Hari terus berganti, tidak ada satupun hari William tanpa mengintai seorang Sella. Untuk saat ini, tidak banyak yang bisa William lakukan, karena yang harus dia bisa lakukan adalah pendekatan. Berhubung Sella berhutang sepuluh juta, tentu saja itu menjadi modal awal William bergerak maju untuk menuntaskan misinya.
William yang sejak tadi asik berfikir, seketika menoleh saat pintu ruang kerjanya diketuk. William menyahut, memberi akses orang di luar untuk segera masuk.
"Selamat malam, Tuan Will."
"Katakan, ada informasi apa?" tanya William tanpa basa-basi.
Pria berjas hitam di depan William mengangguk, dii menyerahkan berkas bawaannya kepada William. "Itu semua berkas terbaru yang saya dapati dari rumah sakit. Prawira memang menjadi salah satu pasien cuci darah di sana. Saya juga mendapat info kalau Prawira harus segera transplantasi ginjal."
"Terhalang biaya, apa saya benar?"
"Betul, Tuan."
William tertawa renyah mendengarnya. Kaum-kaum seperti mereka memang tidak akan bisa jauh dari uang. Prawira dengan segala kekayaannya dahulu, kini harus merasakan tidak mempunyai uang. Bagaimana bisa dia transplantasi? Sekalipun bisa, William bertekad menggagalkan sampai akar-akarnya.
"Di mana Sella sekang?"
"Sella sudah berada di club, Tuan."
"Siapkan mobil, satu jam lagi saya mau ke sana. Saya harus memberi penawaran lagi kepada wanita itu. Kalau memang dia tetap kekeh, uang harus kembali. Andrew, apa kamu sudah lihat Prawira secara langsung?"
Andrew menggelengkan kepalanya. "Untuk tugas itu saya belum bisa, Tuan. Tapi Tuan tenang saja, dalam waktu dekat akan saya temukan."
"Bagus, lakukan semuanya dengan cepat. Kamu bisa ke luar, siapkan mobil."
"Baik, saya permisi, Tuan."
Seperginya Andrew, William kembali menjatuhkan punggungnya ke sanggahan kursi. Kedua mata William memejam, dia sedang menyusun rencana demi rencana di dalam otaknya. Penolakan Sella pada malam itu membuat jiwa William tertantang untuk bisa menaklukan.
William meringis ketika bayangan orang tuanya kembali di dalam ingatan. Apa Ayahnya turut bahagia di sana? Bahagia karena anaknya akan menuntaskan semua apa yang sudah terjadi? Kejadian itu membuat emosi William mencuat. Gelas yang sejak tadi diam tanpa salah kini sudah pecah lebur.
Kaca itu seperti hati dan kehidupan William sekarang. Iya, sama-sama hancur lebur. Karena barang pecah tidak mungkin bisa didaur ulang.
"Tidak akan ada sejarahnya hidup kalian akan bahagia!"
Tak!
Satu busur panah melesat tepat di tengah-tengah foto keluarga bahagia itu. Emosi William masih tersulut, sampai kapanpun dia tidak akan bisa meredam sebelum berhasil membalas.
***
Sesuai perintah, kini Andrew dan juga Zaffan sangat siaga berada di dekat William. Ketiganya sudah sampai di salah satu club malam, tempat di mana Sella berada. Dari jauh pandangan William menatap keseliling. Senyum William kembali merekah saat dia melihat Sella tengah berdebat dengan seseorang.
"Apa pria itu utusan kalian?"
"Tidak, Tuan," jawab keduanya dengan kompak.
William mengangguk. Dengan langkah santai pria itu kembali berjalan, lalu duduk di salah satu bangku yang lumayan dekat jaraknya dengan Sella.
"Tolong beritahu atasan di sini kalau saya mau minum, tetapi ditemani khusus oleh wanita itu."
Kedua pria yang sejak tadi berdiri di belakang William langsung mengangguk patuh. Tanpa perlu perintah kedua, mereka mulai menjalankan misinya satu per satu.
Sambil menunggu, William mengeluarkan ponselnya dari dalam jas. Banyak sekali panggilan dari Oma serta kekasihnya. Saking sibuknya William, dia sampai tidak mengabari semua orang. Selain sibuk bekerja, tentu saja William sibuk menyusun rencana.
Tidak membutuhkan waktu lama, kini telinga William sudah mendengar suara keributan dari arah belakang. Senyumnya mengembang, dia tahu kalau kedua suruhannya sudah berhasil membawa Sella. Wanita itu memang keras kepala, membutuhkan uang tetapi tidak mau bekerja lebih.
"Lepas! Mau kalian apa sih? Saya lagi kerja, kenapa kalian selalu ganggu?!" bentak Sella. Sejak kedatangannya tadi, emosinya terus saja diasah oleh semua orang. Sella rasanya sangat lelah, dia tidak sanggup seperti ini terus.
"Bekerja apa yang kamu maksud, Sella? Membuat keributan?" Tubuh William memutar, kini pandangan keduanya beradu.
Ketenangan William sangat berbeda dengan kekagetan Sella. Sella tidak menyangka akan ketemu pria itu lagi. Apa dia menagih uangnya?
"Bagaimana dengan uang saya?"
"U-uang?"
"Sepuluh juta kalau kamu lupa."
Sella mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa dia mendapatkan sepuluh juta dalam waktu singkat? Sepuluh juta itu uang yang Sella dambakan, dia bisa menggunakan untuk berobat Ayahnya daripada harus memberi kepada pria asing di depannya.
Perihal uang Sella memang kalah, kini dia pasrah tiap kali William menagih. Kepala Sella menunduk, dia memainkan jari-jarinya. Hidupnya teramat berat, hutang sana sini terus bertambah. Rasanya Sella ingin segera lenyap dari muka bumi.
Mati memang pilihan terbaik rasanya.
"Kenapa diam? Saya tahu kau butuh uang, Nona. Berapa gaji di sini? Apa cukup membiayai hidup, lalu membayar hutang saya? Bekerja lah dengan saya, maka hidup kau akan bahagia."
"Saya sedang mencari sekretaris pribadi, lima belas juta perbulan. Bayangkan, kerja berapa tahun kau baru dapat uang sebanyak itu?"
Lagi-lagi Sella terdiam. Tawaran itu menggiurkan, apa lagi nominal gajinya. Jika Sella mengambil tawaran itu, dia bisa leluasa menopang cuci darah sang Ayah dan ekonomi keluarganya.
"Kasih saya waktu untuk berfikir apa bisa?"
"Tidak. Oh, boleh, saya kasih sepuluh menit dari sekarang."
Gila.
Pria di depannya benar-benar gila di mata Sella. Maksud Sella meminta waktu itu dua atau tiga hari, bukan hitungan jam apa lagi menit!
Senyum puas tergambar di sudut bibir William. Senyum itu memang terpancar, akan tetapi hanya William yang mengerti maksudnya.
Step one, done!
"Apa anda mempunyai niat jahat dengan saya? Punya maksud tertentu atas tawaran ini?"
William kembali tertawa. Sungguh, wanita di depannya sangat menguji kesabaran seorang William kali ini. Puas tertawa, William berdecih menahan emosi yang menggebu. Ingin dia menghabiskan Sella, tetapi bukan seperti itu planningnya.
"Saya tidak punya waktu untuk bermain. Saya tidak pernah menawarkan pekerjaan kepada orang, karena mereka yang mencari saya. Untuk saat ini, berhubung kau mempunyai hutang dengan saya, anggap saja itu jaminan agar kamu tidak kabur, Nona."
Lagi-lagi Sella terdesak keadaan. Lima belas juta perbulan memang sangat besar, rasanya Sella tidak mau membuang kesempatan besar ini. Sella melirik tangan William yang terulur. Walaupun ragu, Sella tetap menerima jabatan tangan kekar William.
"Deal!"
"Kau, saya tunggu di kantor besok pagi. Jam delapan, tanpa telat satu menit pun." Setelah mengatakan itu, William bangkit dari duduknya.
Untuk hari ini tugasnya selesai. Kepuasan tengah menyeruak di dalam hati William karena dia berhasil memasukkan Sella ke dalam jebakannya.
Tidak akan ada kenikmatan seperti janji-janjinya, jiwa devil William kembali bermain sekarang.
"Selamat datang dikehidupan yang sesungguhnya dan seharusnya, Prawira."
***