Bab 11. Di kos Fernando

1061 Kata
Hari itu, Fernando dan Yozico ingin mencoba apa yang menjadi topik pembicaraan. Mereka mencoba mencari tahu lebih banyak tentang game yang mampu menjadi ladang penghasilan buat mereka nantinya. Sembari mencari info lebih, mereka main game yang biasa dimainkan setiap harinya. Yozico yang pemula malah terlihat lebih ahli dari Fernando yang sudah lama menggandrunginya. “Sialann, kau mainnya oke juga ternyata.” Fernando tersenyum seraya menatap layar ponselnya. “Iya, dong. Gua nggak mau kalah sama lu. Sumpah, sejak main pakai ini, kayanya malah menguntungkan di dalam game ini,” ujar Yozico. “Iya, gua tahu. Memang rejekimu, sudah gratis, spek dewa. Kapan lagi, coba,” jawab Fernando. “Oh iya, gua kepikiran bakal ngekos di sini sama lu. Ada kamar kosong nggak? Nggak mungkin kita satu kamar,” ujarYozico. Mereka mengobrol tetapi atanya tetap fokus ke layar ponsel dan laptop mereka. “Banyak, sih. Nanti coba aku tanyakan ke Ibu kosnya, ya. Memangnya kenapa kamu mau kos? Enakan juga di rumah. Kalu mau makan tinggal makan, tidur ya idur, nyuci ada yang nyuciin.”Fernando menanyakan itu ke Yozico. “Nggak apa-apa, takut kalau Mamaku keseringan lihat aku game, yang ada dibuang lagi ini laptop. Mau kos saja nggak ada yang larang,” jawab Yozico dengan entengnya. "Memangnya udah pasti diizinin sama orang tuamu?" tanya Fernando lagi. Yozico mengedikkan bahunya. " Belum tahu, sih. Tadi kata Mamaku mau di tanyakan ke Papa dulu. Semoga aja bolehlah." "Okelah," jawab Fernando malas berdebat dengan Yozico. Mereka berdua asik memainkan game yang sama. Saat Fernando sudah berhenti memainkan, disaat itu juga Yozico malah terlihat serius. "Lu, nggak cari makan dulu apa? Laper banget gua," ujar Fernando. "Laper, tapi nanggung ini. Lu, berangkat beli, ya. Gua nitip aja, itu uangnya di saku tas ada keknya," ujar Yozico masih terpaku ke arah Laptop. "Lu, kalau main nggak tahu waktu. Makan aja sampai lupa, kalau misal gua emakmu. Gua buang juga itu laptop sama ponsel." Fernando ngomong dari tadi tapi sama sekali tak dihiraukan oleh Yozico. Walaupun begitu Fernando tetap hendak membelikan nasi sesuai keinginan Yozico. Mata Yozico terasa lemah, tetapi game ini seakan-akan ada daya tarik tersendiri dan melarang siapapun yang memainkannya untuk berhenti. Cukup lama, akhirnya Fernando kembali lagi, sembari menenteng kantong kresek yang berisikan makanan mereka berdua. "Astaga, Co. Mata lu nggak sakit apa? Nih, makan," ujar Fernando seraya menyerahkan satu bungkus nasi untuk Yozico. "Iya, ini masih sedikit lagi. Taru aja di situ, makasih ya," ujar Yozico. "Iya," jawab Fernando. Setelah satu permainan itu, Yozico memilih untuk log out game itu dan mematikan laptopnya. Dia melangkahkan kaki ke depan televisi ikut Fernando duduk di sana dengan menyantap makanannya dengan lahap. "Sudah selesai? Kenapa lu nggak makan laptop sama meja itu, sih? Heran gua, pantes aja emakmu marah, orang lu aja nggak tahu waktu sama sekali," ujar Fernando. "Salahin diri elu, tuh. Orang lu yang aja gua buat game. Giliran udah kecanduan, lu ngomel macam emakku," jawab Yozico dengan ketus. "Terserah, Lu. Habis ini, ambil motor dulu, ya. Siapa tahu sudah jadi ini," pinta Fernando. "Iya," jawab Yozico dengan singkatp Mereka sembari makan tetap saja ngobrol. Topik mereka pun tak jauh dari apa yang mereka mainkan saat ini. "Gila, lu jago juga, ya. Jangan-jangan lu pernah main game sebelumnya. Gua nggak nyangka, lok," ujar Fernando tetap kagum dengan keahlian Yozico yang sebagai pemula di arena game. "Bakat terpendam keknya," jawab Yozico dengan menyombongkan dirinya. Yozico yang tergolong acuh dan cuek, ternyata dia juga ahli dalam dunia game. "Lu diam-diam menghanyutkan, ya. Apa jangan-jangan sebenarnya lu sudah pemain lama, cuma sok seperti pemula?" Fernando menduga-duga. "Gila. memang beneran gua baru game kali ini. Memangnya aneh, kalau pemula tapi langsung ahli dalam game itu?" tanya Yozico merasa penasaran. "Yaiyalah, skill game lu macam pemain lama." Fernando masih tetap nggak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Yozico saat itu. ___ Sinar senja menyorot masuk ke dalam kamar Fernando melalu celah-celah jendela. Dua anak laki-laki yang sedari tadi masih fokus dengan ponsel dan leptopnya, saat ini menyenderkan tubuhnya di tembok kamar itu. "Aku pulang dulu, ya. Jangan lupa tanyakan ke Ibu kos ada kamar kosong nggak, nanti kabari aku," pinta Yozico. "Iya, nanti bakalan aku kabari lagi, ya." Fernando beranjak dari tempat duduknya. Yozico mengendarai motornya secara perlahan. Mata yang terlalu fokus akan gadget sedari tadi, saat ni terasa pegel. Dia mengucek matanya hingga beberapa kali. Dia memutuskan untuk berhenti di pinggir jalan, sebab takut terjadi-apa dengan dirinya sendiri.  Kepalanya tadi yang tak terasa sakit, saat ini bebarengan dengan matanya yang serasa kabur mendadak pusing. Dia memilih untuk duduk di trotoar dan memarkirkan motornya di pinggir asal tidak mengganggu perjalanan yang lain. "Dek, kenapa?" tanya seorang laki-laki bertubuh sedikit gemuk dan memakai topi menanyakan ke adaannya. Yozico menatap ke arahnya, sembari mengerutkan dahinya. "N-nggak apa-apa, Om. Kepalaku sedikit pusing, saja." Yozico memegangi kepalanya. "Bentar, saya belikan minum dulu. Kamu istirahat saja." Laki-laki itu berjalan mneuju penjual minuman yang tak jauh dari Yozico berhenti. Tak berselang lama, pria itu kembali sembari membawa satu botol air menirel. Beliau menyerahkan ke Yozico yang sedang duduk. "Ini, Nak. Diminum dulu." Pria itu duduk di samping Yozico. Tanpa berpikir panjang, Yozico segera menenggak air itu hingga tinggal separo. "Rumah kamu mana? Masih jauh?" tanya pria itu lagi. "Masih lumayan jauh, Pak. Makasih, ya. Ini uangnya saya ganti." Yozico hendak meraih dompet di dalam tasnya. "Nggak usah, Nak. Anak Bapak juga seumuran kamu, tapi ...." Pria itu menggantung ucapannya. "Kenapa, Pak? Kok bapak kok sedih," tanya Yozico. Pria itu tersenyum, "Nggak apa-apa, Nak. Gimana kepalanya?" "Alhamdulillah, rada mendingan. Makasih ya, Pak." Yozico tersenyum mereka menatap ke arah Bapak itu. "Istirahat di rumah saya dulu. Nanti, biar saya antarkan pulang jika kamu berkenan," ajak Bapak itu. "Makasih ya, Pak. Saya langsung pulang saja, biar Papa dan Mama saya nggak khawatir." Yozico beranjak dari tempatnya duduk. "Masih pusing tidak? Kalau pusing, istirahat dulu nggak apa-apa. Utamakan keselamatannya, Nak." Bapak itu kembali menasehati Yozico. "Iya, Pak. Tapi ini beneran sudah nggak apa-apa, kok. Pelan-pelan nanti, saya pamit duluan ya, Pak. Sekali lagi, saya terima kasih," Yozico menjabat tangan Bapak itu. Bapak itu hanya tersenyum, lalu membelai rambut Yozico. "Pelan-pelan ya, Nak. Kalau masih pusing, nanti berhenri lagi aja." "Iya, Pak. Mari, saya pulang sulu." Yozico perlahan mengemudikan motornya meninggalkan Bapak itu sendirian di sana. Mata Bapak itu berkaca-kaca melihat kepergian Yozico. Apa yang sedang beliau sembunyikan tidak ada yang tahu. Beliau terlihat sedih, namun ditutupinya dengan senyuman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN