13. Perhatian yang Tak Ada Habisnya

1452 Kata
“Kamu sudah pindah ke Yogyakarta? Sejak kapan, kok aku ketinggalan info?” ucap Levian lirih dan membiarkan tangan kirinya sibuk mengelus-elus punggung jemari tangan kiri Dini yang ia genggam. Di pangkuan Levian, Dini yang merasa sangat risi karena diperlakukan layaknya bayi, refleks mengerutkan kedua alisnya. Suara pria yang berasal dari ponsel Levian dan tengah menjadi lawan bicara Levian, penyebabnya. “Kok, suaranya Bagas temannya mas Levian, mirip dengan suara pak Bagas dosenku? Eh tapi ... dia di Yogyakarta, sementara pak Bagas dosenku, ada di Mampang Prapatan Jakarta Selatan,” batin Dini. “Kalau gitu, kamu bisa enggak kasih aku rekomen dosen di sekitar Jakarta Selatan. Aku butuh dosen yang tugas di universitas ... hah? Kamu sibuk banget ....” Bukan hanya Levian yang merasa, Bagas sengaja menghindari Levian. Sebab Dini yang menyimak, juga. Terlebih ketika Bagas juga sampai mematikan sambungan telepon secara sepihak. “Seorang Mas Levian kok ditolak gitu. Harusnya hanya aku yang boleh gitu ke Mas Levian. Apa jangan-jangan, Mas Levian ada salah ke Bagas temannya?” pikir Dini yang jadi terkejut gara-gara bibir Levian asal mendarat paksa di bibirnya. Dini refleks merengut sebal, tapi Levian yang kemudian menatapnya refleks tersenyum. Dini dapati, Levian tetap mengirimi kontak WA Bagas, pesan singkat. “Mas, tolong turunin aku. Walau seharian ini aku kuat gendong Anna, itu murni karena aku enggak mau menambah kesedihan Anna. Karena hanya dengan aku gendong, Anna akan merasa lebih baik. Badanku rasanya masih ngilu banget, Mas,” rengek Dini dan beberapa saat kemudian sukses membuat Levian ketar-ketir. Levian memeriksa paksa tubuh Dini. Tak peduli meski sang istri menolak dan sampai memarahinya, Levian tetap menyibak gamis Dini. Bukan hanya ‘jejak cinta’ darinya yang masih terlihat sangat jelas meski itu ia tinggalkan satu minggu lalu. Melainkan kenyataan tubuh Dini yang penuh lebam biru. “N—ni ... kok bisa gini? Parah banget ini Ni, lebamnya ....” Dini menyadari, suara sang suami berubah menjadi berat khas suara karena menahan tangis atau flu. Namun Dini tahu, Levian sedang tidak flu. Yang dengan kata lain, Levian memang sedang menahan tangis. “Mas Levian nangis karena lebam-lebam di tubuhku?” pikir Dini sambil menutup kembali tubuhnya menggunakan gamisnya yang Levian sibak hingga punggungnya. Dini yang masih meringkuk, diam-diam melirik sang suami. Levian langsung sibuk dengan ponsel san tampaknya sedang menelepon seseorang. Tadi, Levian yang membuatnya dalam posisi meringkuk, dan lagi-lagi secara paksa karena Dini terus memberontak. Dini terlalu malu membiarkan Levian melihat tubuhnya tanpa busana, walau sebelumnya mereka pernah melakukan hubungan panas. Sekitar dua jam kemudian, Dini dibuat menangis akibat urut yang dijalaninya. Di sofa lipat sebelah ranjang rawat Anna, Dini menjalaninya setelah sang suami dengan cekatan memanggilkannya tukang urut khusus. “Makasih Sus.” Dari sebelah dan hanya dipisahkan oleh tirai tebal berwarna biru, suara Levian terdengar. Seorang suster baru saja mengganti infus Anna selain Anna yang terbangun karena haus. Namun karena Dini sedang diinfus, jadi Levian yang mengurus Anna. Kini, Levian yang mengemban Anna di depan d**a kanannya, justru membawanya untuk menyaksikan jalannya urut Arini. “Parah banget yah, Bu?” tanya Levian kepada tukang urut yang menangani Dini, dan memang seorang wanita paruh baya. “Enggak bisa berkata-kata. Ini lebam semua. Kok bisa nggelundung di anak tangga sih Neng? Lain kali hati-hati ya. Ini besok pasti masih sakit. Kalau bisa, coba berendam pakai rempah biar lebih rileks. Badan kamu kelihatan capek banget,” ucap ibu-ibu tukang urutnya. Dini memang terpaksa berbohong mengenai penyebab tubuhnya lebam parah. Dini mengaku jatuh menggelinding di anak tangga. Padahal pada kenyataannya, itu ulah amukan Leon. “Kurang a j a r emang si Leon. Awas saja nanti!” batin Levian akan selalu emosi di setiap ia melihat lebam-lebam di tubuh di tubuh Dini. “Papa, Mama, tatit?” tanya Anna mulai kembali terkantuk-kantuk. Mendengar pertanyaan sang putri, Levian langsung mengangguk-angguk. “Iya, Mama sakit. Makanya sekarang Anna bobo lagi, ya. Biar Papa bisa jaga sekaligus urus Mama. Biar mama cepat sembuh, habis itu kita jalan-jalan,” bujuk Levian kepada sang putri. Anna langsung mengangguk-angguk paham. Anna mau tidur sesuai arahan sang papa, agar papanya bisa menjaga Dini. Hingga Dini juga jadi lebih cepat sembuh. Namun sebelum Anna benar-benar melakukannya, Anna ingin m e n c i um pipi Dini. Bersamaan dengan itu, Levian juga melakukan hal yang sama di kepala Dini yang tak lagi ditutup pashmina. “Ini apaan sih ... jadi mendadak melow gara-gara perlakuan mereka. Berasa keluarga bahagia yang sesungguhnya,” batin Dini berkaca-kaca tapi sengaja menyembunyikannya. Tiba-tiba saja Levian ingat, bahwa di malam pertama Dini dan Leon, Leon sempat melempar Dini. Kepala Dini mengenai terali tangga. “Bu, nanti tolong sekalian cek kepala istri saya, ya!” Walau sudah memberi titah, Levian juga memastikannya kepada Dini. Dini yang jadi makin nelangsa akibat perhatian Levian, berangsur mengangguk-angguk. Ia tak kuasa bersuara. Sebab andai ia melakukanya, yang ada tangisnya pasti pecah. “Mas Levian beda banget sama Leon. Dari cara pikir, tanggung jawab, sikapnya ke aku juga. Jujur, Mas Levian jauh lebih perhatian. Mas Levian jauh lebih dewasa. Lebih romantis juga,” batin Dini yang tiba-tiba saja memiliki penilaian berbeda kepada sang suami. Pria yang awalnya Dini kenal sebagai pribadi dingin tak tersentuh, dan mendadak menjadi monster semenjak Levian mengajaknya menikah. Kini menjelma menjadi suami perhatian berhati hangat. Suami sangat perhatian yang juga sangat romantis. Keromantisan yang dikuatkan dengan perhatian Levian yang tak ada usainya. “Bisa? Sudah lepas semua saja pakaiannya!” sergah Levian di keesokan harinya. Di siang menjelang sore, tak lama setelah mereka sampai rumah orang tua Levian. Tepatnya, mereka tengah di kamar mandi kamar rahasia dalam kamar Anna. Di sana, Levian menyiapkan air rendaman untuk Dini. Sesuai anjuran tukang urutnya, Levian akan membuat Dini berendam air hangat dengan rempah khusus. Agar tubuh Dini rileks, dan tentunya, agar Dini segera sembuh. “Mas keluar dulu lah ... iya, aku janji akan berendam,” ucap Dini tetap tidak mau melepas pakaiannya di hadapan Levian. Levian menghela napas dalam. “Sudah, buka saja. Aku berhak lihat semuanya. Itu milikku, loh!” “Malu, Mas ... aku masih malu ke Mas!” yakin Dini. “Ya ampun ngapain malu?” balas Levian. “Mas mau aku berendam enggak?” Dini yang sadar Levian ingin tetap menjaganya, memberi Levian pilihan. Ia meminta Levian keluar lebih dulu selagi ia melepas pakaian. Barulah setelah Dini masuk ke bak rendam, Levian boleh masuk lagi. “Ribet bener kamu Din ... Din. Aku intip loh!” “Masss, ih ...!” “Iya ... iya! Kalau ada apa-apa, langsung panggil!” “Memangnya ada apa, Mas? Enggak ada cecak, kan?” “Jangankan cecak, buaya saja banyak!” “Buayanya Mas!” “Hahahahaha!” Sekitar sepuluh menit kemudian, Levian sudah menemani Dini berendam. “Aku buka baju terus masuk, ya?” rengek Levian. “Ihh ... jangan. Enggak boleh!” balas Dini ketakutan. “Kenapa? Halal ... ibadah!” sergah Levian. “Mas ...,” rengek Dini antara takut, tapi juga malu. Kendati terus Dini tahan, Levian tetap mengabsen wajah Dini menggunakan kecupan searah jarum jam. Dini refleks diam membeku sambil menunduk karena terlalu malu sekaligus takut. “Mas ... berarti aku pelakor, ya?” tanya Dini yang sungguh sangat ingin mengatakannya, seiring perhatian dari Levian yang tak pernah ada akhirnya. Dini merasa bersalah kepada Arina istri pertama Levian. Meski pada kenyataannya justru Arina yang sudah membuang Dini. “Kenapa kamu bertanya begitu?” sergah Levian lirih, tapi serius, sesaat setelah ia refleks menelan salivanya akibat pertanyaan yang ia terima dari Dini. “Karena yang aku tahu, Mas masih suami kak Arina,” lirih Dini masih belum sepenuh ya berani menatap Levian. Levian yang masih mengungkung Dini, berangsur menghela napas. “Aku sudah menceraikannya. Satu bulan lalu semuanya sudah selesai,” ucapnya yang kemudian menunggu kedua mata Dini untuk menatapnya. “Kamu bukan pelakor. Kamu istriku. Istriku yang paling ribet. Diajak romantis saja susah banget!” ucap Levian yang jadi tertawa geli. Tawa yang menjadi makin awet karena Dini justru cemberut. “Besok setelah aku pulang kerja, kita ke rumah dosenmu,” sergah Levian yang kemudian melepas ikat pinggangnya. “I–ini, Mas mau ngapain?” sergah Dini ketakutan dan siap-siap keluar dari bak rendam. Tangan kanannya sudah meraih tumpukan handuk di sebelahnya. Tanggapan panik Dini, membuat Levian sibuk menahan tawa. Ekspresi yang benar-benar lucu, tanpa dibuat-buat. Antara malu, tapi juga takut. “Aku ini suami kamu. Enggak ada salahnya kalau kita berendam bareng!” ucap Levian masih sibuk senyum memandangi Dini. “Enggak, Mas. Aku beneran belum siap!” histeris Dini. Satu hal yang membuat Dini lega. Bahwa dirinya bukan orang ketiga apalagi pelakor dalam rumah tangga Levian dan Arina. Karena ternyata, keduanya sudah bercerai. “Syukurlah ... alhamdullilah!” batin Dini makin sebal kepada Levian yang jadi hobi meledek sekaligus jail kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN