“Umi nggak papa, kamu nggak perlu ngerasa nggak enak.”
Gina memeluk uminya erat “Aku suka nggak betah.”
“Menikah itu nggak mudah, selalu saja ada batu yang dihadapi. Kamu sudah jadi istri dan akan jadi ibu harus bisa menekan ego, nurut sama suami. Umi sama abi nggak papa kalau kamu nggak ke rumah, penting rumah tangga kalian bahagia. Fierly mungkin sungkan sama umi dan abi, sebagai suami dia bertanggung jawab atas hidupmu, bisa jadi dia sungkan belum bisa menyenangkan kamu.”
Gina mendengarkan kata demi kata yang disampaikan uminya, terkadang beberapa kali berpikir sama seperti uminya, pikiran itu semakin sering sejak tahu alasan sebenarnya pindah tinggal di rumah mertuanya.
“Kamu harus nurut sama mertua, bantu disana jangan hanya diam.”
“Nggak boleh ngapa-ngapain, mi. Aku cuman bersihin kamar aja, kamar mandi nggak boleh biasanya mbak yang bersihin kamar mandi.” Gina menceritakan keadaannya di rumah mertuanya.
“Kamu harus bersyukur punya mertua yang sayang, umi dulu yang ada kaya musuh.”
“Aku kasih tahu abi loh,” goda Gina sambil tersenyum “Kadang pengen ngerasin kaya gitu, tapi nggak bisa. Ibu baik banget, aku mau apa langsung diturutin malah jadinya sungkan. Mas Fierly sih bilang dibawa santai aja, tapi ya tetap ada satu waktu nggak enak juga”
Kedatangan ke rumah orang tuanya karena Gina merengek pada Fierly, merindukan orang tuanya dan ingin bertemu. Fierly memberi ijin mengunjungi orang tuanya tapi tidak dengan tidur di rumah orang tuanya, diantarkan dan selanjutnya pergi mengurus pekerjaan dengan temannya. Gina tidak tahu teman yang mana kali ini, banyaknya teman membuat Gina akhirnya menyerah untuk mengenal teman-temannya.
“Jenis kelaminnya apa?” suara umi membuyarkan lamunan Gina.
“Cewek, mi. Ibu lagi siap-siap pengajian tujuh bulanan. Umi sama abi datang ya?”
“Pasti itu masa anak umi tujuh bulanan nggak datang, kalau butuh bantuan langsung hubungi aja. Adik dan masmu bisa diandalkan itu, daripada di rumah bikin pusing.”
Gina penasaran dengan kondisi rumah setelah dirinya keluar dari sini, uminya menceritakan lengkap tanpa ada yang ditutupi, beberapa kali tertawa saat mencertiakan pusingnya mengurus dua anak laki-laki dan satu anak perempuan remaja. Padahal selama masih ada Gina dan kakak perempuannya tidak pernah mendengar umi mengelus dadanya.
“Perasaan umi dulu ada aku sama Mbak Erlin nggak begini-begini amat.” Gina mengatakan apa yang ada dalam pikirannya.
“Kalian berdua itu nggak banyak pola, masmu sebenarnya nurut sih. Adikmu dua itu yang bikin umi tiap saat spot jantung.”
“Umi aja yang sudah tua,” goda Gina yang mendapatkan pukulan ringan dari uminya.
“Kamu makan dulu, keburu nanti dijemput Fierly.”
Menatap hidangan yang ada diatas meja, seketika perutnya bunyi kembali dan air liurnya keluar. Mengambil piring dan langsung menikmatinya, masakan umi dan mbok memang tidak ada duanya, suatu saat akan belajar untuk Fierly dan anak-anaknya nanti.
“Kamu harus belajar ilmu parenting, didik anak jaman dulu dan sekarang itu beda. Anak itu juga punya kemampuan dan perlakuan yang berbeda, jadi kita sebagai ibu harus tahu dengan karakter anak. Jangan memanjakan salah satu, harus adil biar nggak merasa iri antara anak satu dan lain.”
“Umi memang gitu?” Gina menatap sekilas kearah uminya yang lagi-lagi memberikan nasehat.
“Ya, pelan-pelan belajar. Semua itu dipelajari, autodidak karena nggak ada sekolah dan jam pelajarannya. Waktu kita habiskan dengan belajar, menikah itu sudah siap dengan semuanya, anak belajar pertama kali dari orang tuanya terutama ibu.”
“Panjang benar nasehatnya, mi. Aku pulang dari sini bisa langsung pintar, Mas Fierly nanti kaget lihat perubahanku....aaww...sakit, mi.” Gina menatap tidak percaya ketika mendapatkan cubitan di lengan “Mi, kata lembaga perlindungan anak nggak boleh melakukan kekerasan.”
“Umi bantuin apa di acara tujuh bulanan?”
“Nggak usah, semua sudah disiapkan sama ibu. Kayaknya jadi satu sama pengajian kehamilan Mbak Winda, ibu bilang gitu sih.” Gina mencoba mengingat pembicaraan terakhir mereka.
“Umi benar-benar senang kamu dapat mertua yang baik.”
Gina hanya tersenyum tipis mendengarnya, tidak ingin menceritakan sesuatu dan membiarkan semua sesuai dengan tampak dari luar. Kecurigaan semakin jelas, mungkin tinggal menunggu bom waktu untuk bisa keluar dari rumah orang tua Fierly. Gina membutuhkan kenyamanan, hal yang tidak didapat saat berada di rumah orang tua Fierly, semua harus dilakukan tanpa buru-buru dan itu membutuhkan waktu yang pas dan terencana.
“Kamu balik langsung?” suara umi membuyarkan lamunan Gina.
“Mas Fierly datang langsung pulang, memang kenapa? Umi mau bawakan apa? Nggak usah repot-repot.”
Gina tahu makanan yang dibawa dari rumah orang tuanya akan berakhir di belakang atau di makan oleh pengurus rumah, mereka tidak akan membiarkan menikmati makanan yang dibawa dari rumah orang tuanya. Beberapa kali bertanya pada Fierly, jawaban yang diberikan sangat tidak masuk akal.
“Nggak usah bawain apa-apa,” ucap Gina yang membuat uminya terdiam “Aku hanya ingin menikmati disini, kalau dirumah orang tua Mas Fierly rasanya sudah beda. Kalau makan disini bisa merasakan cinta dari setiap gigitan masakan ini.”
Gina memejamkan matanya ketika memasukkan makanan didalam mulut, memperlihatkan bagaimana nikmatnya masakan yang dibuat umi dan mbok yang selama ini sudah ikut dengan keluarganya.
“Fierly nggak kasar sama kamu, kan?” Gina menggelengkan kepalanya “Kamu jangan bantah suami, harus nurut apapun yang dikatakan.”
“Umi bilang berkali-kali sampai hafal.” Gina hanya bisa tersenyum mendengar nasehat uminya.
“Waktu kamu nikah kan umi nggak kasih nasehat sama sekali, apalagi kamu nikahnya sama pria yang baru dikenal. Oh ya...mantan kamu Anwar gimana? Udah nggak hubungan?”
Gina memicingkan matanya “Kenapa tanya Anwar? Sejak Mas Fierly lamar udah nggak hubungan sama sekali, apalagi nomer aku ganti.”
“Umi nggak sengaja ketemu kemarin, kita ngobrol lumayan lama tapi dia sama sekali nggak tanya kabar kamu sama sekali. Kalian mengakhiri hubungan baik-baik, kan? Apapun itu jangan sampai silaturahmi itu putus, apalagi kalian pernah dekat sebelumnya.”
“Harus dibatasi, mi. Aku sudah menikah dan kayaknya Anwar juga udah punya cewek lain, bukan masalah silaturahmi tapi lebih ke menjaga perasaan pasangan.” Gina mengatakan sebenarnya.
“Sudah...nggak usah bahas masa lalu. Sekarang adalah bagaimana kamu melewati kehamilan ini, dokter bilang apa?” umi menatap Gina dengan membelai perutnya pelan.
“Bayinya sehat dan semua baik-baik saja, cuman ya...disuruh banyak jalan biar bisa lahirin normal.”
“Ibu kamu nyuruh normal?” tanya umi dengan nada khawatir.
“Nggak tahu, kita belum bahas hal begini. Mas Fierly sih bilang kalau bisa normal karena terkait biaya, tapi kalau nggak bisa ya sudah nggak papa.” Gina mencoba mengingat pembicaraan terakhir setelah dari dokter kandungan.
“Kalau nanti mertua nggak terima kamu lahiran operasi otomatis kamu harus sabar, jangan dengerin apa yang dibilang dan jangan masukkan hati. Kamu setelah melahirkan otomatis harus tenang, semua agar bisa mengeluarkan ASI tapi umpama nggak bisa jangan dipaksa dan stress, buat tenang diri kamu itu utama. Umi sama abi akan berada di belakang kamu, kalau butuh apa-apa langsung hubungi.”