delapan

882 Kata
AKU mengambil mangkuk berukuran sedang, setelah air yang kurebus mendidih. Sejak Mamah pergi kemarin, tidak ada yang menyentuh dapur sama sekali. Jadi semuanya terlihat hambar, tak lagi sama. Aku berjalan ke ruang tengah, terdiam sejenak.... Galang dan Radian sedang menyebutkan nama Firman, mungkin mereka membahas apa yang sedang terjadi dengan sahabatnya itu. Entahlah.... Marsya memilih duduk di sofa single, menatap televisi yang menayangkan acara komedi. Amel duduk di sebalah Radian, sesekali ikut menimpali ucapan Galang atau pun Radian. Aku? Aku masih terpaku di sini... Memegang semangkuk air hangat dan handuk kecil. Apakah yang aku lakukan ini tidak berlebihan? Galang menghampiri ke kelas dan menyeretku melewati koridor, lapangan hingga ke dalam mobilnya. Membawaku pulang ke rumah. Saat aku bertanya kenapa, dia hanya mengatakan; "Lukaku butuh diobati." Aku tidak bertanya lagi, karena aku sedikit merasa bersalah. Mungkin memang benar, mereka berkelahi karena aku. Bukan besar kepala, aku justru sangat malu dan ingin memarahi Galang. Tetapi melihat luka diwajah dan tangannya, aku sedikit kasihan. Sedikit. Maka, di sinilah kami sekarang. Aku tidak tahu benar atau salah, tetapi kami berada di sini. Dan baru beberapa menit yang lalu, Radian, Marsya, dan Amel menyusul. Mereka bahkan tidak meminta izin kepada pihak sekolah. Semoga generasi setelah kami nanti tidak akan seberengsek ini. "Eh, Mika... Gue haus." Semua mata menatap ke arahku karena suara Amel. "Ambil ke belakang." "Oh gitu... Galang diambilin kita nggak? Fine, gue tandain lo," ucapnya sinis. "Mau nih air anget!" Aku menyodorkan mangkuk merah ke hadapannya. Dia tertawa kecil. Berdiri lalu berjalan ke dapur. Aku duduk di samping Galang, meletakkan mangkuk berisi air hangat di dekat kotak P3K di atas meja. Galang berbalik menghadapku.... Seketika, jantungku bergemuruh hebat... Aku pernah merasakan ini.... Dulu, saat kelas VII SMP, kakak kelas menembakku di depan banyak orang. Membuatku malu setengah mati. Aku tidak tahu, kalau ternyata rasanya jauh lebih hebat di usia yang semakin dewasa. Dia tersenyum tipis... "Marsya...." Aku menoleh ke arah Radian, dia sedang menatap Marsya rupanya. "Haus," ucapnya pelan. Nyaris merengek. Aku bergidik geli. Oh Tuhan. Aku ingin melihat ekspresi Marsya. "Minum, kan? Di belakang ada Amel, kok." Benar, kan? Terkadang, Marsya ini sangat tidak peka. Tetapi mengekspresikan diri tanpa tahu malu. Radian berdecak. Berdiri, kemudian mendekati Marsya. "Temenin ke belakang bentar. Weekend gue ajak nonton, deh." "Serius?" Aku tertawa melihat antusias di wajah Marsya. Jangankan diajak nonton, disapa Radian saja dia tidak bisa makan enak selama dua hari. "Udah lama banget nggak pernah lihat kamu ketawa kayak gini." Aku merinding, saat merasakan bisikan lembut di telingaku. Galang menempelkan wajahnya di samping wajahku. Aku bisa merasakan rambut gondrongnya di pipi. Sedikit geli, tapi aku tidak bisa berkutik. Kalau aku menoleh, maka bagian dari wajahku akan menyentuh miliknya.... Aku diam, jantungku terus berdegup, menambah kecepatan. "Katanya mau ngobatin?" Dia menarik wajahnya menjauh. Syukurlah. "Mereka udah nggak ada, kok. Kayaknya Marsya doang yang nggak peka, ya...." Senyuman lebar itu, aku tidak pernah melihat sebelumnya. Atau karena aku tidak mengenalnya selama ini? Aku mengangguk. Lalu mencelupkan handuk ke dalam air hangat, dan memerasnya. Matanya tidak lepas sedikitpun, mengunciku seperti biasa. Aku sampai bosan menjelaskan betapa aku terhanyut oleh tatapan itu. Dia meringis, ketika aku menempelkan handuk itu pada luka di bawah matanya. Sekeras apa Firman memukul lelaki ini? Tanganku bergetar, tiba-tiba dia menyentuh tanganku yang sedang berada di sudut bibirnya. Aku tahu luka ini yang paling parah. Darah keringnya sedikit sulit untuk dihilangkan. "Galang..." Aku berusaha sekuat mungkin agar suaraku terdengar normal, saat dia dengan beraninya mengecup bagian dalam tanganku. Dia tersenyum, "Ya?" Tangannya terulur ke sisi wajahku. Menyentuh pipi kanan yang aku yakin sudah memerah. "Ada jerawat satu." Dengan refleks, aku menyentuh bagian yang ia sentuh sebelumnya. Ya, disana, aku bisa merasakannya. "Kamu harus bahagia, Mika. Apa pun keadannya, kamu harus bahagia." Aku memilih untuk tidak merespons. Tetap mengelap beberapa luka di wajahnya. Kemudian beralih ke kepalan tangan. Dapat kekuatan dari mana tubuh kurusnya ini sampai bisa meninju keras wajah Firman? Aku tetap menunduk.... Salah tingkah, karena aku merasa seperti dia sedang menatapku sejak tadi. Atau aku saja yang terlalu besar kepala. Tetapi saat aku mendongak, hidungku bertemu dengan bibirnya. Jantungku berhenti sesaat, kemudian berdegup sangat kencang. Aku nyaris kewalahan. Segera menarik diri, dan aku memberanikan untuk menatapnya. "Berjanjilah, Mika. Selalu bahagia.... Panggil aku kapan pun kamu rasa perlu." Tidak. Aku tidak ingin melibatkan dia. Cukup hari ini. Lagi-lagi, aku mengabaikan kalimatnya, fokus pada obat merah yang kutuangkan di kapas. Lalu mengaplikasikan pada luka-luka itu. "Arghh..., pedih," gumamnya lirih. Dia mencekal tanganku. "Harusnya alkohol dulu, Mika.... Kamu sengaja?" Menepuk jidat adalah reaksi pertamaku. Ya Tuhan. Salahkan dia yang sejak tadi menganggu konsentrasiku. "Maaf." Aku tertawa kecil. Aku menatapnya lagi. Dan dia ikut tertawa! Berapa ekspresinya yang baru kuketahui hari ini? Mika yang malang. "Nggak apa-apa. Aku rela nggak sembuh-sembuh. Yang penting kamu ngobatin sambil senyum dan ketawa kayak tadi." Aku mencebikkan bibir. Dasar lelaki. Semua sama saja. Tukang gombal tapi tidak peka. Begitulah, aku memplagiat kata-kata Amel. "Udah woii!! Sesek gue dari tadi lihatnya!" Suara itu sangat mengejutkan, saat aku menoleh ke pemiliknya. Radian, Marsya, dan Amel sedang menyeringai puas, bersandar di dinding, menatapku. Kami maksudku. Aku melirik Galang dari sudut mata. Dia tertawa kecil, "Kalian juga mau lihat ini?" Kemudian dengan tiba-tiba menoleh ke arahku. Cup. Mataku melotot seperti kartun. Nyaris lepas bersama jantung dan suara teriakan mereka bertiga. Bibir lembutnya menempel sekilas di bibirku. Kiamat!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN