4. Dhara si Pelakor

1595 Kata
Sejak mengetahui kebobrokan Dhara perihal masakan, selama satu minggu ini, hampir setiap hari Arya membelikannya makanan, kadang mengirimkannya di jam makan siang atau di malam hari ketika laki-laki itu pulang dari bekerja. Tetapi hal itu justru sedikit mengurai kecanggungan diantara mereka karena setiap lelaki itu pulang Dhara harus menyempatkan diri mengucap terimakasih. Walau begitu mereka belum pernah berbicara banyak, termasuk keinginan Dhara untuk mengetahui apa pekerjaan yang di lakukan Arya. Sampai hari ini Dhara tidak mengtahui Arya bekerja di bidang apa. Arya tidak mengenakan pakaian resmi ala orang yang bekerja di kantor. Walau tetap keren dan rapi, tapi yang di pakainya bukan kemeja dan celana kain, sepatunya juga bukan sepatu kulit yang licin. Tapi Dhara tidak mau kepo dengan menanyakannya. Dua hari yang lalu Dhara juga sudah di beri Arya sebuah kartu ATM yang katanya berisi nafkah sehari-harinya. Sesuatu yang Dhara rasa tidak perlu. Arya laki-laki yang baik, itu yang Dhara lihat. Dia memang menyentuhnya dengan paksa, tapi itu juga atas perintah Ayahnya meskipun sampai saat ini Dhara belum mengetahui mengapa Arya mau melakukan itu dan apa untungnya untuk lelaki semapan Arya. Setelahnya tidak sekalipun Arya nemanfaatkan tubuhnya. Ia tak menyangka jika menjadi istri Arya meski dengan cara seperti ini tapi akan di hormati dan di perlakukan dengan baik. Sambil membuka bungkusan makanan yang Arya belikan siang tadi, Dhara mengucap syukur dalam hati. Tuhan masih mengasihani dirinya meski sudah tidak mempunyai orang-orang yang bisa di sebut keluarga dan bisa menjadi tempatnya berteduh. Tapi semua ketenangan itu berakhir saat pintu rumahnya tiba-tiba di buka dari luar dan seorang wanita cantik berjalan dengan langkah tegak ke arahnya. Lidah Dhara kelu sekedar untuk bertanya siapa dia. Perempuan itu mempunyai kunci cadangan rumah ini, itu berarti dia adalah orang terdekat Arya, Dhara menduga itu adalah adik perempuan suaminya. Wanita itu menatap Dhara sebentar tapi tidak menyapanya. Tanpa bertanya, dia terlihat berjalan menuju kedapur dan terdengar beberapa bunyi perabotan. Kamungkinan sedang memasak melihat tadi sepertinya dia datang dengan membawa barang belanjaan. Dhara membungkus dan meletakkan kembali makanan yang sudah ia buka. Perasaannya tidak enak, meski tak berkata apa-apa dan tidak memarahinya, tapi Dhara melihat tatapan tidak suka dari perempuan tadi kepadanya. Lebih baik ia menyingkir dari sana dan masuk ke kamarnya. Dhara juga tidak berniat mencampuri urusan Arya dengan siapapun itu. Ia ingin menjalani kehidupan yang sebagian sudah hancur ini dengan tenang dan damai. *** "Halo, sayang." Arya terkejut, begitu sampai rumah ada seseorang yang menyambut kedatangannya. "Diva, kamu ada di sini?" tanyanya pada sang kekasih hati. "Iya, kenapa? Kamu nggak suka?" "Bukan begitu, tapi kenapa nggak ngabarin aku dulu?" "Kalau aku kabarin kamu pasti nggak di izinin buat datang kesini," jawab Diva, entah mengapa Arya melarangnya bertemu dengan istri dari tunangannya itu yang tinggal di rumah ini. "Aku cuma mau jaga perasaan kamu aja." "Istrimu cantik." "Kamu sudah ketemu sama dia?" tanya Arya dengan nada khawatir, ia takut jika Diva lepas kendali dan tak dapat mengontrol emosinya. "Nggak ketemu juga, cuma nggak sengaja lihat, dan dia sepertinya jauh lebih cantik dan menarik daripada aku." Arya mendesah lelah. "Di..., kita sudah bicarakan hal ini berulang kali loh. Dan menurutku, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan." Ucap Arya mendengar nada cemburu dari kekasihnya. Diva kemudian memeluk mesra calon suaminya untuk meredakan gejolak di hati. Sampai kapanpun Arya adalah calon suaminya, calon suami yang kini justru sudah berstatus sebagai suami dari perempuan lain. Ia tak bisa membohongi hatinya, ada rasa takut yang begitu sangat. Sebagai seorang kekasih, tak ada sedikitpun alasan yang bisa ia terima dengan apa yang Arya lakukan. Baginya masih ada jalan keluar lain yang dapat di tempuh. Tetapi mau tidak mau ia harus menerimanya meski sakit, keluarga adalah harga mati untuk Arya, dia sangat tahu sifat itu sejak dulu. Hal itu pula yang membuatnya tertarik pada laki-laki yang sudah ia kenal sejak duduk di bangku SMA. Arya yang baik, penyayang, rajin, sopan dan tidak banyak tingkah. Meski sudah menikah, Diva sudah bertekad akan tetap mempertahankan Arya, tidak ada laki-laki lain yang lebih baik dari Arya di matanya. Dia harus tetap menjadi suami dan pendamping hidupnya di masa depan. Dan Diva sangat percaya diri sekali akan hal itu, orangtua Arya sudah begitu dekat dengannya, begitu pula adiknya yang sudah ia anggap seperti adik sendiri. Statusnya dari wanita tadi juga lebih kuat, ia wanita baik-baik yang sudah Arya kenal bertahun-tahun, mendampinginya dari awal membuka bisnisnya sampai berkembang seperti sekarang. Sedikit banyak, Diva tahu siapa seorang wanita bernama Dhara yang Arya nikahi. Bagi Diva dirinya jelas jauh lebih unggul dan pantas menjadi istri untuk Arya di masa depan. Diva menarik tangan Arya dan membawanya ke ruang makan. Hari ini ia akan menunjukkan menu baru buatannya, selain ingin menghidangkannya pada calon suami, menu ini juga ingin ia rekomendasikan untuk di jadikan menu baru di restoran milik Arya karena rasa dan penampilannya yang cukup menarik, dan pasti akan menarik pengunjung jika di promosikan dengan baik. "Tadaaaa..., ada menu baru." Ucap Diva riang sambil membuka tudung saji di atas meja makan. Apa Arya terkejut dengan apa yang Diva perlihatkan? Tentu saja tidak, ini sudah biasa dan apa yang sang kekasih buat tidak pernah gagal. "Berapa lama kamu mikir ide dan bikin resep buat menu makanan ini?" tanya Arya sambil memasukkan makanan dengan tampilan menggoda itu ke dalam mulutnya, sebelumnya tak lupa ia duduk dan berdoa lebih dulu. "Ehm..., untuk menu ini lumayan lama, sekitar dua bulan. Kamu tahu kenapa? Ini adalah wujud dari rasa patah hatiku karena di tinggal kamu nikah. Untuk sedikit melupakan apa yang kamu lakukan aku jalan-jalan, wisata kuliner, dan hasilnya ini. Nggak sia-sia kan pelarianku?" tanya Diva dengan senyum manisnya. Senyum manis Diva menular ke Arya, ia jelas merasa sangat bersalah dengan apa yang terjadi, tapi ini memang harus ia lakukan. Ia hanya tidak ingin hal-hal buruk terjadi pada keluarganya, di mata Diva mungkin masalahnya terlihat sepele dan seharusnya banyak jalan keluar lain. Tapi sebenarnya tidak, Ayah Dhara adalah orang yang cukup nekad, dia tidak segan-segan menghabisi nyawa seseorang yang tidak di suka dan di anggap merugikannya. Diam-diam Arya menyelidikinya, keputusan Ayahnya untuk tak terlibat dengan segala urusan laki-laki itu sudah tepat, ia mendengar kabar jika Ayah Dhara melakukan pencucian uang yang tidak begitu ia tahu asalnya, dan jika Ayahnya terlibat dengan segala urusan orang itu, ada kemungkinan jika di masa depan Ayah Dhara tersangkut kasus hukum Ayahnya juga akan terseret. Arya memakan masakan Diva hingga tandas. "Rasanya enak, masakan kamu emang nggak pernah gagal. Tapi kamu buat banyak begini siapa yang mau makan Di, mau kamu bawa pulang?" tanya Arya melihat empat porsi makanan di atas meja. "Buat istri sama anak kamu, buat tunjukin kalau aku bisa masak enak dan layak jadi istri kamu jadi dia tidak berharap lebih bisa jadi istri kamu selamanya." "Masakan kamu masih juara satu di lidahku, Di, selain masakan Mama, jadi kamu tidak perlu khawatir," jawab Arya jujur. Ia jadi teringat rasa masakan Dhara yang luar biasa, meski begitu ia tidak akan menjatuhkan Dhara dengan menceritakan hal itu pada Diva. "Kamu juga harus ingat Diva, saya akan menceraikannya cepat atau lambat, hanya menunggu waktu yang tepat saja." "Tapi aku takut kamu berubah pikiran, Mas." Arya menoleh dengan cepat ke arah Diva, bagaimana bisa dia berfikir sejauh itu. "Diva...?" "Untuk saat ini saja, kedudukannya sudah lebih tinggi dari aku. Aku cuma tunangan sedangkan dia isteri, aku cuma pernah pegang sama peluk kamu, sedangkan dia udah pernah tidur sama kamu." "Diva..., saya mohon jangan mulai lagi." "Apa salah kalau aku cemburu Mas?" tanya Diva dengan mata berkaca-kaca. Pada akhirnya rasa ini muncul lagi. Arya menghembus nafas lelah, jika ini yang akan Diva bahas lagi, tidak akan selesai sampai menghabiskan waktu semalaman seperti beberapa hari lalu. "Cemburu boleh, tapi kamu kan tahu aku melakukan ini karena apa. Memangnya apa yang aku lakukan sampai membuat kamu terus-terusan merasa cemburu?" "Kalian bikin anak," jawab Diva cepat. "Tapi demi Tuhan saya tidak pernah menyentuhnya lagi setelah itu Diva!" "Tapi sekarang dia istri kamu." "Sebelum aku menikahinya karena hal tak terduga ini, seharusnya kamu sudah menjadi istri saya lebih dulu Diva, tapi kamu yang selalu berkata belum siap untuk saya nikahi." Diva menundukan kepala di atas meja dan menangis, haruskah ia berteriak jika merasa sangat menyesal sudah menolak ajakan Arya menikah sejak setahun yang lalu? Ia tidak pernah menduga hal seperti ini akan terjadi. Ia cukup tahu alasannya, tapi melihat orang yang sangat ia cintai mengucap ijab qabul untuk wanita lain, tinggal satu atap dengan wanita lain sangatlah menyakiti hatinya. Arya memeluk tubuh bergetar Diva, berusaha untuk menenangkannya. Tapi sepertinya tidak semudah itu, karena Diva melepas paksa pelukkannya dan menatapnya tajam. "Arya, meskipun aku belum mau kamu nikahi, tapi aku tidak pernah melarang kamu kalau mau menyentuh tubuhku. Aku tidak akan menolak kalau kamu memang membutuhkan itu!" Arya mengepalkan tangannya erat, ia kecewa mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulut wanita yang sangat di cintainya. Ia laki-laki normal yang jelas mempunyai hasrat dalam tubuhnya, dan di mata lelaki, wanita yang di cintai terlihat begitu menggoda mata dan tubuhnya. Tapi sebagai lelaki terhormat ia wajib menjaga kesucian wanita yang di cintai sebelum waktunya tiba. Arya memeluk kembali tubuh Diva, ia takkan mendebat perkataannya. Mungkin ini karena rasa cemburu dan emosi wanitanya yang sedang berlebih. Arya menangkup kedua pipi Diva dengan telapak tangannya, melabuhkan sebuah ciuman kecil di bibir manis itu untuk pertamakalinya. "Maaf." Hanya itu yang bisa Arya ucapkan, tapi ia akan membuktikan kesetiannya suatu hari nanti. Tak jauh dari sana, Dhara berdiri kaku melihat sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang berpelukan. Melihat Arya melabuhkan bibirnya, itu berarti wanita itu bukanlah adiknya. Dhara menghembuskan nafas lelah, sepertinya cap buruk sebagai Dhara si pelakor akan kembali ia dapatkan. Lalu bagaimana dengan nasib pernikahannya ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN