Ciuman Pertama

1209 Kata
Tok... tok... tok... Shabira mengetuk pintu sebuah rumah berlantai satu, rumah yang cukup astetik untuk dia tinggali nantinya. Akan tetapi, tidak ada orang yang membukakan pintu untuknya. Dia pun mencoba untuk mengetuk pintu itu kembali lantaran tidak ada bel yang tersedia di dekat pintu. Tok... tok... Baru kembali mengetuk dua kali, pintu itu sudah dibuka oleh seorang pemuda yang berpenampilan kucel dengan kaos oblong dan celana pendek berikut dengan rambutnya yang acak-acakan. Baik Shabira maupun pemuda itu langsung mematung begitu netra di antara mereka saling bertemu. Untuk sesaat, keduanya saling memandangi keseluruhan penampilan mereka masing-masing dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Maaf, apa saya salah rumah?” Shabira mengeluarkan suaranya duluan dengan canggung. “Memangnya mbak cari alamat siapa?” “Alamat rumahnya Ibu Tantri.” “Berarti mbak tidak salah alamat, karena rumah ini memang rumah ibu Tantri.” “Loh? ibu Tantrinya mana?" "Beliau ada di rumahnya, di Bandung." "Lalu, kamu— siapa?” “Saya keponakannya ibu Tantri, Radit.” Pemuda itu langsung mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan dirinya. Sikap yang pemuda itu tunjukkan membuat Shabira merasa tidak nyaman. Dia pun hanya membalas perkenalan itu dengan senyuman sambil memberitahu namanya. “Shabira.” “Oh, jadi mbak yang namanya Shabira?” “I-iya.” “Tante Tantri memang sudah memberitahu saya kalau akan ada orang yang menyewa rumahnya. Tapi, berhubung saya masih membutuhkan tempat tinggal di dekat kampus saya jadi...” Radit menahan kalimatnya cukup lama. Lalu, tiba-tiba saja dia menundukkan hampir setengah tubuhnya di hadapan Shabira sambil memohon sesuatu. “Saya mohon, mbak Shabira sekiranya bersedia untuk menampung saya selama satu bulan untuk tinggal di sini. Karena saya benar-benar tidak punya uang untuk menyewa tempat kos. Jangankan untuk menyewa tempat kos, untuk makan saja susah. Jadi, saya mohooon sekali kebaikan hati mbak Shabira yang mau membantu saya. Demi proses kelancaran pembuatan skripsi saya yang sudah bab 3. Saya mohon!” Mendengar kalimat sepanjang itu yang diucapkan dengan begitu cepat dan lancar membuat Shabira termangu seketika. Dia yakin 99% kalau pemuda itu sudah menyusun kalimat itu sebelum bertemu dengannya. “Bu-bukannya saya tidak mau menampung kamu, tapi saya... saya ini...” “Perempuan? Itu masalah utamanya?” Radit langsung menerkanya dengan cepat. Shabira pun terdiam tanpa mengiyakan terkaan pemuda itu. “Mbak, saya tidak akan berbuat macam-macam sama mbak Shabira. Saya akan menjaga privasi kita masing-masing dan saya berjanji kalau saya tidak akan merepotkan atau pun mengganggu mbak Shabira. Saya janji!” Radit pastikan itu untuk meyakinkan Shabira. “Gimana ya?” Shabira tetap meragu. “Hanya satu bulan, mbak. Waktu akan cepat berlalu dengan kesibukan kita masing-masing nantinya.” “I—iya sudah.” Shabira terpaksa menerima permohonan itu. Radit langsung merasa lega bukan main begitu Shabira bersedia untuk menampungnya sampai satu bulan ke depan. “Ayo, mbak Shabira. Silahkan masuk! Anggap saja rumah ini sebagai rumah mbak sendiri.” Kata Radit mencoba basa-basi pada teman serumahnya itu demi keakraban mereka. Sebagai orang yang hanya numpang, Radit pun sadar diri dengan membantu membawakan semua tas yang dibawa oleh Shabira. Tak hanya itu, Radit juga menunjukkan semua ruangan yang ada di rumah itu termasuk kamar yang akan Shabira tiduri. Shabira pun merasa tidak masalah dengan keberadaan Radit kalau melihat cara Radit mengakrabkan diri kepadanya. Dia justru merasa aman dengan keberadaan pemuda itu, lantaran dia baru menginjakan kakinya di ibu kota setelah meninggalkan kampung halamannya yang sangat jauh dari tempat tinggalnya yang sekarang. ** Keesokan paginya, saat Shabira baru keluar dari kamarnya, dia langsung dibuat tercengang dengan keadaan ruang tv yang sangat kacau akibat ulah Radit yang habis begadang semalaman karena mengerjakan tugas akhir studi S1-nya. Shabira benar-benar tidak habis pikir dengan pemuda itu yang super berantakan. Berbanding terbalik dengannua yang sangat rapi. Karena merasa tidak tega untuk membangunkan Radit yang terlelap dan tampak kelelahan, Shabira pun berinisiatif sendiri merapikan semua kertas-kertas yang berantakan serta minuman dan bungkus cemilan yang mengotori lantai. Shabira hanya bisa mendengus kesal tanpa bisa protes. Alhasil, gara-gara harus membersihkan rumah yang bukan perbuatannya, Sabira jadi kesiangan berangkat ke tempat kerjanya. Tapi, sebelum berangkat bekerja, Shabira lebih dulu menulis pesan singkat yang dia tempelkan di meja dekat laptop Radit. Di hari pertama Shabira bekerja sebagai petugas meja informasi di sebuah gedung perkantoran, dia harus mengalami berbagai masalah. Mulai dari masalah komunikasi yang masih berlogat dari kampung halamannya di kota Malang, masalah adaptasi dengan teman satu pekerjaan, dan masalah lainnya dengan para pengunjung gedung lantaran dia masih belum hafal sepenuhnya mengenai semua isi gedung perkantoran itu, sedangkan dia adalah petugas informasi. Akhirnya, di hari pertamanya bekerja Shabira sudah langsung mendapatkan surat peringatan dari bosnya. Sepulang dari bekerja, Shabira merasa sangat kelelahan usai ditimpa berbagai masalah. Dia pun memutuskan untuk langsung pulang ke rumah setelah belanja beberapa kebutuhannya di mini market dekat tempat tinggalnya. Namun, kesialan kembali datang padanya saat dirinya sedang berjalan dengan sedikit tertatih karena kakinya lecet akibat sepatu heels yang dikenakannya, tiba-tiba saja seseorang berlari dan menyenggolnya cukup kencang hingga membuatnya langsung terjatuh di atas aspal dalam posisi setengah tersungkur. Merasakan semua kesulitan selama seharian ini membuat Shabira ingin sekali menangis. Apalagi heels sepatunya patah, sedangkan dia belum punya uang untuk membeli sepatu yang baru. Tanpa bisa mengeluh bahkan untuk mengeluarkan suaranya sedikit pun, Shabira hanya bisa diam dan melanjutkan perjalanannya sampai ke rumah. Tepat saat Shabira tiba di depan pagar rumah, Radit juga baru saja pulang. Ternyata mereka pulang lewat jalan yang berbeda. “Kakinya kenapa, mbak?” Radit bertanya sambil melirik ke arah sepatu Shabira saat dia membuka pintu pagar rumah. “Tidak apa-apa.” Shabira menjawab lemas. “Sepertinya heels­­ sepatunya patah ya, mbak?” “Iya.” “Biar saya bantu perbaiki nanti.” “Tidak usah.” Radit pun langsung menarik nafas panjang dan diam saat menyadari Shabira tampak sangat kelelahan sekali. Dia pun segera membuka pintu rumah. Tetapi... Rasanya, Shabira ingin mati saja setelah mengalami kesulitan hebat selama seharian ini dan sepulang dari bekerja yang semula dia berniat ingin beristirahat di rumah, tapi ternyata penampakan isi rumah kembali berantakan. Tubuh Shabira semakin lemas seketika. Saat itu juga Radit langsung bergerak cepat untuk merapikan seluruh isi rumah yang sangat berantakan akibat ulahnya. Setelah selesai merapikannya, dia langsung menebus kesalahannya dengan membuatkan minuman hangat untuk Shabira. “Mbak Shabira, diminum dulu tehnya mumpung masih hangat.” Radit memberikan minuman yang baru saja dia buat. “Maaf, Radit. Tapi percuma saja kamu membujuk saya dengan minuman itu, karena saya akan tetap meminta kamu untuk segera keluar dari rumah ini besok pagi!” Radit panik dengan keputusan Shabira yang tampak serius. Bersamaan dengan itu, terdengar suara bel berbunyi dari tamu yang datang di tengah malam saat ini. Kedua mata mereka langsung tertuju ke arah pintu utama rumah. Radit pun segera berjalan menuju pintu untuk membukanya, tapi sebelumnya dia melihat lebih dulu siapa tamu yang datang melalui jendela rumah. Begitu mengetahui kalau yang datang adalah Kanaya, Radit langsung mengurungkan niatnya. Shabira tentu penasaran dengan gerak-gerik Radit yang terlihat seperti menghindari tamu tersebut. Rasa penasarannya membawa Shabira ikut melihat orang itu. Tapi, saat Shabira ingin melihat orang itu melalui jendela, dia malah melihat ada cicak di tirai dekat tangannya. Reflek saja mulut Shabira ingin berteriak, tapi dengan cepat Radit langsung menutup mulut Shabira dengan ciuman bibir yang spontanitas langsung dia tautkan di bibir Shabira, sebelum wanita itu mengeluarkan suara teriakkannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN