"Moz! Sejak tadi diam mulu. Ada apaan?" tanya yang keluar dari sela bibir Mita ketika mereka berdua tengah menyantap nasi kotak yang baru saja dibagikan sebagai menu makan siang, setelah acara perkenalan Direktur Utama yang baru usai dilangsungkan. Tak ada acara penyambutan mewah karena yang Moza dengar, direktur baru tersebut menginginkan acara sederhana saja sebagai bentuk dimulainya pekerjaan di perusahaan ini. Oleh sebab itulah acara makan siang sekaligus syukuran hanya berupa nasi kotak saja.
Ya, sejak telinganya mendengar sebuah nama yang sudah cukup lama dia lupakan, nyatanya siang ini dia kembali melihat dan dipertemukan dengan seseorang dari masa lalunya . Nama yang mengingatkan Moza akan kenangan buruk masa mudanya. Bagaimana mungkin? Sakha Rahardian. Nama yang sama, tapi ketika Moza mencoba menelisik wajah lelaki dewasa yang merupakan sang direktur utama, memang ada kemiripan meski pun dari segi penampilan wajah juga bentuk badan ada sedikit perbedaan. Tidak mungkin mantan suaminya memiliki kembaran atau hanya nama yang serupa saja. Ah, entahlah. Moza makin bingung dibuatnya. Dan hal itu pula yang menyebabkan dia hanya bungkan sibuk berpikir akan kebenaran yang nyatanya takut untuk dia ketahui.
"Nggak ada apa-apa. Laper, Mit! Makanya diem sibuk ngunyah."
Mita hanya mencebik. Tak lagi menanggapi celotehan sahabatnya yang sedikit aneh menurutnya. Mereka berdua memilih menikmati makan dalam diam sampai makanan pun habis tak bersisa.
Namun, pikiran Moza masih juga tak bisa lepas dari nama Sakha Rahardian. Masih juga susah percaya jika Sakha Rahardian lah yang akan menjadi pemimpin tertinggi perusahaan ini. Semua serba mendadak dan Moza sulit menerima hal ini.
Lantas, kenapa Sakha harus kembali ke Indonesia dengan penampilan yang sangat jauh berbeda dengan pada saat pria itu menjadi suaminya delapan tahun lalu. Ah, entahlah. Kepala Moza mendadak pening demi memikirkan hal ini.
Kepala yang mendongak tanpa sengaja sebenarnya karena nasi kotak yang dia makan telah habis tak bersisa, gadis itu berniat untuk membuang sampah kardusnya. Hanya saja, otaknya yang nge-blank seketika apabila mata miliknya tanpa sengaja bersiborok dengan pandangan tajam dari mata seseorang yang duduk tak jauh darinya dan sedang memperhatikannya.
Sial! Bagaimana mungkin Moza bisa gugup dan jadi gelagapan begini. Padahal mereka tanpa sengaja saling bersitatap. Dan memilih lupa juga pura-pura tak saling kenal adalah solusi yang Moza pilih saat ini. Membuang pandangan lalu beranjak berdiri.
"Mau ke mana, Moz!"
"Buang sampah lanjut ke toilet. Mau ikut?"
Mita menggelengkan kepalanya. Untuk apa juga dia ikut Moza jika saat ini sedang tidak ingin mengosongkan kandung kemihnya.
Dengan cepat, bahkan mengabaikan sosok pria yang diyakini Moza masih juga memperhatikan gerak-geriknya. Gadis itu melesat masuk ke toilet yang ada di lantai satu dekat lobi dan ruang meeting.
•••
Usai dengan ritualnya, Moza merasa lega. Mengguyur kloset lalu merapikan baju kerjanya sebelum dia keluar dari dalam bilik toilet ini. Tak lupa mencuci kedua tangan terlebih dahulu serta merapikan rambut panjangnya yang melewati batas bahu. Rambut yang di jam siang begini akan sering dia ikat dengan asal karena cuaca yang terasa panas hingga membuatnya merasa gerah.
Kemeja yang melekat di badan sedikit kusut di beberapa bagian. Setelah memastikan penampilannya sedikit lebih rapi, Moza pun melangkah menuju pintu keluar.
Namun, mendadak langkah kaki Moza yang sudah berhasil keluar dari dalam toilet wanita yang di siang ini tumben sekali masih sepi, mungkin karena para karyawan masih sibuk dengan maka siang mereka masing-masing, langsung terhenti.
Bagaimana mungkin lelaki itu sedang berdiri dalam diam bersandar pada dinding toilet. Apa mungkin sengaja menunggunya. Batin Moza bertanya-tanya. Ah, tapi mana mungkin. Seorang Sakha Rahardian yang telah dinobatkan sebagai direktur utama, berdiri di lorong toilet tanpa melalukan apa-apa. Jika ada yang melihat, pastilah mereka akan bertanya-tanya juga curiga.
Dan sekarang Moza semakin gugup tak tahu harus bagaimana. Jika dia meneruskan langkah kakinya, yang ada gadis itu harus dengan terpaksa melewati sosok Sakha. Namun, jika dia tetap akan berdiam diri di sini, juga ngapain? Dilema.
Sayangnya, dilema yang Moza rasakan harus terpatahkan dengan ucapan yang terlontar dari sosok pria yang kini mulai menolehkan kepala ke samping. Menatap padanya.
"Jadi ... benar kau Moza?"
Helo! Pertanyaan macam apa itu?
Moza membuka mulutnya ingin menjawab. Namun, suaranya seolah tertelan di tenggorokan dan tak dapat dia ucapkan.
Kembali Sakha bertanya. "Tak kusangka kita akan bertemu kembali di sini. Apa kabarmu, Moz?"
Moza tersenyum sinis. Dia bertanya tentang kabar? Hal umum yang biasa ditanyakan oleh orang yang lama tak bersua. Hal yang masih wajar ditanyakan apabila seseorang yang bertanya hal demikian padanya bukanlah Sakha Rahardian. Setelah apa yang pria itu lakukan, masihkah Sakha bertanya apakah dia baik-baik saja.
"Oh, tentu saya baik-baik saja." Pada akhirnya Moza bisa juga menjawab apa yang menjadi tanya Sakha.
Seharusnya Moza balik bertanya akan kabar pria itu. Hanya saja Moza enggan melakukannya. Ada baiknya dia pergi saja dari tempat ini sebelum ada yang memergoki jika dia sedang berduaan dengan Pak Direktur.
"Maaf saya harus pergi." Moza dengan sopan berpamitan sebelum dia benar-benar meninggalkan Sakha.
"Tunggu!"
Sakha mencegahnya. Moza kembali berhenti melangkah. Kini keduanya berdiri saling berhadapan. Moza melirik sedikit pada sosok Sakha yang masih terlihat sangat arogan dengan kedua tangan tersimpan di dalam saku celananya.
"Kau telah banyak berubah, Moz!"
Moza menanggapinya hanya dengan tersenyum kecil. "Justru kau lah yang telah banyak berubah, Mas. Buktinya, aku saja tak mengenalimu tadi. Sayangnya, kenapa aku masih saja mengingat namamu," jawab Moza asal lalu terkekeh.
Dalam hati menyesali, sebuah nama yang tak pernah terhapus dari ingatannya selama delapan tahun ini.
"Ya. Kita berdua memang telah banyak mengalami perubahan. Tidak menyangka jika kita bisa kembali di pertemukan dalam keadaan yang telah berbeda seperti ini."
Moza tak menjawab. Gadis itu menghela napas, lalu meninggalkan Sakha begitu saja tanpa kata. Tak peduli jika dia dianggap tidak memiliki kesopanan pada atasan. Namun, lama-lama berada di dekat Sakha hanya akan menguak kisah lamanya yang tentu saja menyakitkan. Tak ada kebahagiaan yang Moza dapatkan ketika dulu mereka bersama.
Oh, Tuhan. Takdir macam apa ini. Apakah benar dunia sesempit ini. Sampai-sampai dari ribuan perusahaan yang ada di Indonesia, Sakha Rahardian harus dinobatkannya menjadi atasannya. Lantas, apakah ke depannya Moza masih bisa berlaku dan bersikap biasa saja andai kata mereka berdua diharuskan bekerja pada satu kantor yang sama seperti sekarang ini. Entahlah. Moza tak tahu karena kepalanya mendadak pening memikirkan hal ini.