saat mulutku akan bersuara, Bu Intan sudah lebih dulu memotongnya. "Hadapi dunia, ya... Semangat!" Dia mengangkat kepalan tangan kanannya di udara.
Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum.
Galang lagi?!
Aku berjalan kembali menuju kelas. Saat melihat tembok putih di sebelah kiri, rasanya aku ingin menghantamkan kepalaku. Galang, Galang, dan Galang. Kenapa semua kehidupanku diputari oleh Galang? Kenapa dia selalu andil?!
.
.
.
.
MARSYA dan Amel duduk mengitariku. Tatapan mereka berdua sama-sama menuntut untuk diberi penjelasan atas apa yang kulakukan bersama Bu Intan tadi pagi. Amel, setelah aku kembali dari ruang Bu Intan, dia menodongku dengan berbagai pertanyaan. Tetapi aku terus mengatakan, aku akan menceritakannya saat jam istirahat kedua, sembari menunggu Marsya datang ke kelas kami. Maka, seperti inilah formasi yang mereka bentuk untuk mengintrogasiku.
Aku tertawa kecil, saat mata mereka semakin membesar, dan Marsya mencebikkan bibir penuhnya. "Oke, oke! I'll tell you. Listen...." Aku menarik napas sedalam yang kubisa, memenuhi setiap rongga paru-paru. Aku perlu melakukan ini untuk beberapa hari kedepan. "Dia berusaha hibur gue."
"Serius Mika?!"
Aku menutup kuping dengan kedua tangan. Suara Marsya ketika berteriak bukanlah teman yang baik untuk telingamu. Aku beri tahu. Dia menatapku garang, sedang Amel menjatuhkan kepalanya dramatis di atas meja. Mereka sebenarnya punya potensi besar untuk menjadi aktris. Aku yakin, dunia perfilman Indonesia akan membaik bersama mereka berdua. Kalau aku, aku mungkin layak menjadi seorang model. Model hanya perlu tubuh indah, kan?
"Galang ada dibalik semua ini." Aku kembali memulai. Mereka tidak akan menyerah memaksaku untuk bercerita, dan mereka memang harus tahu apa yang terjadi. Amel langsung mengangkat kepalanya dan menatapku dengan ekspresi kaget. Sedang Marsya, tatapannya itu seolah mengatakan; Gue, sih, udah menduga. "Radian juga pasti!" ucapku ketus untuk Marsya.
Dia mendengus. Mengucapkan kata ih aing sangat lirih. Apa arti kata itu sebenarnya? "Dengerin, ya. Kayaknya Radian nggak ada hubungannya, deh, sama Bu Intan.... Oke, jangan natap gue kayak gitu!"
"Gimana nggak? Lo tuh cuma mau pamer, kan? Kalau akhirnya, setelah hampir dua tahun atau bahkan lebih, lo bisa chating sama dia?" Amel mengoceh dan menjitak kepal Marsya.
Amel tadi pagi bercerita, kalau semalam, setelah bertanya tentang diriku, Marsya dan Radian masih tetap mengobrol lewat w******p. Dan aku juga tahu, betapa bahagianya Marsya hari ini. Tetapi dia berusaha menutupinya, mungkin merasa tidak pantas saat aku berada dalam keadaan seperti ini.
"Gue juga yakin, kok, kalau Radian nggak terlibat." Mereka berdua secara bersamaan menolehkan kepala ke arahku. Marsya mengangguk antusias dan tersenyum lebar. "Radian mudah dibaca. Sedangkan Galang? Gue bahkan nggak tahu dia sebenernya manusia atau siluman."
"Bener banget, Mik. Gue juga yakin Radian nggak ikutan." Marsya membuang pandangannya ke arah jendela untuk beberapa detik. Kemudian, "Aha! Pantes aja semalem, dia bilang lagi nungguin Galang. Apa itu maksudnya si Galang lagi melakukan misinya ketemu sama Bu Intan?"
Mungkin. Mereka berdua sudah seperti perangko. Tidak terpisahkan. Ah, aku jadi teringat Firman. Apa Marsya dan Amel perlu tahu soal Firman? Tidak, tidak. Kupikir itu tidak terlalu penting. Aku tidak bisa mengharap semua orang menyukaiku, kan?
"Jadi, sejauh apa chat lo sama Radian semalam?" Aku bertanya pada Marsya.
Dia gelagapan. Sesekali menggaruk tengkuknya, dan nyengir sembari menatapku dan Amel bergantian. "Ya gitu..."
"Oh gitu? Jadi gitu, Mik.. Dia nggak mau cerita. Ntar kalau ternyata tahu si Radian playboy tingkat Dewa, baru nangis ke kita," ucap Amel sinis.
Marsya mencolek dagu Amel, yang dibalas Amel dengan menoyor kepalanya. "Sensi amat sih, Bu..." Marsya menatap Amel, menggoda. "Sampai.... Dia nanya udah berapa lagu yang gue dengerin sebagai obat galau selama gue suka sama dia..."
"Hah?!" Aku dan Amel berteriak bersamaan.
Yang kutakutkan akhirnya terjadi. Marsya ini berbahaya. Dia tidak akan takut atau sekadar malu untuk mengakui perasaannya. Tuhan, sejauh apa pembahasan mereka semalam? Radian orang baik. Aku tahu itu. Tetapi demi Tuhan, dia lelaki normal. Orang ganteng mana yang terlahir tidak menjadi berengsek? Radian akan seenaknya memperlakukan Marsya kalau dia mengetahui sedalam apa Marsya menyukainya.
"Lo bilang semuanya?" tanyaku lirih.
Dia menggeleng lemah.
"Terus?!" Amel berteriak.
Aku menyenggol tubuh Amel. Ada beberapa anak di kelas, yang kuyakini tengah menatap kami saat ini.
"Nggak tahu. Dia tiba-tiba gitu..." Marsya menyipitkan mata, menatapku penuh curiga. "Jangan-jangan lo ya, Mik?"
Amel dengan segera menepis tangan Marsya yang menunjuk wajahku penuh drama. "Semua orang juga tahu kalau lihat kelakuan lo. Setiap ada Radian, tingkah lo udah kayak perawan di malam pertama tahu nggak..."
Marsya terkikik. "Cieee yang udah ngalamin."
Aku kembali tertawa. Mereka berdua ini ada-ada saja. Hidup Marsya memang penuh dengan drama. Sering datang ke club hanya untuk mengalihkan wajah Radian yang terus menjadi fantasi liarnya.
"Mika..."
Aku menoleh. Mendapati Liana, salah satu siswi di kelasku, sedang menunduk mengatur napasnya. "Kenapa? Lo kenapa ngos-ngosan gitu?"
Dia berdiri tegak. Menatap kami bertiga bergantian. Kenapa, sih? Jantungku sudah berdegup tidak sabaran. Jangan lagi. Hari ini cukup untuk porsinya, Tuhan. Kesakitan untuk hari ini cukup sampai di sini.
"Galang sama Firman berantem hebat..."