Ragu Melangkah

1322 Kata
“Perasaanku kenapa nggak enak ya?” Gina merasakan sesuatu yang tidak enak didalam hatinya, tidak tahu apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Waktu yang berjalan cepat mendekati hari pernikahan yang memang tinggal beberapa minggu lagi, dalam pernikahan ini Gina tidak mengundang teman-teman bahkan sahabat terdekatnya. “Kamu nggak undang Indira?” tanya Erlin penasaran dan membuyarkan lamunan Gina. “Indira? Memang belum?” Gina menatap bingung. “Belum, gimana mau undang?” Gina menggelengkan kepalanya “Kamu yakin?” “Ya.” Hati kecilnya seakan malas mengundang sahabat-sahabatnya, Gina tidak tahu alasan dibalik semua itu. Biasanya didalam pernikahan kehadiran sahabat sangat penting, mendukung dirinya dalam suka dan duka. Menjelang pernikahan semakin membuat Gina malas kemana-mana, kegiatannya kalau tidak kuliah ya bekerja di toko donat terkenal. “Kalian nanti akan tinggal disini dulu, kan?” tanya Erlin yang dijawab dengan mengangkat bahu “Kamu belum diskusi sama Fierly?” Diskusi? Bahkan sama sekali tidak membicarakan pernikahan saat bertemu. Mereka akan menghabiskan waktu dengan berada didalam kamar hotel, menghabiskan waktu yang tersisa untuk meraih kenikmatan. Gina merasa saat ini bukan dirinya sama sekali, bahkan tidak mengenal dirinya. “Kamu bisa tinggal disini kalau belum ada rumah, lagian lebih enak rumah orang tua sendiri daripada mertua,” ucap Erlin yang hanya diangguki Gina. “Kamu bahagia nggak sih?” suara Soni membuat mereka berdua mengalihkan pandangan “Bentar lagi hari bahagiamu loh, kamu masih terpaksa sama Fierly?” “Entah,” jawab Gina mengangkat bahunya. “Kalau baik-baik saja jangan nunjukin wajah begitu depan abi dan umi, mereka malah merasa bersalah sama kamu karena sudah terima lamaran Fierly.” Soni memberikan peringatan yang diangguki Gina. Gina tidak tahu pernikahan macam apa nanti yang akan dijalani dengan Fierly, mungkin ini juga yang dirasakan Indira waktu dulu menikah dadakan dengan Fajar. Perbedaan mereka adalah sikap kedua pria, Gina masih menganggap sikap dan perlakuan Fierly padanya hanya pura-pura. Banyak hal yang aneh pada hubungan mereka yang dirasakan Gina selama mereka jalan bersama, satu hal yang disesalkan adalah kehormatannya yang hilang, semua orang tahu bagaimana Gina selama ini dan tidak mungkin tiba-tiba mengakui sesuatu yang berdosa sudah dilakukan. “Kamu masih mikirin Anwar?” tanya Erlin yang dijawab gelengan kepala “Terus kenapa?” “Entahlah, aku hanya....apa ya...aku bingung jelasinnya gimana. Sudahlah toh beberapa minggu lagi kami berdua menikah, dijalani aja nanti gimana-gimananya.” “Nggak bisa gitu, Gin. Menikah itu sekali seumur hidup, beda kaya pacaran. Kalau kamu ngerasa nggak cocok lebih baik dibatalkan.” Soni memberikan saran yang hanya dijawab dengan gelengan kepala “Terus apaan? Udah nggak usah dipikirkan, itu namanya cobaan sebelum pernikahan. Wajar sih kamu ngerasa gimana, orang menikah kan begitu. Kamu coba tanya sahabat-sahabatmu yang sudah menikah kaya Indira dan Yuni itu.” “Mas, kamu nggak patah hati Indira udah nikah kan?” tanya Gina random. “Nggak, lagian bukan jodoh dan aku sendiri nggak pernah ngomong sama Indira. Kamu ngapain tanya begituan? Sahabatmu itu sudah bahagia sama pasangannya.” Soni menggelengkan kepalanya “Undangannya ini aja? Kalau udah ok langsung kita kirim ke orang-orang.” “Masih ada undangannya?” tanya Gina menatap undangan yang ada di meja “Kalau masih ada buat sahabat-sahabatku.” “Nah....gitu daritadi.” Erlin tersenyum lebar melihat perubahan Gina. Gina memilih tidak peduli, bukankah lebih baik menikmati pernikahan ini. Suka atau tidak, keputusan sudah dibuat sejak orang tuanya menerima lamaran Fierly, bisa saja perasaan tidak tenang yang dirasakannya hanya sebagian perasaan menjelang pernikahan. Gina yakin itu yang dirasakannya saat ini, bukan pikiran hal negatif tentang Fierly. “Kamu itu beruntung mendapatkan Fierly, coba kalau masih sama Anwar belum tentu akan begini.” Erlin membuka suaranya. “Laki-laki yang baik itu berani menghadapi orang tua wanitanya dan langsung meminta secara resmi, bukan dijadikan pacar kaya yang kamu alami selama ini. Mas dengar Fierly juga udah keterima di pegawai negeri, bagus itu artinya kamu nggak akan kekurangan. Sekarang apalagi yang kamu cari dari sosok pria?” Soni menatap Gina yang hanya diam mendengarkan. “Berarti itu artinya mas akan nikahi pacarnya?” tanya Gina setelah keheningan lama. “Nggak gitu juga,” tolak Soni langsung. “Lah...tadi bilangnya kalau lelaki yang baik. Kalau mas masih pacaran artinya mas bukan lelaki yang baik.” Gina menggoda Soni yang langsung cemberut. “Mana undangannya? Aku antar! Udah semua, kan?” tanya Soni yang diangguki Erlin. Gina menggelengkan kepalanya melihat reaksi Soni, kata-katanya memang benar tapi tidak dengan yang dirasakan tentang Fierly. Selama bersama kekasih lainnya Gina tidak melakukan hal gila, Fierly berhasil menebus semua yang menjadi batasan selama bersama dengan pria. Perubahan memang sudah terlihat dalam diri Gina, hanya saja orang terdekat belum menyadarinya sama sekali. “Orang tua Fierly menerima kamu, kan?” suara Erlin membuyarkan lamunan Gina. “Kelihatannya, semoga saja memang menerima aku.” Gina menjawab sambil lalu. “Aku lihat mereka baik, apalagi beberapa kali ketemu setiap pulang dari kampus.” Erlin mencoba mengingat pertemuan dengan orang tua Fierly. “Mbak nggak ada niatan pindah dari rumah orang tua Mas Darwin?” tanya Gina penasaran. “Kita memang rencana pindah, tapi nanti setelah Darwin lulus karena kalau sekarang belum bisa. Aku masih ada beberapa mata kuliah yang harus diperbaiki sedangkan Darwin fokus sama skripsinya, tapi ada enaknya sih menikah kalau lagi suntuk obatnya hubungan ranjang. Kamu nanti pasti mengalaminya, kamu nggak akan pusing dengan semua masalah.” Erlin mengatakannya sambil tersenyum tidak jelas. Gina memutar bola matanya malas “Aku pergi dulu.” “Kemana? Kerja?” Gina menganggukkan kepalanya “Dijemput Fierly?” “Nggak juga, Mas Fierly lagi ada kerjaan.” Gina meninggalkan Erlin seorang diri menuju kamar untuk bersiap. Langkahnya sudah siap menuju tempat kerja, menggunakan sepeda motor yang biasanya dipakai dan ternyata berada di rumah, tampaknya tidak ada yang memakai sepeda motornya. Cukup lama dirinya tidak memakai sepeda motor dan itu semua karena Fierly yang selalu menjemputnya dan sekarang bisa membawanya kembali. “Sayang,” panggil seseorang yang menghentikan gerakan Gina. “Mas kenapa disini? Katanya ada kerjaan?” tanya Gina bingung. “Gimana aku bisa tenang kalau calon istriku nggak ada yang antar.” Fierly mendekati Gina dengan membelai pipinya pelan “Mau berangkat sekarang? Bapak dan ibu?” “Cuman ada Mbak Erlin sama adik-adik,” jawab Gina yang diangguki Fierly. “Ya udah, kita berangkat sekarang.” Fierly mengulurkan tangannya dan langsung disambut Gina. Fierly mengubah dunia Gina, membuat dirinya tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak ada kehadirannya. Beberapa kali Gina menghindar tapi sulit dilakukan, akhirnya hanya bisa menerima dan membiarkan perbuatan Fierly padanya. “Kamu cantik benar mau kerja? Ketemu sama siapa?” tanya Fierly menatap Gina dalam. “Pembeli lah, mas. Kamu ini suka aneh-aneh aja.” Gina menggelengkan kepalanya. “Aku kira kamu mau ketemu sama mantan.” Fierly mengatakan tanpa beban. “Jangan asal nuduh, bisa jadi kalau mas yang udah ketemu mantan.” Gina membalikkan kata-kata Fierly yang membuatnya terdiam “Mas sudah selesai dengan masa lalu, kan?” “Aku melamar kamu artinya sudah selesai, kamu sendiri?” tanya Fierly kembali. “Aku sudah mengakhiri sejak kita berdebat kemarin.” Gina menjawab sambil menundukan kepalanya. “Kamu nggak lupa kalau hanya aku yang boleh memiliki kamu? Kamu harus ingat itu! Aku yang berhak atas kamu! Bukan pria lain.” Fierly mendekati Gina memegang kedua pipinya untuk menatap kearahnya “Kamu nggak akan bisa lepas dari aku, sayang.” Fierly mencium singkat bibir Gina “Kamu sudah mengajukan resign, kan?” Gina menganggukkan kepalanya “Pintar, aku cinta sama kamu.” Fierly kembali mencium bibir Gina kali ini lebih dalam. “Mas, jangan disini malu dilihat sama tetangga.” Gina memukul lengan Fierly yang hanya tersenyum. “Kita lanjut di hotel seperti biasa, udah lama kamu nggak melayaniku.” “Tiga bulan yang lalu mas bilang akan melakukan setelah menikah, masa sekarang berubah lagi? Bisakah kali ini aku minta setelah menikah, mas?” Gina memberikan tatapan penuh harap. “Apa salahnya kita cicil, siapa tahu sebulan lagi kamu langsung hamil.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN