Siang itu, Sisi menata makanan di meja makan dengan begitu bersemangat. Bolak-balik dari dapur ke meja makan. Tanpa dia sadari jika dia sedang diperhatikan oleh Aisha.
Mata bocah mungil itu mengikuti gerakan Sisi. Tak berkedip sedikitpun. Memperhatikan Sisi dengan seksama. Tangannya berada di atas meja, menopang dagunya.
Setelah selesai, Sisi segera duduk di kursi samping Aisha. Dan langsung mengambil piring. Mengisinya dengan nasi. Sisi menoleh pada Aisha. "Ai mau makan apa?" tanyanya.
Aisha diam tidak menyahut. Bocah itu hanya mengendikkan bahunya sekilas, membuat Sisi tersenyum tipis. Sama seperti Daddynya. Jika ditawari makan.
"Ai mau sup sama ayam?" Sisi mengisi piring dengan nasi dan sup. Juga ayam goreng. Lalu menyodorkannya kepada Aisha.
Aisha terdiam. Anak itu malah memanyukan bibirnya. Membuat Sisi mengernyit. "Ai nggak mau makan?"
"Males," jawab Aisha.
"Kenapa?"
Aisha melirik Sisi dengan sudut matanya. Bibirnya masih cemberut. Bocah itu menyingkirkan piring dari hadapannya.
"Males makan sendiri."
Sisi menahan senyumnya."Ai mau disuapin Bunda?" tanyanya.
Aisha mengangguk pelan. Sisi tertawa kecil. Tanpa banyak kata, wanita itu menyendok nasi dan lauk dari piring Aisha. Kemudian menyuapkannya pada bocah mungil itu.
Sisi tersenyum. Dia tidak tahan untuk tidak mencubit pipi tembam Aisha. Dia sungguh gemas pada bocah itu. Aisha makan dengan lahap. Sisi senang karena Aisha mau makan dari tangannya. Sepertinya usahanya membuahkan hasil. Aisha sudah mau berdekatan dengannya. Bahkan minta disuapi saat makan.
Aisha menghentikan kunyahannya saat Sisi mengambil sebutir nasi yang menempel di sudut bibirnya. Bocah itu menatap Sisi lama.
Sisi tersenyum pada Aisha. Mengusap lembut rambutnya. "Maafin Bunda ya. Karena Bunda lalai jaga Ai kemarin, Ai hampir aja diculik. Bunda janji nggak akan kayak gitu lagi," ujarnya.
"Ai masih mau diantar jemput Bunda, kan?"
Aisha mengangguk cepat. "Mau kok," jawabnya.
Sisi tersenyum geli melihat wajah polos Aisha. Wanita itu kembali mencubit pipi Aisha dengan gemas.
"Wah.. wah... lagi pada makan siang ya ini?" suara Wanda terdengar dari arah belakang mereka.
Sisi tersenyum pada Wanda. "Iya, Ma. Lagi suapin Ai. Mama nggak makan?" ujarnya.
Wanda menggeleng. "Mama nunggu Papa kamu aja, Si. Katanya sih Papa mau makan di rumah. Sama Ali juga loh."
Sisi mengernyit. "Tumben, Ma?"
"Iya. Mereka meeting di deket sini. Terus katanya sekalian pulang aja. Mau makan di rumah sama kamu dan Aisha katanya."
Sisi langsung menunduk malu saat Wanda mengedip padanya.
Dadanya berdebar-debar mendengar ucapan mertuanya barusan. Benarkah yang dibilang Wanda itu? Apa Ali sungguh-sungguh pulang ke rumah karena ingin makan dengannya?
"Ciyee... yang malu-malu mau ketemu sama suaminya!" Wanda menyenggol lengan Sisi sembari mencolek dagu menantunya itu.
Sisi tersenyum malu. Terlihat jelas rona merah di wajahnya. Membuatnya terlihat semakin manis. Diam-diam Sisi memegangi dadanya yang berdebar tak karuan.
Tidak ada yang mengetahui perasaannya kini. Tidak ada yang tau seberapa cepat jantungnya memompa. Mengalirkan desir hangat ke sekujur tubuhnya. Gadis itu membatin, inikah yang disebut jatuh hati?
***
"Papa..." Sisi tersenyum begitu membuka pintu dan wajah mertuanya muncul.
Erik menepuk-nepuk bahu Sisi. "Papa makan di rumah ya, Si," ujarnya.
Sisi mengangguk. "Iya, Pa. Sisi udah siapin makan siang."
Pria itu tersenyum tipis. Kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian Sisi terhenyak saat Ali tiba-tiba muncul dari balik pintu mengagetkannya.
Ali mengernyit, heran melihat ekspresi Sisi yang seakan melihat hantu. Ali memandangi Sisi dengan kening berkerut. "Kenapa kamu?" tanyanya ketus.
Sisi menggeleng. Menunduk sembari memegangi dadanya yang berdebar-debar. "Nggak kok, Mas," lirihnya.
Ali tidak menjawab. Pria itu langsung berjalan masuk ke dalam rumah. Tanpa berniat menoleh lagi. Sisi menghela nafas panjang. "Lama-lama bisa jantungan aku kalau deket Mas Ali," gerutunya.
Wanita itu pun memutuskan untuk menyusul Ali ke dalam rumah setelah menutup pintu.
Sisi mengambilkan piring untuk Ali kemudian mengisinya dengan nasi. Kini dia sudah hafal porsi makan suaminya itu. Ali tidak pernah makan banyak. Hanya secukupnya saja. Dulu awal-awal menikah, Sisi kena omel pria itu.
Karena terlalu banyak mengambilkan nasi.
Dia tidak tau porsi makan Ali. Dia pikir semua pria makannya banyak. Seperti ayahnya kalau di rumah. Karena itu Sisi diomeli habis-habisan oleh Ali. Pria itu terpaksa menghabiskan nasi dua kali porsi biasanya.
Karena Ali memang tidak mau membuang nasi. Jadi terpaksa dia menghabiskan nasi yang diambilkan Sisi. Meski pria itu terus mengomel sepanjang dia makan.
"Mau lauk apa, Mas?" tanya Sisi.
Ali mengendikkan bahunya sekilas. "Terserah," jawabnya.
Sisi menghela nafas pelan. Tuh, kan. Sama kayak Aisha, batinnya.
Sisi mengambilkan lauk dan sayur dengan segera. Kemudian meletakkannya di hadapan Ali.
Ali mendelik melihat piringnya yang penuh. Pria itu menatap tajam Sisi. "Apa-apaan ini? Kenapa piring aku penuh gini? Kamu kira aku serakus itu? Bisa makan segini banyaknya?" protesnya.
Sisi mendesah panjang. Menoleh pada Ali dengan wajah datarnya. "Kan Mas Ali bilangnya terserah. Ya aku ambil aja semua lauknya," jawabnya acuh.
Wanda dan Erik sontak terkikik mendengar jawaban Sisi. Wanda sampai terpingkal-pingkal melihat ekpresi jengkel Ali.
"Makanya, Li. Kalau ditanyain itu jawabnya yang jelas. Jadi bukan salah Sisi kalau dia penuhin piring kamu!" ejeknya.
Ali mendengus. Menatap sebal kedua orang tuanya yang sengaja meledeknya dengan tatapan dan senyum miring mereka. Pria itu menarik piringnya mendekat. Dan makan dengan cepat.
Matanya menatap tajam Sisi. Tapi wanita itu berpura-pura tidak melihat. Sisi malah asyik menikmati makan siangnya sendiri.
***
Sisi yang sedang membaca buku sambil duduk santai di atas sofa, buru-buru berdiri saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Wanita itu bergegas turun dari sofa dan berjalan menuju pintu.
"Mama? Kenapa Ma?" tanyanya ketika melihat Wanda berdiri di depan pintu kamarnya.
"Kamu sibuk, Si?"
Sisi menggeleng cepat. "Nggak kok, Ma. Ada apa?"
"Kamu bisa belanja kan? Ada beberapa bahan dapur yang udah abis. Tadinya mau belanja sendiri, tapi tiba-tiba kepala Mama pusing," ujar Wanda.
"Bisa, Ma. Biar Sisi aja yang belanja. Sisi lagi nggak ada kerjaan kok."
Wanda mengulurkan selembar kertas berisi catatan barang yang harus dibeli Sisi. Dan sebuah kartu kredit berwarna gold. Sisi membacanya sebentar. "Ini aja, Ma?" tanyanya.
"Iya. Itu dulu aja, Si."
Sisi mengangguk. "Oke, Ma. Sisi berangkat sekarang," balasnya.
"Kamu berangkat sama siapa?" tanya Wanda.
"Sendiri aja, Ma."
"Minta temenin Ali dong. Dia kan udah ngga balik ke kantor lagi tuh!"
Sisi menggeleng cepat. Menolak usul Wanda. "Nggak usah, Ma. Sisi berangkat sendiri aja! Mas Ali lagi istirahat soalnya."
Wanda berdecak. Wanita itu menyingkirkan tubuh Sisi dari pintu. Kemudian memaksa masuk ke kamar Sisi. Wanda mendengus melihat Ali sedang tidur tengkurap di atas ranjang.
Digoyang-goyangkannya kaki Ali dengan kencang. "Li! Ali bangun! Li!" ujarnya berusaha membangunkan Ali.
Ali menggeram kesal karena merasa tidurnya terganggu. Pria itu membuka matanya dengan terpaksa. Melirik mamanya yang duduk di pinggir ranjang.
"Apaan sih, Ma?" gerutunya.
"Temenin Sisi belanja, gih! Kasihan tuh dia belanja sendiri!"
Ali berdecak. "Ngapain harus ditemenin sih? Dia kan udah gede. Tau dimana supermarket. Ngga bakal ada yang culik dia juga," balasnya ketus.
"Tapi nggak ada yang nganterin dia, Li! Pak Yoyok tadi nganter Papa balik ke kantor."
"Taksi diluar banyak, Ma. Nggak usah lebay deh!"
Sisi mendekati Wanda karena merasa tak enak hati pada Ali. Wanita itu menyela ucapan Wanda. "Udah, Ma. Biar Sisi pergi sendiri aja. Gapapa, kok. Biar Mas Ali istirah-"
Wanda mendelik pada Sisi. Membuat Sisi terdiam seketika. Wanita itu kembali menggoyang lengan Ali yang sudah akan kembali tidur.
"Li! Buruan deh! Bangun! Temenin istri kamu belanja!" sentaknya.
"Nggak ah. Males!" ujar Ali cuek. Namun sesaat kemudian pria itu meringis kesakitan.
Wanda menarik telinga Ali ke atas dengan gemas. Mau tak maupun Ali akhirnya bangun. Daripada telinganya nanti copot.
"Bangun! Anter istri kamu belanja! Awas kalo nggak! Mama hukum kamu nanti!" ancam Wanda pada putra tunggalnya itu.
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, wanita itu berjalan keluar dengan santainya. Sisi terbengong menatap Ali yang menggerutu lirih seraya mengusap-usap kupingnya.
Jadi si pria dingin itu bisa menurut juga ya, batinnya.
"Apa senyum-senyum!" bentak Ali pada Sisi yang menatapnya sambil tersenyum.
Sisi menggeleng pelan. "Nggak kok Mas," jawabnya lirih.
Wanita itu menunduk. Tak berani membalas tatapan tajam Ali. Sisi baru mendongak saat mendengar suara pintu kamar mandi tertutup. Wanita itu mendesah lega ketika tau Ali sudah berada di kamar mandi.
Ckck. Sepertinya semakin hari, suaminya itu semakin galak saja. Tapi anehnya dia semakin mencintainya. Ajaib bukan?
***
Ali mengambil satu buah kotak besar s**u rasa coklat. Matanya melirik ke kanan. Arah Sisi yang sedang memilih-milih sayuran. Pria itu tersenyum tipis. Berjalan menghampiri troli berisi barang belanjaan mereka.
Dimasukkannya sekotak besar s**u tadi ke dalam troli. Sisi menoleh, wanita itu mengernyit melihat Ali memasukkan s**u ke dalam troli belanjaan mereka.
"Loh, Mas. Itu kok ngambil s**u? Buat siapa? Susunya Aisha kan udah aku ambil tadi. Yang kaleng. Bukan s**u UHT," ujar Sisi.
Ali melengos. Pria itu memasang wajah malasnya mendengar ucapan sok tahu Sisi. "Yang mau beliin buat Aisha siapa?" ketusnya.
"Lah terus buat siapa? Memang Mas minum s**u?"
Ali menoleh dengan cepat. Matanya mendelik, menatap Sisi penuh dendam. Bukannya takut, Sisi malah terkikik geli. Entah kenapa melihat wajah kesal Ali, juga pelototannya, wanita itu justru merasa senang.
"Maaf, Mas. Habis Mas Ali tiba-tiba ngambil s**u. Padahal di rumah kan nggak ada yang minum s**u selain Aisha," ucap Sisi pada Ali.
Ali mendengus, berjalan menuju ke tempat sayuran di sebelah Sisi. Mengambil beberapa ikat bayam dari sana. Kemudian memasukkannya ke dalam troli.
"Itu s**u buat kamu," ucapnya lirih sembari mendorong troli. Melewati Sisi begitu saja.
Sisi ternganga. Wanita itu tidak mengerti akan maksud Ali. Karena itu, Sisi berjalan terburu-buru menyusul Ali yang sudah di depan bersama troli mereka.
Pria itu berhenti di bagian bumbu dapur. Ali menoleh pada Sisi. "Jadi beli kecap yang mana? Ini apa ini?"
Pria itu menunjukkan dua buah botol kecap yang sama besar, tapi berlainan merek.
Sisi memeriksa daftar belanjaannya sebentar. "Yang kanan Mas," jawabnya.
Tanpa banyak kata, Ali mengembalikan kecap yang dia pegang di tangan kiri ke tempatnya. Dan memasukkan kecap pilihan Sisi ke dalam troli.
Sisi berjalan mendekati Ali. Mengekor di belakangnya. Sementara pria itu memilih-milih snack.
"Mas..." panggil Sisi.
Ali menoleh sebentar. Kemudian kembali menelusuri rak makanan ringan disana, "Kenapa?" balasnya datar.
"Itu... tadi... susunya beneran buat aku?"
Ali menghela nafas berat. Menatap Sisi sambil geleng-geleng kepala. Dengan mulut pedas dan ketusnya, pria itu membalas pertanyaan Sisi.
"Iya. Emang buat kamu! Biar badan kamu nggak kurus, kering kerontang gitu. Nggak ada dagingnya sama sekali."
Sisi memanyunkan bibirnya. Suaminya ini selalu saja mengatainya. Mulutnya kalau bicara memang sangat pedas. "Biar kurus, yang penting sehat kan," gumamnya.
Ali tertawa mengejek. "Terlalu kurus juga nggak sehat kali!"
"Makan yang banyak! Minum s**u sama vitamin! Biar badan nggak gampang sakit! Di rumah ada tuh, vitamin."
Sisi menyipitkan matanya, menatap Ali curiga. Tumben pria itu menasehatinya. Biasanya yang keluar dari mulutnya kalau tidak omelan, gerutuan, makian juga teriakan.
Ali seperti tersadar jika menjadi pusat perhatian Sisi. Pria itu menoleh dengan mata melotot. Berniat menakut-nakuti Sisi. Namun wanita itu bukannya takut, malah terkikik geli.
"Kenapa?"
"Mas kok kayaknya perhatian ya sama aku?"
Ali mendelik. "Jangan ge-er ya! Aku bukannya perhatian. Cuma nggak enak aja liat badan kamu yang kayak papan itu. Bikin mata sakit!" sergahnya.
Sisi tersenyum geli. Wanita itu menggeleng pelan ketika Ali buruburu berjalan meninggalkannya. Dia tau tadi Ali tidak sungguhsungguh mengatainya seperti papan.
"Mas, tunggu! Kita belom ambil biskuit pesanan Mama! Mas! Mas Ali!" Sisi menghela nafas berat karena Ali tak mau mendengarkan perkataannya.
Dengan langkah pelan, Sisi berjalan menuju rak biskuit. Mengambil satu biskuit rasa madu dan dua biskuit lemon kesukaan mama mertuanya. Lalu bergegas menyusul Ali di kasir.
Sisi hampir terjungkal saat tanpa sengaja menyenggol sebuah troli belanjaan seseorang. Untung saja wanita itu sempat berpegangan pada salah satu rak. Jika tidak, dia pasti sudah menjadi bahan tontonan disana.
"Mbak gapapa?" seorang pria berjalan mendekati Sisi.
"Sisi?" ujar pria itu kaget.
Sisi menoleh. Rintihan yang sempat keluar dari bibirnya berganti dengan senyuman. "Mas Irwan?"
Pria itu membalas senyuman Sisi dengan senang hati. "Kamu disini juga?"
Sisi mengangguk. "Iya, Mas."
"Mas sendirian?" tanyanya.
"Sama Adikku. Tapi nggak tau deh sekarang dia kemana. Aku ditinggal gitu aja sama belanjaan dia. Mana lama banget lagi!" balas Irwan yang membuat Sisi terkikik geli.
"Biasalah, Mas. Cewek kalo belanja suka lama. Terus merembet kemana-mana."
Irwan ikut terkikik seraya menggaruk tengkuknya. "Iya juga sih," ujarnya.
"Oh iya. Kamu kesini sama siapa, Si?" lanjut Irwan.
"Sama suamiku, Mas."
"Aisha ikut juga?"
Sisi menggeleng. "Ai di rumah. Kami pergi berdua aja."
Irwan mengangguk-angguk. "Sekalian kencan ya, Si?" godanya.
Pipi Sisi bersemu merah. Wanita itu tersenyum malu. Ali menatap Sisi dan Irwan dari kejauhan. Pria itu mendengus kesal melihat istrinya berbincang akrab dengan seorang pria.
Bisa-bisanya Sisi asyik ngobrol sementara dia mencari mencarinya kemana-mana. Wajah merona juga senyum malu-malu Sisi membuatnya dongkol setengah mati.
Entah kenapa istrinya itu begitu mudah tersenyum saat berhadapan dengan orang lain. Namun malah bertingkah mengesalkan ketika bersamanya. Dengan wajah emosinya,
Ali bergegas menghampiri dua orang yang berbincang akrab tersebut. "Sisi!" serunya dengan nada tinggi.
Sisi yang tadi tertawa-tawa bersama Irwan sontak terdiam. Gadis itu menepuk dahinya pelan. Dia sampai lupa pada Ali karena terlalu asyik berbincang dengan Irwan.
Sisi meringis kecil melihat wajah garang Ali.
"Mas..." lirihnya.
Alamat kena omel lagi ini, batinnya.