MELEMPARKAN ransel hitam ke atas kasur dengan asal, setelah aku berhasil mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus kertas putih. Aku memosisikan diri dengan duduk bersila di atas kasur, memandangi kotak itu. Kurobek bungkusnya sedikit kasar, karena aku sungguh penasaran. Coklat seperti apa yang diberikan oleh seorang Galang Pangarep. Dan aku tercengang.
Ya, dia mengatakan jika coklat yang Radian beri tadi pagi adalah darinya. Memang membingungkan, mengingat Galang bisa memberikannya langsung kepadaku. Bukan lewat Radian, yang aku pikir ini sungguh dari dirinya. Oh Radian.
Dengan santai Galang mengatakan kalau dia tidak berani mendekati putri cantik sepertiku. Betapa beraninya dia memuji? Pipiku langsung merona. Dan dia juga bilang, saat dia bersama Radian juga Firman, melihatku di tempat parkir, dia dipaksa oleh teman-temannya untuk langsung datang. Pantas saja, dia terlihat canggung. Aku kira karena rokku yang terlalu pendek.
Aku mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi kamera untuk memotret Coklat cantik ini. Sangat cantik. Bentuk hati tetapi dimasukkan ke dalam kotak, lalu dibungkus dengan kertas putih. Sama sekali tak tertebak isinya.
Aku baru tahu, kalau ternyata Galang sangat manis
Aku baru tahu, kalau ternyata Galang sangat manis. Tuhan, apa ini salah satu mainanMu lagi?
Aku segera mencari nama Radian di daftar kontakku. Sebelum pulang, Galang sempat memasukkan nomor pribadinya, Raidan, juga Firman. Dia bilang, mereka bertiga bisa menjadi Jagoan untuk melindungiku. Aku tertawa kecil, memangnya aku balita?
Mika: Lo bohong!
Mika: *sendpict
Aku menunggu beberapa menit, baru pesan balasan dari Radian masuk ke ponselku.
Radian: Siapa yang bohong sih cantij?
Radian: *Cantik-___- kirim pesan sama cewek cantik sampe gerogi gue ;)
Mika: Itu coklat dari Galang kan?!!!
Radian: Oppss! Iya. Bagus kan? Dia keliling Jakarta Selatan tuh buat nyari begituan doang.
Mika: Tapi kenapa?
Radian: Maksudnya?
Mika: Kenapa dia ngelakuin ini? Gue kira dia nggak kenal gue setelah projek itu. Di club juga dia cuek banget. -______________-
Radian: Lo mesti lebih pahamin lagi sifat cowok.
Mika: Maksudnya???????????
Mika: Taiikkkkkk. Nggak dibales
Aku menatap kembali coklat di hadapanku. Untuk memakannya saja, aku tidak tega. Nanti, setelah coklat ini habis, aku tidak bisa mengingat tentang Galang. Ya, sejak projek waktu itu, aku selalu penasaran bagaimana berbincang normal bersamanya. Apakah rasanya sama dengan Radian? Tetapi ternyata tidak. Mereka berbeda.
Dengan Radian, aku merasa nyaman dan lebih santai. Tetapi Galang, dia begitu membuatku tak nyaman. Takut kalau gerak tubuhku bahkan salah di matanya. Berlebihan.
Lo mesti lebih pahamin lagi sifat cowok.
Pesan terakhir Radian membuatku terus menerka. Sikap santai Galang, dan cenderung tak mengenalku, justru dengan tiba-tiba memberi coklat cantik dan mengantar pulang. Betapa membingungkan.
Aku segera mengetik sesuatu.
Mika: Thanks buat coklatnya.
Tidak. Aku segera menghapus emot memalukan itu dengan cepat. Apa yang harus kukirim?
Mika: Coklatnya cantik. Thanks.
Sedetik kemudian, ceklis dua itu berubah warna menjadi biru menyala.
Galang: Suka? Alhamdulilah
Galang: Selamat menikmati coklatnya
Mika: Iya..
Aku mengunci kembali layar ponsel, lalu meletakkannya di samping tempatku duduk. Menatap fokus pada coklat yang sekarang sudah kupangku. Aku menggigit satu, mengunyahnya perlahan. Tiba-tiba, bayangan Galang dengan rambut yang diikat menari di kepala. Aku tersenyum, saat mengingat bibir dan tangannya memberikan instruksi untukku.
"Bibirnya agak dibuka, dong... Iya, gitu. Oke. Ganti ekspresi.."
Hanya begitulah seorang Galang berbicara denganku. Tanpa menyebut nama atau pun mengatakan terima kasih. Tetapi, sekarang dia bisa berubah sangat drastis.
"Aku tahu kamu nggak kerja! Berhenti bohongin Mika dengan pergi dari rumah padahal kamu nggak ke mana-mana!"
Kali ini, jantungku sangat terkejut mendengar suara teriakan Mamah. Aku meraba d**a kiri, tepat di jantung. Apa dia kembali normal? Apa sekarang jantungku sudah kembali seperti biasa?
Aku menatap serius coklat yang masih kupangku. Dan senyum kecil terukir begitu saja. Dia mengubah aku dan jantungku.
"Aku nggak bisa lagi! Aku akan ceritain semuanya ke Mika.
Suara Mamah kembali terdengar. Cerita apa? Bukankah aku sudah tahu semuanya?
Tak lama kemudian, ada suara ketukkan di pintu. Aku mempersilakannya masuk, tanpa harus menyembunyikan semua benda yang ada di hadapanku.
Mamah.
Apa dia tadi berbicara di telepon?
Dia berjalan mendekat dengan tangan yang membekap mulut. Sesekali ia tersedak, karena mungkin menahan isakkannya. Lalu duduk di hadapanku. Aku bisa melihat mukanya yang kusut, mata sembab. Setelah beberapa bulan, aku baru bisa menatap wajah Ibuku sedekat ini.
Dia menggenggam tanganku. "Mikaaa.. Ma-mah.. Mamah nggak kuat lagi.." Dia menutup mulutnya kencang. "Mamah nggak bisa bertahan lagi..Mamah-"
"Mamah boleh pergi."
Dia diam. Genggamannya di tanganku terasa semakin kuat. "Kamu ikut Mamah?"
Aku menggeleng kaku. Aku tidak ingin pergi ke mana pun. Baik bersamanya mau pun bersama Papah. Aku hanya ingin berada di rumah ini. Dengan atau tanpa mereka. "Aku masih pengin lihat, Allah itu mau sampai mana nyiksa aku. Mamah boleh pergi."
Dia mengurung kedua pipiku, lalu menarikku ke dalam pelukannya. Dulu, aku sangat suka dengan posisi ini. Sekarang, aku tidak merasakan euforia apa pun.
"Mamah sayang kamu... Apa pun yang Mamah lakuin itu buat kamu. Mamah akan berjuang dulu, setelah semuanya berhasil, Mamah akan ajak kamu." Dia menatapku serius.
Aku hanya mengangguk lagi. Terserah. Aku tidak terlalu mengerti dengan apa yang kurasakan.
Aku terperanjat, saat mendengar langkah kaki seseorang. Papah. Dia sudah berdiri kaku di ambang pintu. Tatapannya tak tertebak. Dia menatapku dan Mamah bergantian.
"Mikaa.." lirihnya. "Dengerin Papah, semuanya.."
"Semuanya apa?!" Mamah berdiri dan turun dari ranjang, menghampiri Papah. "Kamu masih mau ngelak dari semuanya?! Masih mau bilang kalau kamu itu seorang Pilot padahal setiap keluar dari rumah kamu cuma ngabisin duit sama p*****r itu?!"
Aku menatap mereka berdua.
"Jangan pernah bilang dia p*****r, karena kamu nggak lebih baik dari dia!" Papah mencengkram bahu Mamah.
Mamah tergelak. "Perempuan yang bisanya menghancurkan keluarga orang lain, menghabiskan semua tabungan kamu dan membuat kamu kehilangan pekerjaan, dia lebih baik dari aku?"
"Tapi dia selalu tahu caranya membahagiakanku. Persetan Oliv! Jangan munafik.." Papah menatap Mamah geram, aku melihat kedua tanganya mengepal.
"Kamu berengsek! Lelaki kere tukang tipu dan selingkuh! Aku benci kamu."
"Cukup," ucapku lirih, menahan sesak yang menguasai d**a. Aku tidak memiliki tenaga. Sama sekali. "Tolong berhenti."
Mereka memandang ke arahku bersamaan. Mamah berjalan mendekat, tapi aku segera menahannya dengan gerakkan tangan. Papah pun berjalan ke arahku, tapi aku melakukan hal yang sama. "Jangan. Aku nggak kuat lagi. Aku tahu apa pun yang Papah lakuin. Jadi nggak perlu menjelaskan," aku menarik napas sejenak. "Mamah boleh pergi. Aku tahu, Mamah nggak punya cukup uang lagi untuk membiayaiku dan semuanya. Mamah boleh pergi."
"Mika," Mamah mencoba menginterupsiku.
Aku segera menggeleng. "Aku sudah besar. Terima kasih udah membesarkan Mika dengan sangat baik. Mamah boleh pergi."
Papah berjalan menghampiriku, dan kali ini aku membiarkannya. "Mika, Papah... Papah sayang Mika. Tapi Papah harus pergi.. Kamu ikut Mamah, ya?" Dia mengecup kepalaku, lalu berjalan meninggalkan kamar.
"Pergi dan jangan pernah balik lagi!" teriakan Mamah ikut mengantar kepergian Papah.
Sejak langkahnya meninggalkan pintu kamar, sejak saat itu aku menganggap dia sudah tidak ada. Papahku telah pergi. Bersama perempuan yang Mamah sebut p*****r itu.
Aku bukannya tidak mengenal perempuan itu. Beberapa kali dia sempat datang ke rumah. Dia cantik. Wajar saja Papah tergila-gila dan rela melakukan segala cara untuk berasamanya. Termasuk dengan melepasku.
"Mikaaaa, Mamah.."
"Aku ngerti, kok. Mamah nggak bisa bawa Mika pergi, kan? Aku akan cari kerja buat hidup. Mamah nggak usah cemas."
Mamah memelukku sangat erat. Erat sekali. Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku merasakan hangat pelukannya. Mamahku akan pergi. Dia akan menerima tawaran dari bosnya untuk pergi ke Papua. Tanpa diriku.
"Mamah sayang banget sama Mika. Mamah udah buatin tabungan. Dan ini ATM-nya.. PINnya bulan ditambah tahun lahir kamu. Mamah akan kirim uang kalau Mamah udah gajian," ucapnya, terburu-buru. Lalu dia melanjutkan, "Kamu datang aja ke rumah Tante Ira, ya.. Cuma dia saudara kita di sini.." Mamah menyodorkan sebuah kartu, dan aku menerimanya.
Dia ternyata sudah menyiapkan semuanya.
Semuanya.
Tuhan, sekarang Kau puas? Satu lagi takdirmu yang akan kujalani. Hidup tanpa kedua orang tuaku.
Aku tidak akan bunuh diri. Karena hal itu justru akan membuatMu senang, kan?