SATU

1203 Kata
Sakina mengembuskan napas panjang setelah duduk di hadapan sahabatnya, Fifi. Fifi yang tengah meminum es kopi lantas menunjukkan ekspresi penuh tanya. Kenapa Sakina memberikan gelagat aneh yang tak biasanya wanita itu tampilkan? Pasti ada sesuatu. "Na, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Fifi. Sakina mengernyit. "Maksudnya?" "Pasti ada sesuatu, kan? Hayoh, abis lihat apa barusan?" Fifi menyelidik. Seperti biasa, menyembunyikan sesuatu dari Fifi tidaklah mudah. Mungkin karena Fifi terlalu mengenal Sakina sehingga hal sekecil apa pun tak akan pernah luput dari perhatiannya. Betapa tidak, mereka sudah bersahabat semenjak kelas satu SMA. Keduanya sudah sama-sama tahu asam garamnya persahabatan, dari saling bertengkar, saling membela, bahkan sampai menyukai pria yang sama. Mereka pernah alami. Untungnya, sekarang tidak ada lagi drama-drama memperebutkan pria karena mereka berdua sudah saling memiliki pasangan. Fifi sudah menikah, sedangkan Sakina 'mengaku' akan dinikahi oleh Park Seo-Joon. "Ada Erzha," kata Sakina setengah berbisik. Fifi tampak terkejut. "Hah? Erzha pacar pertama itu? Mana, mana? Mau lihat seganteng apa, sih?" Sakina langsung melemparkan tisu ke arah Fifi. "Bisa pelan nggak, sih? Kalau orangnya dengar gimana?" "Ya sori, emangnya kamu ketemu di mana, sih, Na?" "Ya bukan di kafe ini, sih. Tapi alangkah lebih baik ngomongnya nggak usah kayak orang ngasih pengumuman dong, Fi. Lagian, ya ... please ingat, kalau perlu catat. Dia itu bukan pacar pertama aku. Titik. Tolong bedakan antara pacar pertama dan cinta pertama." "Terserah deh kalau itu, Na. Sekarang yang jadi pertanyaanku ... kenapa ekspresi kamu begitu? Abis dibaperin?" "Enak aja!" sanggah Sakina. "Gila, ya. Gila banget," lanjutnya. "Na, kalau ngomong yang bener dong. Jangan muter-muter, pakai bahasa yang bisa dipahami manusia aja. Jadi ada apa?" "Setelah bertahun-tahun nggak ketemu dia ... percaya nggak, sekarang dia udah punya anak," kata Sakina gemas. "Aku bahkan nggak tahu dia udah nikah," lanjutnya. "Terus masalah? Kamu masih ngarep, ya?" Fifi malah sengaja menggoda. "Ya masalah sih nggak, aku cuma kaget aja. Wajar, kan?" Fifi menggeleng. "Enggak wajarlah. Kamu siapanya Erzha wahai Sakina Adriana?" "Ya udah nggak usah nanya-nanya kalau responsnya begitu!" Sakina mulai sewot. Sontak Fifi langsung tertawa. "Ketawa aja sana sampai puas!" "Kina, Kina ... dengan kayak gitu, kamu terlalu nunjukkin kalau masih ngarep bisa berjodoh sama Erzha. Jadi penasaran apa bagusnya dia, sampai-sampai seorang Sakina ngarep bertahun-tahun. Ah, bahkan belasan tahun kali, ya? Dari kalian SMP, kan?" "Berisik! Enggak usah bahas dia lagi," kata Sakina yang masih cemberut. "Lagian aku bukan ngarep, aku cuma penasaran aja." "Na, kamu aja nggak tahu dia nikah kapan, kan? Berarti kamu nggak diundang. Secara nggak langsung itu nunjukkin kalau dia sama sekali nggak ingat sama kamu. Dalam kata lain, kamu itu nggak penting buat dia," ujar Fifi sambil terkekeh. "Kalau nggak ingat, ngapain tadi dia nyapa aku duluan?" "Kamu punya utang kali, makanya refleks ingat pas ketemu." "Capek deh ngomong sama kamu. Udah ya, udah ... pembahasannya stop sampai di sini," putus Sakina. Wanita itu kemudian menyeruput minuman di depannya, minuman yang sudah dipesan oleh Fifi sebelum Sakina datang. "Sakina...." Sumpah demi apa pun, Sakina nyaris menyemburkan minumannya saat mendengar suara berat menyebut namanya. Awalnya ia menyangka tengah berhalusinasi, tapi saat kepalanya mendongak, Sakina sadar betul kalau ini nyata. Ya, Erzha kini ada di hadapannya. "I-iya?" Sakina sedikit terbata. "Kebetulan banget kamu ada di sini. Hmm, tadi kayaknya kamu ngejatuhin ini deh," kata Erzha seraya menyerahkan sebuah lipstik pada Sakina. Tentu saja Sakina terkejut. Kedatangan Erzha benar-benar tak pernah ia duga sebelumnya. Lalu, lipstik? Jelas itu bukan milik Sakina. "Maaf Mas, itu—" "Papaaa!" teriak anak kecil yang spontan menghentikan ucapan Sakina. Erzha pun menoleh pada sang anak. "Iya, Sayang? Sebentar, ya." "Mau duduk, Papa!" Erzha kemudian beralih menatap Sakina. "Aku ke sana dulu, ya." Belum sempat Sakina menjawab, Erzha sudah bergegas ke meja paling ujung di mana seorang anak kecil berada. Bersamaan dengan itu, Fifi langsung pindah duduknya ke samping Sakina. "Na, itu yang namanya Erzha?" bisik Fifi. Sakina pun mengangguk. "Masih muda dan ganteng banget, ya? Gila, ini sih hot daddy! Beruntung banget yang jadi istrinya. Hmm, andai dia ke sini nggak sama anaknya, pasti aku bakal ngira dia masih lajang. Atau bahkan semua bakal berpikiran kayak aku," ucap Fifi menggebu-gebu. "Jangan keras-keras, orangnya ada di sini, Fi." Fifi nyengir kemudian menjawab, "Eh, niat banget ya sampai jatuhin lipstik biar disamperin lagi. Aku nggak nyangka kamu punya ide—" "Sumpah itu bukan punya aku. Lagian kamu kayak nggak kenal aku aja, sejak kapan aku pakai lipstik begitu? Bukan aku banget. Aku bahkan baru tahu ada lipstik kayak gini." "Bodo amatlah ini punya siapa, yang pasti aku nggak penasaran lagi wujud Erzha. Meskipun kamu pernah nunjukkin foto pas dia masih jadi kakak kelas kamu ... tapi tetep aja beda, gantengan sekarang." "Udah, Fi, udah. Orangnya ada di sini," ulang Sakina. "Kalau suaminya begini, udah pasti rawan pelakor. Andaikan dia nggak punya istri, aku pasti bakal—" "Fi, aku laporin Mas Heru nih," potong Sakina. "Mas Heru nih ... istrinya jelalatan," lanjutnya seraya memperagakan nada orang yang tengah mangadu. Heru adalah nama suami Fifi. "Dengar dulu dong. Aku mau bilang ... bakal bantuin kamu buat dapetin dia. Jangan nethink, huh!" "Ya udah, yuk! Katanya kamu mau nyari sepatu," ajak Sakina yang tak bisa lebih lama di sini. Ia tak mau terlihat salah tingkah. Erzha adalah cinta pertamanya, meskipun pria itu tak mengetahui perihal ini. Namun, tetap saja Sakina merasa gugup dan salah tingkah saat berada di dekat pria itu. Terlebih berbicara dengannya, benar-benar membuat Sakina tak tahu harus bagaimana. "Nanti dulu. Siapa tahu aja abis makan, dia nyamperin ke sini lagi," tolak Fifi. "Astaga, Fi. Apa yang kamu harapkan dari pria beristri, sih?" Sakina otomatis menutup mulutnya dengan telapak tangan saat menyadari ternyata ia berbicara cukup keras. Untungnya Erzha berada di paling pojok sehingga tidak mendengar ucapan wanita itu. Fifi malah tersenyum. "Berapa umurnya?" Awalnya Sakina enggan menjawab, tapi kemudian ia pun berkata, "Tiga puluh tahun, puas?!" "Wah, masih hafal aja. Jiwa ngarepnya udah meronta-ronta pasti, ya?" goda Fifi. "Ya aku belum pikun, Fi. Ini bukan karena aku terus ngafalin atau inget-inget terus. Dia itu tiga tahun lebih tua dari aku, jadi gampang banget ngitungnya. Suer, aku nggak sama sekali sengaja ngafalin umurnya. Kurang kerjaan amat." "Terima kasih klarifikasinya, Bu Sakina," kekeh Fifi. "Tapi ngomong-ngomong ... istrinya mana, ya? Kok berdua aja sama anaknya." "Ya itu urusan dia kali, Fi. Mau istrinya di mana aja bodo amat, kan? Emang penting?" "Enggak, sih. Penasaran aja, pasti cantik banget ya istrinya." Sakina tidak lagi menanggapi obrolan Fifi, ia tidak mau pembahasan tentang Erzha jadi makin merambat ke mana-mana. "Wah, bisa jadi istrinya lagi shopping atau lagi perawatan di salon bahkan klinik kecantikan mahal," tebak Fifi. "Lalu, sebagai suami yang baik ... dia jagain anaknya selama sang istri sibuk memanjakan tubuh." "Ya ampun Fifi, mulai deh imajinasinya nggak bisa dikondisikan. Sekalian bikin cerita di Dreame aja sana!" "Idaman banget," kata Fifi lagi. "My God, dia bucin juga, ya? Rela jagain anak demi membahagiakan istri. Bucin tapi aku kok gemes." "Fi, please udah. Kalau nggak, aku pergi nih. Terus laporin Mas Heru biar tahu kelakuan istrinya gimana," ancam Sakina. Fifi pun diam, bukan karena Sakina mengancamnya. Melainkan karena saat ini Erzha tampak berjalan ke meja mereka. Fifi langsung menyikut lengan Sakina. "Tuh!" Mau apa lagi? batin Sakina. "Sakina," panggil Erzha. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN