“Semua perlengkapannya sudah?”
“Sudah, umi santai saja.” Gina menenangkan uminya agar tidak panik datang ke acara wisuda besok.
“Akhirnya kamu sama Indira bisa wisuda bareng, kamu itu kalau nggak ada yang kasih semangat nggak akan sampai kaya sekarang.”
“Ya, akhirnya bisa bareng. Padahal nggak janjian juga, mi.”
Gina memang tidak membayangkan akan bisa wisuda bersama, mereka memang sidang skripsi beda hari, setelah itu tidak berhubungan kembali. Gina tahu jika Indira kemungkinan akan mengulang mata kuliah yang nilainya belum memuaskan, informasi yang didapatnya begitu terakhir Indira cerita. Gina sendiri tidak menyangka revisinya bisa cepat selesai, akhirnya karena sudah tidak ada lagi yang harus diambil memilih mendaftarkan wisuda, ternyata Indira melakukan hal yang sama.
“Hoek...hoek...”
“Kamu kenapa mual lagi?” Gina menggelengkan kepalanya sambil membasuh mulutnya “Kapan harus ke dokter kandungan?”
“Lusa kayaknya setelah wisuda besok, mi. Mas Fierly sudah jadwalin juga, moga aja besok pas wisuda semua baik-baik saja.” Gina mencoba mengingatnya.
“Memang nggak bisa maju? Nanti malam gitu? Umi khawatir kenapa-kenapa, semoga nggak ada masalah. Jangan lupa kita minta bantuan saudara buat makeup kamu besok pagi.”
“Nanti aku bilang sama Mas Fierly biar daftarin dokternya.” Gina memilih saran uminya.
“Jangan ditunda takutnya kenapa-kenapa sama kehamilanmu, apalagi hamil muda masih rawan ini kalau masalah saudara nggak usah dipikir terpenting adalah kehamilan kamu.”
Gina menganggukkan kepalanya “Aku kamar dulu, mi.”
“Awas pelan-pelan naik tangganya.”
Masuk kedalam kamar dengan membaringkan tubuh, membelai perutnya pelan dengan menghembuskan napas perlahan. Usia kandungan seharusnya sudah melewati masa mual, tapi tampaknya sang anak baru melakukannya sekarang.
“Sayang, kerjasama ya sama umi. Jangan mual, umi mau merasakan wisuda.” Gina berkata pelan sambil membelai perutnya.
Rasa mual dirasakan setelah pulang dari rumah mertuanya, Gina tidak tahu apa yang terjadi pada saat disana. Perasaannya tidak melakukan kesalahan atau makan sesuatu yang tidak-tidak, tampaknya rasa mualnya semakin menjadi dan terkadang harus merasakan lemas sampai tidak bisa berdiri.
“Sayang, bantu umi.”
Suara pintu terbuka menampilkan Fierly yang masuk dengan ekspresi lelah, mendekati Gina mencium keningnya pelan dan lanjut perutnya sambil membelainya.
“Umi bilang kamu mual lagi?” Gina menganggukkan kepalanya “Aku hubungi dokternya kalau gitu buat janji, kalau bisa sore ini tapi kalau nggak ya besok.”
“Aku ngikut, mas. Mas udah makan? Mau disiapin?”
“Kamu istirahat aja, aku bisa minta sama bibi nanti.” Fierly kembali mencium kening Gina.
Mencium aroma kayu putih agar tidak mual, sesekali membaca doa untuk mengalihkan pikiran tidak mengarah pada mual, memejamkan matanya agar menengkan seluruh tubuhnya. Seharian ini bisa jadi kelelahan mengurus persiapan wisuda, semoga dengan istirahat beberapa jam bisa membuat tubuh menjadi segar lagi.
Gina beranjak dari ranjang, melangkahkan kakinya ke kamar mandi yang terdapat Fierly didalamnya dan kembali muntah setelah membuka closet. Fierly yang terkejut dan menatap Gina langsung melangkahkan kakinya kearah Gina, memijat tengkuk lehernya dan membantu menyiram bekas muntahan.
Gina terduduk di kamar mandi, terlalu lelah muntah dan seketika tidak ada tenaga lagi. Fierly yang melihat Gina seperti ini mempercepat mandinya dan mengganti pakaian, membantu Gina berdiri dan membersihkan wajahnya dari bekas muntahan, menopang tubuhnya agar kembali ke ranjang. Gina memegang aroma yang tadi diciumnya, Fielry mendekati Gina membelai rambutnya pelan.
“Kita ke rumah sakit aja sekarang.”
Gina mengerutkan keningnya “Aku nggak papa mas, jangan lebay.”
“Kamu sudah muntah berapa kali? Makanan yang masuk sudah berapa kali? Kamu muntah dan makan lebih banyak muntah, jadi lebih baik ke rumah sakit.”
Gina menggelengkan kepalanya “Kita ke dokter kandungan aja, mas.”
“Kamu mau nurut apa besok nggak bisa ikut wisuda?”
Gina terdiam mendengar ancaman Fierly, melihat dirinya yang beberapa kali muntah kesempatan untuk wisuda jelas tidak mungkin bisa. Menganggukan kepalanya menyetujui perkataan Fierly dengan ikut ke rumah sakit, bayangan mengikuti wisuda sudah tidak ada atau hilang dalam hitungan beberapa menit.
Fierly menggendong Gina ke mobil dengan bantuan kedua saudara laki-lakinya, umi mengantarkan sampai depan pintu dan Fierly melarang umi untuk ikut. Fierly berjanji akan menghubungi secepatnya, selama perjalanan tidak ada yang membuka suara sama sekali dengan tangan Fierly masih setia di perutnya.
“Kamu tidur aja dulu,” ucap Fierly dengan tangannya yang sudah memijat kepalanya.
Matanya perlahan memejam, tidak tahu berapa lama perjalanan menuju rumah sakit. Gina terbangun saat Fierly menggendong keluar dari mobil dengan membaringkannya di ranjang, menatap langit dan tidak tahu dimana ranjang ini akan membawa Gina.
“Janinnya baik-baik saja, cuman ini kekurangan cairan untung dibawa cepat kalau nggak bisa pingsan dan membahayakan janinnya. Saya pasang infus, agar bisa masuk cairan. Kalian boleh pulang setelah infus habis, keluar dari sini bisa langsung ke poli kandungan untuk mengetahui lebih dalam.”
Gina hanya bisa diam mendengarkan kenyataan yang ada, air matanya tidak terasa mengalir. Setidaknya tidak terlambat datang ke rumah sakit, merasakan tangan sedang menghapus air matanya. Gina mengalihkan pandangan kearah Fierly yang tersenyum tipis, genggaman tangan seakan mengatakan dirinya dan itu artinya Gina harus kuat.
“Kamu pasti bisa, nggak usah mikir yang aneh-aneh dulu.” Fierly menenangkan Gina yang hanya menganggukkan kepalanya.
Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berjalan. Menghabiskan infus yang terpajang, selama berada di ruang IGD tidak satu kalipun Gina merasa mual dan keinginan muntah, mungkin didalam infus sudah terdapat obat juga untuk menghilangkan mual.
“Umi sama abi udah tahu, mas?” tanya Gina saat mengingat orang tuanya yang pastinya cemas dirinya belum pulang.
“Sudah, umi langsung batalin make up kamu.”
Gina menganggukkan kepalanya, mengerti dengan keputusan yang diambil uminya. Fokusnya saat ini adalah kehamilan bukan wisuda, dalam bayangannya bukan lagi tentang wisuda dan semua yang disiapkan dari beberapa hari kemarin seakan tidak ada artinya. Hembusan napas panjang dikeluarkan Gina agar sedikit tenang, ketenangan berdampak pada psikologis dirinya dan janin.
“Dokter bilang harusnya sudah nggak ada mual, tapi sepertinya anak kita mau kamu merasakannya walaupun telat. Syukur pas kita nikah kamu nggak mual, coba mual orang pasti nilai negatif sama kamu.” Fierly membuka suaranya sambil menggelengkan kepalanya “Anak kita tahu kapan menyusahkan orang tuanya.”
Gina tidak menanggapi kata-kata yang keluar dari Fierly, memilih diam dan memejamkan matanya. Semua yang dikatakan Fierly bukan membuatnya tenang, melainkan semakin mengingat kesalahan yang tidak seharusnya dilakukan.
“Kamu masih mikir masalah wisuda?” suara lembut Fierly membuat Gina membuka matanya “Kamu pasti pengen foto wisuda, nanti kita foto sendiri di studio dengan kamu pakai toga. Aku tahu suasananya pasti beda, tapi daripada nggak sama sekali.”
‘Padahal aku udah bayangin wisuda bareng, tapi nggak papa yang penting sekarang kehamilanmu. Cepat sehat buat kamu dan dedek bayi.’