"Kenapa balik-balik muka ditekuk begitu?" tanya yang Mita lontarkan ketika Moza memasuki ruangan usai makan siang.
Gadis itu menjatuhkan tubuh pada kursi kerja dengan kasar, lalu sebelah tangan meraih mouse dan menggoyang-goyangnya sampai layar komputer di hadapannya pun menyala.
"Moz!" Panggilan dengan sedikit teriakan yang Mita berikan membuat Moza kesal.
"Apa, sih, Mit!"
"Haish, aku sibuk bertanya nggak kamu dengar."
"Aku dengar, Mita. Hanya saja ... sudahlah. Malas aku bercerita. Temanya juga masih tetap sama." Moza mengembuskan napas lelah. Ingin mulai melanjutkan pekerjaannya. Namun, justru dikagetkan dengan kursi kerja yang menggelinding ke arahnya sampai menabrak punggung kursi yang dia duduki.
"Mita!" Pekik Moza tertahan karena sahabatnya itu suka sekali mengagetkan.
Gadis berjilbab itu hanya nyengir tak merasa bersalah sama sekali. Kebiasaan jika sedang ingin tahu banyak hal yang tengah terjadi pada sahabatnya itu, maka tanpa mau turun dari atas singgasananya, Mita beserta kursi kerjanya akan meluncur mendekat pada meja kerja Moza. "Moz! Sampai kapan kamu mau move on dari mantan suamimu itu."
Plak
Satu pukulan ringan singgah di lengan Mita dan itu Moza adalah pelakunya. "Kamu ini! Kapan aku mengatakan tidak bisa move on? Jutsru aku sudah sangat melupakan pernikahan itu. Hanya saja kamu tahu, kan. Status janda itu tak akan pernah bisa lepas dari hidupku."
"Sabar, Moz!" Mita mengusap lembut lengan sahabatnya memberikan semangat pada Moza.
Ya, Mita adalah sabahat baik Moza sejak mereka masih duduk di bangku kuliah. Bahkan ketika melamar pekerjaan di perusahaan ini pun, mereka juga bersama-sama. Keberuntungan masih juga berpihak pada keduanya ketika Moza dan Mita sama-sama diterima menjadi karyawan di satu divisi bahkan satu bagian yang sama. Mengawali karir secara bersamaan tak lantas keduanya menjadi rival. Justru yang ada mereka saling menyemangati dan menjadi rekan kerja yang baik.
Perkara masa lalu Moza seperti apa juga Mita sangat tahu. Dan hanya menjadi rahasia mereka berdua sampai pada akhirnya kehadiran Edham yang menawarkan ketulusan cinta pada Moza, gadis itupun tak akan mau menyembunyikan statusnya. Sejak bercerai dari sang mantan suami, Moza sama sekali belum pernah menjalin hubungan dengan lelaki lain. Baru Edham lah lelaki pertama yang hadir dalam hidupnya setelah mantan suaminya. Mantan suami yang tak pernah menganggapnya sebagai seorang istri. Dan demi mengingat semuanya, kenapa Moza jadi sedih begini. Karena Edham tak pernah mempermasalahkan statusnya sebagai seorang janda. Sayangnya ketulusan Edham tak dibarengi dengan keluarga pria itu. Semenjak hubungan yang terjalin dengan Edham, ada lebih dari tiga kali Moza dibawa bertemu dengan keluarga lelaki itu dan dari semua pertemuan-pertemuan itu, jelas bisa Moza rasakan jika kehadirannya tidak diinginkan oleh keluarga Edham. Entahlah apa yang membuat keluarga Edham tidak menyukainya. Mungkin karena status sosial mereka berdua.
"Kau tahu, Mit! Keluarga Edham tidak menyukaiku sejak awal. Aku telah berjuang sampai di sini dan aku sendiri pun makin tak yakin andai keluarga Edham mau menerimaku jika mereka mengetahui statusku adalah seorang janda."
"Yang penting Edham mau menerimamu apa adanya, Moz."
"Ya, semoga perjuanganku akan membuahkan hasil yang manis. Meski aku tak yakin."
Karena keluarga lah yang membuat Moza enggan menerima pinangan Edham. Padahal usia Edham yang lebih tua darinya, terus saja memaksa demi mengejar usia yang semakin lama makin tua.
"Lalu, sampai kapan kau akan seperti ini terus, Moz?"
"Bulan depan, kedua orang tua Edham akan merayakan anniversary ketiga puluh tahun. Aku diundang oleh Edham. Dan pada kesempatan itu pula Edham berencana melamarku di hadapan keluarganya."
"Benarkah?"
"Ya. Tapi aku takut."
Rasa takut itulah yang menyebabkan Moza menekuk wajahnya setelah makan siang tadi. Karena gadis itu tengah berpikir apakah yah akan dilakukan olehnya dan Edham berhasil memenangkan hati kedua orang tua pria itu.
"Percayalah. Semua akan baik-baik saja."
Sebab alasan itu pula yang membuat Moza harus mengumpulkan modal sendiri untuknya dapat menikah nanti karena dia tidak ingin keluarga Edham makin menyudutkannya. Dipikir dia hanya akan mengincar duitnya Edham saja.
Moza tentu tahu jika Edham adalah berasal dari keluarga kaya. Tak sebanding dengan dirinya yang berasal dari desa. Moza sendiri juga tak mau mengalami kegagalan lagi dalam berumah tangga. Kasihan pada kedua orangtuanya jika sampai dia salah memilih lelaki untuk dia nikahi. Cukup sekali dia menjadi janda. Jangan sampai kedua kalinya dia akan mendapatkan status yang sama.
"Sudah sana balik kerja," usir Moza pada Mita dengan tangan mendorong kursi kerja sang sahabat agar menjauhinya.
••••
Hari-hari yang Moza jalani tak ada yang berubah. Masih seperti hari biasanya di mana menjadi seorang arsitek yang membuatnya harus sering turun ke lapangan dengan seragam proyek. Bergaul dengan lebih banyak kaum lelaki. Hal seperti itulah yang terkadang memicu penampilan Moza lebih maskulin ketimbang feminim.
Menjadi seorang arsitek adalah cita-citanya sejak dulu. Tentu dia bangga karena berhasil mewujudkan semua impiannya.
Hari sudah malam ketika mobil operasional kantor yang mengantarkan dia pulang ke sebuah rumah yang dia sewa bersama sepuluh orang yang lainnya. Housemate yang berasal dari berbagai daerah, hidup saling berdampingan pada sebuah rumah besar yang mereka sewa secara beramai-ramai. Bukan pula berada dari satu perusahaan yang sama. Namun, juga dari beberapa karyawan di perusahaan yang berbeda. Lokasi yang tak seberapa jauh dari kawasan industri tempat Moza bekerja menjadi pilihan utama ketika gadis itu memilih hunian sebagai tempat tinggalnya.
"Terima kasih, Pak," ucap Moza pada driver yang mengantarnya pulang.
Sungguh, badan Moza sangat lelah. Pekerjaan yang sangat menyita banyak energinya. Di satu tangan, ada tas berisi laptop tersampir pada bahunya. Lalu, pada punggungnya tersampir tas ransel berisikan barang-barang pribadinya. Helm safety ia tenteng pada tangan kanan sementara sepatu safety khusus dia pakai ketika berada di proyek, dia bawa dengan tangan kirinya.
"Kenapa malam sekali pulangnya," sapa seseorang yang membuatnya terkejut. Sejak tadi Moza memang sibuk meneliti barang bawaannya sampai-sampai tak menyadari keberadaan Edham yang sudah menghampirinya lalu mengambil alih helm juga sepatu dari tangannya.
Barulah ketika Moza mendongak, nampak oleh netranya sebuah mobil milik Edham yang seringkali dia naiki sudah terparkir di depan pagar rumah.
"Sudah lama, Mas?"
"Lumayan. Kamu belum menjawab pertanyaanku, Moz. Kenapa malam sekali pulangnya?"
"Proyeknya di luar kota, Mas. Jalanan juga macet."
"Apa tidak sebaiknya kamu pindah kerja saja. Jujur, Moz. Aku tidak tega melihatmu selalu kecapekan seperti ini."
Moza tahu jika perkataan itu Edham tunjukkan sebagai bentuk rasa perhatian padanya. Namun, Moza tidak suka jika Edham terlalu mencampuri urusannya. Edham tak akan pernah tahu bagaimana perjuangannya sampai bisa memiliki gelar arsitek seperti sekarang ini. Dan untuk pindah kerja pada perusahaan lain, juga tidak bisa semudah itu. Moza sudah terlalu nyaman dengan pekerjaan yang dia geluti sekarang.
"Mas ... kita sudah sering membahas hal ini, bukan?"
"Ya, dan jika kita menikah nanti, aku jamin tak akan membiarkanmu bekerja keras seperti ini. Cukup duduk diam di rumah menungguku pulang mencari nafkah."
"Ya ... ya. Kita lihat saja nanti. Eum, Mas. Aku masuk dulu, ya? Ingin mandi. Gerah sekali."
Edham mengangguk. "Aku tunggu di sini. Kita bisa makan malam bareng nanti. Aku sudah membawakanmu makanan tadi."
"Terima kasih banyak, Mas. Maaf karena selalu merepotkanmu."
"Tidak ada yang merasa direpotkan jika itu untuk orang yang kita sayang."
Duh, meleleh hati Moza mendengarnya. Kedua pipinya sudah merah merona karena malu. Dan Edham hanya tertawa melihat kekasihnya senyum-senyum begitu.
Sampai tubuh Moza yang menghilang di balik pintu. Edham masih juga tak mampu menghilangkan senyuman dari sudut bibirnya.
Menyayangi Moza bukankah sebuah kesalahan. Jujur, dia sempat terkejut ketika di awal hubungan mereka, Moza mengakui sebuah status yang membuatnya tak percaya. Bagaimana mungkin gadis itu adalah seorang janda. Tidak banyak yang Moza ceritakan kecuali pernikahan sesaat yang pernah wanita itu lakukan di saat masih lulus SMA. Edham paham jika hal seperti itu sudah wajar terjadi di pedesaan. Tanpa Edham tahu tentang cerita perjodohan sampai yang membuat Moza menyandang status janda. Edham sendiri juga tak ada niat mencari tahu lebih banyak lagi karena takut mengingatkan Moza akan kenangan buruk masa lalu. Yang penting bagi Edham adalah, dia bisa menerima Moza apa adanya.
Andai saja Edham tahu jika Moza adalah janda rasa perawan, mungkin pria itu akan lebih bahagia dan bangga akan menjadi yang pertama. Sayangnya Moza enggan membagi hal itu karena ingin mengetahui seberapa tulus dan serius Edham menjalin hubungan dengannya. Biar saja pria itu tahu dengan sendirinya ketika mereka sudah menikah kelak.