"Mam, aku pergi dulu ya. Janji sama Angel di butik," ucap Eliza, sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
"Iya, hati-hati ya sayang," balas Mama dengan lembut, mengusap kepala anak gadisnya yang manis.
"Bye, Ma! Bye, Pa!" Eliza melambaikan tangan dengan senyum lebar, bergegas menuju mobil sedan merahnya di garasi.
Eliza memiliki butik kecil di salah satu mal besar di Jakarta. Ia menjual pakaian hasil desain sendiri, dilengkapi beberapa koleksi impor dari berbagai negara. Dengan nama lengkap Eliza Ishana—nama yang berarti unik, berharga, dan kuat—Eliza adalah putri bungsu di keluarganya, memiliki dua kakak laki-laki yang sudah berkeluarga. Ia gadis mandiri dengan paras oriental, kulit putih bersih, dan wajah mungil yang selalu memikat.
Menyalakan mesin mobil, Eliza meluncur ke arah mal, ditemani alunan lagu Korea favoritnya.
Drrzzztt
Drrzzztt
"Hmm, iya beb?" Eliza menjawab panggilan dari Angel.
"Eliii, aku udah di depan butik nih!" seru Angel.
"Aduh, aku masih di jalan, sepuluh menit lagi, ya!" jawab Eliza cepat, menggunakan earphone.
"Oke beb! See you!"
Eliza akhirnya tiba di parkiran basemen. Ia langsung berlari menuju butiknya, terlambat dua puluh menit dari waktu yang ia janjikan. Sebenarnya, mereka berjanji bertemu jam dua belas siang, namun Angel datang lebih cepat. Pantas saja Eliza kaget saat ditelepon pukul setengah sebelas oleh Angel.
“Huft, nih anak cepat banget datangnya…” gumam Eliza sambil membalas chat yang baru masuk, tidak sadar dia berjalan tanpa memperhatikan sekitar.
Buggh.
“Aduh!” Eliza mengerang, refleks mengusap hidungnya yang terbentur. Saat mendongak, ia melihat seorang pria tampan mengenakan kacamata hitam dan kaos polo berdiri di depannya.
"Maaf, Om," ucap Eliza buru-buru sambil menunduk.
"Hmm, iya, gak masalah," sahut pria itu cuek. Tapi melihat tingkah lucu Eliza yang terus mengusap hidungnya yang memerah, pria itu jadi sedikit jahil.
“Kayaknya kamu yang kenapa-napa, tuh.”
“Hah?” Eliza kaget, mengangkat alis.
“Tuh, hidung kamu merah,” kata pria itu sambil menyentuh hidung Eliza.
“Oh, iya, hehehe. Gapapa kok, Om!” jawab Eliza salah tingkah. “Saya duluan, ya!” Ia pun berlari kecil ke butiknya.
“Gila… sempat gak normal jantung gue!” batinnya, memegang pipi yang terasa panas.
Akhirnya Eliza tiba di butik di lantai tiga gedung tersebut.
“Halo, Angel…” sapa Eliza sambil membuka pintu butik dan menyalakan lampu. Cahaya lampu utama dan neon box segera menghidupkan suasana butik kecil itu, dipenuhi aroma terapi yang menenangkan. Interior butik yang didominasi warna putih dan sentuhan kayu membuat tempat itu terasa hangat.
“Halo, Eli sayang!” balas Angel antusias, mengikutinya masuk ke butik.
Eliza dan Angel sudah bersahabat tiga tahun. Walaupun beda dua tingkat di kampus, kedekatan mereka tak terpisahkan.
“Mana desain barunya, beb?” tanya Angel penuh semangat, matanya berbinar melihat tumpukan pakaian baru.
Eliza segera menggelar karpet abu muda, mengajak Angel untuk duduk santai. Mereka larut melihat model-model pakaian yang baru datang, diselingi tawa cekikikan saat menemukan desain yang menurut mereka lucu atau terlalu seksi.
Tiba-tiba, terdengar suara dari pintu.
"Ehem..."
Eliza dan Angel sontak menoleh.
“Kak Kevin! Udah selesai kelilingnya?” seru Angel girang.
Kevin, yang disuruh masuk, malah menatap wanita di samping Angel—tak lain adalah Eliza.
“Ehh?” gumam Eliza dan Kevin bersamaan, saling menunjuk.
“Kalian kenal?” tanya Angel bingung.
Eliza buru-buru menjelaskan, “Eh, enggak, Njel! Aku gak sengaja nabrak om ini, terus hidungku kepentok. Gara-gara kamu chat terus, jadi aku gak lihat jalan!”
“Hahaha, pantas hidungmu merah kayak tomat!” tawa Angel pecah, perutnya sakit menahan geli.
Kevin hanya menggeleng melihat tingkah mereka berdua.
"Kenalan dulu deh. Kak, ini teman aku, Eliza. Eli, ini Kak Kevin, baru balik dari Singapura," jelas Angel.
Kevin dan Eliza saling berjabat tangan.
"Eliza."
"Kevin."
"Sama-sama kenal, Om Kevin. Maaf sekali lagi soal tadi," kata Eliza sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipit manisnya.
"Hmm, bisa nih..." gumam Kevin, menatapnya penuh arti.
“Yasudah, bungkusin belanjaan aku, beb. Aku mau jalan dulu sama Kakak tersayang,” kata Angel, memeluk Kevin dengan mesra.
Eliza mengemas pakaian pilihan Angel ke dalam paper bag butik. Setelah beres, Angel dan Kevin berpamitan.
Butik yang sepi membuat Eliza harus merapikan sendiri karena karyawan satu-satunya sedang sakit.
Tok tok tok.
Suara pintu kaca membuat Eliza berbalik.
“Kak Aldi!” Eliza terkejut melihat sosok di depannya.
“Hai, sayang…” Aldi menyapanya dengan senyum menggoda.
“Aduh, bikin kaget aja!” seru Eliza, tak menggubris panggilan mesra Aldi.
"Yuk makan siang," ajak Aldi santai.
“Wah, ternyata sudah jam satu, pantas saja cacing-cacing di perutku konser, Kak!” seru Eliza sambil cengengesan.
"Wait, aku siap-siap dulu.”
“Santai.”
Eliza mengambil tas dan handphonenya, lalu mengunci butik. Mereka pun melangkah santai menuju foodcourt di lantai atas, berbincang ringan sepanjang jalan.
Drrzzztt
Drrzzztt
Eliza melihat telepon masuk, lalu meminta izin untuk mengangkatnya.
"Halo... Kenapa, beb? Ke apartemen? Oke, bakal kubawain yang seksi, biar puas!" Ia tertawa kecil, menutup telepon.
Tidak jauh, Kevin yang kebetulan lewat mendengar percakapan itu. Matanya menyipit sinis, mengira Eliza sedang bicara tentang hal murahan. Di sisinya berdiri Aldi, sahabatnya yang merupakan pemilik salah satu klub malam.
Kevin hampir menghampiri Eliza, namun niatnya diurungkan. Ada kekecewaan di matanya, penuh penilaian yang salah arah.
Sementara itu, Eliza dan Aldi melanjutkan makan siang, tak menyadari bahwa anggapan salah Kevin bisa membawa kisah mereka ke arah yang tak terduga.