Langkah Balas Dendam Leon

1872 Kata
“Kenapa aku tidak boleh bertugas di lantai 3?” Cylo tidak langsung menjawab, pria itu justru memutar kepala. Lebih memilih kembali menghadap layar di hadapannya. Ia tidak mengharapkan kedatangan Leon secepat ini ke rumah sakit. Ia pikir, Leon akan memilih untuk bersenang-senang terlebih dulu, sebelum mulai bekerja. Seperti itulah sang adik satu ayah yang dikenalnya selama ini. Ia juga sempat memikirkan kemungkinan Leon yang akan lebih memilih menguasai perusahaan farmasi milik ayah mereka. Bukan malah kembali ke rumah sakit yang sudah jelas ada di tangannya saat ini. Apa mungkin dia sudah melewatkan sesuatu? Cylo mencoba meminta otaknya untuk memikirkan kemungkan apa yang sudah ia lewatkan. Dari apa yang dilihatnya di pesta waktu itu, sepasang ayah dan anak kesayangannya tersebut terlihat sudah membuat kesepakatan. Apa yang ditawarkan oleh ayah mereka pada sang putra mahkota? “Ayolah … tadi aku bertemu dengan seorang perawat yang—” menghentikan kalimatnya, Leon melirik pria yang masih duduk dengan angkuh di balik meja kerjanya. “Cantik sekali.” Dan dia sungguh puas, saat melihat kepala pria itu dengan cepat terangkat, lalu kedua matanya menyorot tajam ke arahnya. Leon tertawa. Pria yang sedari tiba—duduk di tepi meja tersebut, beranjak. Leon berjalan memutar, lalu berhenti tepat di samping pria dengan rambut ikal cukup panjang--yang tak lain adalah kakaknya. “Aku ingin bisa setiap hari bertemu dengannya.” Dengan kepala menunduk memperhatikan sang kakak, Leon mengangkat kedua alisnya, sementara sepasang matanya masih belum berniat melepas sang lawan. Sepasang bibir tipis pria itu, menyeringai. “Jangan macam-macam dengan wanita bersuami!” ketus Cylo, sembari masih balas menatap tajam pria yang berani-beraninya membuat emosinya muncul. Bukannya takut ketika mendengar peringatan dari sang kakak, Leon justru tertawa semakin keras, hingga membuat Cylo menggeram. Satu tangan pria itu bahkan sudah mengepal kuat, seakan siap untuk menghancurkan sesuatu. “Memangnya kamu tahu, siapa yang aku maksud?” Leon terkekeh geli, melihat wajah sang kakak yang sudah berubah merah padam. Ah … dia senang mendapati pria ini dengan emosi yang meluap-luap. “Ayolah Cylo … kamu sudah punya istri, biarkan aku juga bisa segera mendapatkan pendamping. Aku tidak suka melihat tatapan prihatin orang-orang.” Leon menggelengkan kepala “Cuih … mereka pikir aku masih sakit hati? Astaga … aku justru bersyukur bisa terlepas dari wanita iblis seperti itu.” Lalu pria itu menepuk pelan bahu pria yang masih duduk di kursinya. “Aku sudah merelakan iblis betina itu untukmu.” Leon tertawa keras, setelah selesai mengucapkannya. Pria itu lalu memasukkan sebelah tangan yang baru saja ia gunakan untuk menepuk bahu Cylo—ke dalam saku celananya. “Selamat menikmati nerakamu bersama perempuan jelmaan iblis itu.” Leon tersenyum sinis. Pria itu lalu kembali menghela langkah sepasang kakinya menjauhi meja kerja Cylo--menuju pintu keluar. Sebelah tangannya sudah memegang handel pintu, ketika sang pemilik menyempatkan diri untuk memutar kepala ke belakang. “Aku akan mulai bekerja di lantai tiga. Sampai jumpa.” Sebelah tangan Cylo yang sudah mengepal, akhirnya menggebrak meja. Pria itu mengumpati Leon yang baru saja keluar dari ruangannya dengan tawa keras. Ia tidak mungkin membiarkan pria itu menang. Bisa saja dia melarang Leon untuk bekerja di lantai tiga, tapi … itu artinya dia kalah dari Leon. Pria itu sungguh pintar mengancam egonya. Meskipun Cylo tidak percaya jika wanita yang Leon maksud bukan Atheya, namun ia tidak memiliki bukti. Menggunakan kekuasaannya untuk menahan Leon agar tidak mendekati lantai 3, tentu saja akan memperlihatkan jika ia ketakutan. Takut jika benar Leon akan mendekati Atheya. Dan itu akan membuktikan kemenangan Leon. Pria itu akan tahu, jika pernikahannya dengan Atheya selama ini—hanya di atas kertas. Bahwa mereka berdua memang tidak memiliki ikatan yang dalam, serta rasa kepercayaan. Hah … ikatan dalam apa? Mereka bahkan sudah berjanji untuk tidak menggunakan hati dalam pernikahan mereka. Tentu saja Cylo tidak bisa menyalahkan Atheya. Dia juga bersalah dalam hal ini. Hatinya pun masih meragu. Cylo menarik dalam nafasnya. Sebelah tangan pria itu meraih ponsel. Membawanya mendekat, kemudian menggulir layarnya. Kembali dadanya naik turun dengan kentara, saat pria itu sekali lagi maraih sebanyak mungkin oksigen, kemudian menghembuskannya—kala netranya menatap gambar pada layar ponselnya. Gambar dua orang dengan jubah dokter, tersenyum lebar ke arah kamera. *** Theya hanya bisa terus mengunci rapat-rapat sepasang bibirnya. Membiarkan sosok yang baru saja datang ke nurse station di lantai tiga--memperkenalkan diri. Mengatakan jika ia akan bekerja di lantai 3 bersama mereka mulai hari ini. Sungguh … Theya tidak bisa membayangkan neraka apa yang akan ia jalani mulai hari ini. Bukan hal aneh mendapati lirikan mata teman-teman sejawatnya. Tentu saja. Mereka pasti mempertanyakan bagaimana dirinya akan bisa bekerja dengan sosok yang kini sudah tertawa renyah. Leon memang seperti itu. Dia adalah pribadi yang ramah, murah senyum, dan mudah sekali bergaul. Dulu … itulah yang membuat Theya jatuh hati. Namun sekarang, mendengar tawa pria itu—rasanya, perut Theya bergolak. Ia ingin muntah. Sungguh. Wanita dengan seragam perawat warna merah muda tersebut, beranjak dari tempat duduknya. “Mau ke mana?” Theya menoleh. “Toilet,” jawab wanita itu singkat, lalu menghela langkah cepat meninggalkan nurse station--tanpa merasa perlu mendapat izin dari siapa pun. Dia mual, dan benar-benar ingin muntah. Leon mendengkus melihat punggung Theya menjauh. Tidak usah bertanya … dia jelas tahu jika Theya tidak nyaman dengan keberadaannya. Memang itu tujuannya. Dia akan menciptakan neraka untuk perempuan yang sudah menghancurkan hidupnya. Lihat saja, batin Leon. Sudah cukup dua tahun wanita iblis itu menang darinya. Tertawa di atas kehancurannya. Wanita itu tidak tahu luka sedalam apa yang sudah ditorehkan pada hatinya. Dia tidak tahu sehancur apa dirinya dua tahun lalu. Satu sudut bibir pria itu terangkat. Sekarang waktunya untuk membalas. Theya akan mendapatkan balasan yang berlipat lebih menyakitkan dari apa yang sudah ia rasakan dua tahun ini. Leon bersumpah! Tak lagi melihat tubuh Theya yang sudah berbelok ke lorong menuju toilet terdekat, Leon memutar kembali kepalanya. Pria itu lalu melebarkan senyum, hingga kedua matanya yang sudah sipit, semakin mengecil. “Baiklah. Sekarang, saya membutuhkan data semua pasien di lantai ini. Bisa tolong bawakan ke ruangan saya?” pinta pria itu, sebelum memutar tubuh. Mengernyit kala mengingat sesuatu, Leon kembali membalik tubuhnya. “Oh … nanti saja. Minta suster Theya yang mengantarkannya ke ruangan saya.” Leon lalu tersenyum. “Ingat … harus suster Theya,” ujar pria itu, sebelum kemudian benar-benar menghela langkah menjauhi nurse station—menuju ruangannya sendiri. Meninggalkan dua orang teman sejawat Theya saling pandang. Bukan hal sulit untuk bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Bekerja di lantai tiga? Itu hal mudah. Dia sudah mengenal begitu baik seperti apa seorang Cylo. Menekan ego pria itu adalah kuncinya. Pria yang sudah memasukkan kedua tangan ke dalam saku jas dokternya itu tersenyum, sementara kakinya kini sudah berhenti di depan pintu ruangan dengan papan namanya. *** Theya benar-benar tidak bisa menahan rasa mualnya. Wanita itu mengeluarkan seluruh isi dalam perutnya. “Woek … woek ….” Theya menekan perutnya. Nafas wanita itu terengah. Theya kembali menurunkan kepalanya ketika mual kembali datang dan dia tidak mampu menahannya. Sungguh … Theya tidak tahu jika efek seorang Leon sekarang seperti ini. Jika dulu setiap kali bersama Leon, Theya akan merasakan kepakan kupu-kupu di dalam perutnya, maka saat ini—setelah pengkhianatan pria itu, perutnya memberi reaksi yang berbeda. Jauh berbeda. Rasa benci sepertinya sudah mendarah daging, hingga tubuhnya dengan sendirinya bereaksi tanpa diminta oleh sang pemilik. Merasa perutnya sudah lebih ringan, wanita itu menekan s***h. Semua yang masuk ke dalam perutnya sebelum berangkat bekerja, sudah keluar. Theya lalu membawa langkahnya keluar dari toilet, menuju wastafel. Wanita itu berkumur. Membersihkan mulutnya dari rasa pahit yang masih tertinggal. Mengangkat kepala, Theya menatap pantulan wajahnya di cermin. Pucat. Theya manarik panjang nafasnya. Leon berhasil membuatnya gentar. Tidak boleh. Dia tidak boleh kembali lemah. Theya tidak akan tumbang, sekalipun pria itu akan memberinya siksaan. Theya tidak akan membiarkan Leon kembali menghancurkan hidupnya. Tidak untuk yang ke dua kali. Menyangga tubuh lemasnya dengan kedua tangan yang tertumpu di tepi wastafel, Theya bisa melihat pantulan wajahnya yang berubah mengeras. Kedua tangannya meremas kuat pinggiran wastafel. Dia mengeraskan hatinya. Dia akan membuktikan pada pria itu—jika ia tidak selemah yang dikira. Theya yang lemah sudah mati dua tahun lalu, dan Leon lah yang sudah membunuhnya. Yang saat ini berdiri menatapnya itu adalah Theya yang sudah berubah. Wanita yang kini berkuasa pada hidupnya sendiri. Dia bisa menentukan akan seperti apa masa depannya, tanpa bantuan orang lain. Dia bukan lagi Theya yang bergantung pada seorang Leonar Reksatama. Menghembus keras nafasnya, Theya menegakkan tubuh. Merapikan penampilannya sesaat, wanita itu lalu memutar tubuh. Menghela langkah yang tak lagi goyah, kembali ke tempatnya bekerja. *** Cylo masih berusaha menghubungi nomor seseorang. Lagi dan lagi, dia harus menelan rasa kecewanya, saat nomor yang ia hubungi hanya dijawab oleh petugas operator. “Masih tidak aktif,” gumam pria berambut gondrong itu. “Di mana kamu?” Cylo meremas kuat ponsel di tangannya. Wajah pria itu berubah keras. Banyak tanya dalam benaknya yang masih belum terjawab—bahkan setelah 2 tahun terlewat. Apa yang terjadi pada wanita itu? Kenapa wanita itu tiba-tiba saja menghilang, disaat yang sangat menentukan hidupnya? Kemana perginya wanita itu? Cylo menggelengkan kepala. Wanita itu menghilang bak di telan bumi. Ia sudah mencoba mencari, namun tidak ada titik terang, bahkan hingga saat ini. Mungkin, akan lebih baik jika ia mengetahui wanita itu sudah mati. Ya … dia tidak akan sesakit hati ini, jika perempuan itu menghilang karena sudah tidak lagi berbagi dunia yang sama dengannya. Cylo mencoba meraba hatinya. Selain sakit hati, masihkah tersisa cinta untuk wanita yang seharusnya saat ini berada di posisi Theya? Katupan kedua rahang Cylo saling menekan semakin kuat, sementara kedua tangannya teremas. Sudah cukup. Sudah cukup dua tahun dia menunggu. Cylo akan menganggap wanita itu sudah mati. Tidak ada yang perlu ia perjuangkan lagi untuk perempuan itu. Dia yang pergi, jadi seharusnya tidak ada sedikitpun rasa bersalah pada dirinya. Benarkah? Apakah kamu sungguh bisa melupakan, apalagi menganggapnya sudah mati? Cylo merutuki satu sisi batinnya yang menentang rencananya. Pria itu menarik panjang nafasnya, kemudian menghembuskannya perlahan—berusaha untuk mengatur emosi yang kembali meluap. Bunyi telepon yang ada di sudut meja, membuat pria itu sekali lagi mengatur nafasnya yang masih memburu. Dua detik ia membiarkan, sebelum kemudian meraih gagang telepon. Pria itu mendengarkan seseorang yang menghubunginya—berbicara. “Dia sudah bicara dengan saya.” “Maaf … saya tidak bisa mencegahnya.” “Hmm …,” gumam Cylo. “Apakah … bu Atheya akan tetap bekerja di lantai tiga?” tanya hati-hati seseorang yang masih tersambung dengan Cylo. Cylo tentu saja mengerti untuk apa orang itu menanyakan istrinya. “Memangnya kenapa kalau dia bekerja di lantai tiga?” Pertanyaan yang dilontarkan Cylo membuat sang penanya meringis di tempatnya. Ia hanya khawatir jika sang direktur akan marah mengingat cerita mereka bertiga di masa lalu. “Oh … mm … baiklah.” Kikuk, pria yang sedang menghubungi Cylo ingin segera memutus sambungan mereka. “Kalau begitu … saya akan lanjut bekerja. Selamat pagi, Pak.” Cylo meletakkan kembali gagang telepon dengan kasar. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menumpahkan kekesalannya saat ini. Sepertinya, rencananya tidak akan berjalan dengan mudah. Leon jelas sudah mulai menyerang. Ditambah, ia masih belum menemukan wanita itu. Sekalipun hanya jasadnya yang mungkin sudah tidak bernyawa. Itu akan lebih baik, sehingga ia bisa melangkah tanpa ada bayang-bayang masa lalu yang menghantui.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN