9

1959 Kata
Oh, iya juga, yaa? Kenapa aku tak memikirkannya, ya? A-duuh, kenapa ruwet sekali bohong ituu. Aku memutar otak. A-haaa, aku tersenyum saat ide cantik merasuk ke benak. Itu hal yang gampang ternyata. Aku bisa pinjam pengganjal perut yang waktu itu kupakai untuk drama kelulusan kakak kelas. Tapi itu ada di rumah Nina. Baiklah, nanti menghubunginya setelah di rumah. "Aku takut, jangan-jangan perkembangan dia ini terganggu." Om Redi mengusap perutku. Aku melotot padanya. Ih, amit-amit, jangan sampai lah. Aku pun ikut mengusap perut, dan tersenyum geli teringat ini hanya anak hayalan. Jadi kenapa aku tiba-tiba kesal? Kutatap suamiku yang terlihat risau. Aku pun menggeleng. "Ya gak lah, Om. Nanti juga besar sendiri." Aku kembali mengusap perut. "Ini hanya belum besar aja. Nanti juga besar." "Mungkin karena tubuh kau mungil kali." Ia memandangku. Aku mengangguk-angguk. "Ya mungkin kali, Om. Emp, antar aku ke rumah nenek ya, Om? Aku ada perlu dengan temanku." "Baiklah. Aku juga ada perlu dengan Tara." Aku memeluk lengannya, menikmati pemandangan sambil sedikit membungkuk mengayun-ayunkan air ke udara. Om Redi memandangku dan sesekali tersenyum. "Aku ingin ajak kau ke Gajah Mati temui ibu. Ibu angkatku itu pasti kaget kalau anaknya ini sudah tak bujang." Aku tertawa kecil mendengarnya. "Om kan emang dari dulu udah gak bujang." Ia kembali tertawa. "Itu karena aku tak sadar lakukannya. Aku ini jaga keperjakaanku dari dulu." "Masa?" Aku menatapnya sangsi. Sering kulihat ia membonceng perempuan yang berbeda tiap bulannya. Playboy. Dan ayah juga bilang, Om Redi bukan lelaki baik-baik karena sering bawa cewek ke rumahnya. "Seriuslah aku ini. Hanya buka baju pegang-pegang dikitlah, tapi tak sampai lakukan itu. Takut aku ini." "Kenapa takut, Om?" tanyaku ingin tahu. "Takut kalau sampai tiduri anak orang, dia hamil lalu yang dialami ayah kau itu nimpa aku juga. Tak inginlah, aku, punya anak haram." Rasa sakit menyeruak ke dadaku. Om Redi langsung terdiam, ia mengibaskan tangan di depan wajahku. "Jangan menangis lah kau ini. Tak masalah ini anak haram. Aku tetap sayang dia. Kan tak sadar lakukannya." Tenggorokanku terasa tercekat. "Iya, Om." Bukan status anak khayalan ini yang membuatku sedih, tapi tentang diriku sendiri yang tak diharapkan kehadirannya. Bagi ibu, aku adalah aib. Maka ia bertahun-tahun tega membiarkan anaknya ini terus menunggu sampai akhirnya muak dan bosan. Untunglah ayah begitu menyayangiku, walau menyebalkan dan banyak aturan. Tentu ayah tak ingin, aku salah pergaulan. Tapi aku tetap saja nakal dan hampir tidur dengan Rizal. Betapa marahnya ayah saat memergoki kami sudah tanpa busana. "Kenapa kau malah sedih? Jangan lah sedih. Aku sayang dia." Tapi tidak menyayangiku. Kenapa aku jadi melow begini? Ya ampun. Sadar Putri. Lelaki ini menikahimu karena kamu bermain curang. Aku sudah tak berselera lagi berputar-putar, maka kami pun pulang. Om Redi mengeluarkan motornya dan aku segera membonceng di belakangnya. "Kau tak boleh terima uang dari ayah atau nenek kau lagi. Dengar tak?" Aku tersenyum malu teringat kejadian kemarin. "Kau ini kan tak sekolah lagi." "Ii-yaa, Omm." Om Redi menggelengkan kepala lantas melajukan motor membelah jalanan aspal yang rusak parah, membuat tubuhku sesekali terlonjak ke atas. Aku meraih HP di saku celana lalu mengirim pesan WA. Nin, tolong antar pengganjal perut ke rumah aku, ya? Buat apa? Nina langsung membalas. Yaa buat dipakailah. Kamu kan udah kuceritain semuanya. Ya, Nin? Gampang deh. Jam berapa aku harus antar? Jam duaan ya? Om Redi menoleh. "Jangan HP-HP an lah kau ini. Nanti jatuh ke bawah sakit." Aku pun memeluk tubuhnya erat, sesekali menarik napas menghirup aroma tubuhnya yang buat kecanduan. "Yaa masa jatuh ke atas, Om. Terbang, dong, namanyaa." Ia tertawa. "Aku langsung ke rumah Tara. Nanti jam 3 aku ke sini," katanya saat akhirnya kami sampai. Aku pun turun, melambaikan tangan saat ia kembali melajukan motor. Namun tak dibalas. "Da-daah, Om." Setelah tubuhnya mengecil di kejauhan, aku pun masuk ke rumah dengan riang. Aku berhenti saat bersitatap dengan bibi yang duduk diam di kursi dengan wajah kesal. Tak hanya bibi, ada ayah, mama, nenek, juga Om Yoga di ruangan ini. Om Yoga adalah mantan suami mama, yang juga pernah jadi suami bibi selama semalam. "Tumben ke sini, Om? Mau balikan sama bibi?" tanyaku sambil menatapnya tak senang. Padahal aku udah senang ia menikah dengan bibi, tapi kok hanya semalam. Om Yoga tak menyahut, ia pamit pada bibi lalu melangkah keluar. "Ngapain dia ke sini? Mau ngajak bibi balikan?" Aku duduk di kursi, mengulurkan tangan pada dedek dan menggendongnya. Dedek tertawa saat aku memonyongkan bibir lalu mencium dadanya. Mama tersenyum melihat dedek tertawa menggemaskan. Ayah hanya memandangnya saja. Wajahnya terlihat sangat kesal. "Itu bukan urusan anak kecil." Bibi menyahut datar. Terlihat kesedihan di matanya. Tatapan mama dan nenek terus berpijak ke wajah bibi yang tampak suram. "Kamu pikirkan dulu matang-matang, Na. Aku tidak setuju dengan usul lelaki gila itu! Semua karena salahnya!" Ayah menyentak napas. Nenek hanya diam, wajahnya terlihat sedih. "Mas." Mama menatap ayah dengan pandangan memohon. "Itu bukan urusan kita. Nana bukan anak kecil lagi." "Cinta, tapi itu hukumnya tidak boleh. Pernikahan bukan untuk mainan!" Mama hanya menghela napas. Ia meraih dedek dari gendonganku lantas berdiri. "Ayo pulang, Mas. Nanti kamu darah tinggi sejak tadi ngomel mulu." Mama mengulurkan tangan pada ayah. Ayah mendelik, tapi tetap menerima uluran tangan mama. "Bu, kami pulang dulu." Mama menyalami ibu. Ibu mengangguk. "Kamu harus pikirkan benar-benar." Ayah menatap bibi dengan kesal, lalu ikut menyalami ibu. "Dari tadi tidak melihat suamimu. Di mana dia?" "Rumah Om Tara, Yah. Ada perlu, katanya." Ayah mengangguk, ia berbalik dan mengejar mama. Terdengar samar ucapan mama yang bilang pada ayah agar tak ikut campur. "Putri, makan sana." "Iya, Nek. Nenek masak apa emangnya?" "Nyambal wader kecil-kecil. Sana makan." "Asyiiik kesukaanku itu. Tadi Om Redi hanya buat nasi goreng." Bibi mengangkat wajah. "Seharusnya istri yang layani suami. Bukan sebaliknya." Ia mendecakkan lidah. "Itu karena Om Redi sayang aku. Daripada bibi, nikah hanya semalam." Bibi tersentak. Tatapannya tajam seperti singa yang siap memangsa buruannya. Nenek langsung nemelototiku. "Putri! Jaga bicaramu!" Aku mengangguk. Hubunganku dan bibi mulai berubah sejak ia memutuskan Om Redi. Dulu, Om Redi selalu curhat tentang hubungannya dan bibi. Om Redi terlihat sangat bahagia saat bibi menerima lamarannya. Tapi bibi membuang Om Redi demi mantan suami mama. Dan yang terjadi waktu itu, bibi menangis histeris setelah malam pertama. Entah apa yang terjadi. Yang kutahu dari mama, bibi ditalak tiga. "Maafin aku ya, Bi." Aku mengulurkan tangan pada bibi yang segera disambutnya. Aku diajari oleh ayah agar tak sungkan meminta maaf jika merasa salah. Setelah itu, aku melangkah cepat menuju dapur. Aku makan sambil tangan kiri mengetik pesan. Udah sampai mana, Nin? Ini lagi di jalan. Bawel, deh. Oh ya, persiapkan diri Put. Aku datang gak sendiri Jantungku berdetak kencang. Jangan-jangan, Nina datang bersama teman-teman sekelas, lagi. Hanya 7 orang yang tahu kalau aku menikah satu di antaranya adalah Nina. Namun, hanya Nina yang menghadiri pernikahan siriku. Ya, aku dan Om Redi memang hanya nikah siri. Waktu itu, ayah tiba-tiba menarikku yang tengah pura-pura muntah ke mobil menuju salon. Ayah meninggalkanku dan kembali menghampiri dengan membawa penghulu juga nenek dan bibi. Ia membiarkanku mengajak Nina. Kami bersama menuju rumah Om Redi, membuat Om Redi terkejut dan tak bisa menolak karena ayah membawa penghulu. Ayah juga bersimpuh memohon padanya agar menikahiku yang tengah hamil. Dering HP di tangan mengagetkanku. Dari Nina. "Sabaaar," katanya. "Yaaa, tapi seharusnya jangan ke sini bareng teman-teman dong," kataku kesal. "Yaa mau gimana lagi. Mereka semua cemas padamu. Mereka semua berpikir kamu gak masuk sekolah karena sakit habis mereka bully." "Duuh, gimana kalau mereka sampai tau aku dah nikah? Aku kan ma-luuu." "Yaa gak bakal tau, lah. Hanya genk kita yang tau. Yaudah, aku lagi di jalan niih." Aku sudah tak berselera makan lagi, sebagai gantinya, aku mondar-mandir bingung sendiri. Sampai akhirnya terdengar suara nenek memanggil. "Putri, ada teman-temanmu tuuh!" "Iya, Nek." Aku pun keluar. Di ruang tamu sudah penuh oleh teman-temanku sekitar sepuluh cewek sisanya 3 laki-laki. Tiga di antaranya berdiri lalu memelukku. "Put, maafin aku, ya? Kamu pasti gak sekolah karena aku bully terus, ya? Kamu gak salah meski ayahmu menakutkan." Linda memelukku. Aku tersenyum tak nyaman lalu mempersilakannya kembali duduk. Ada dua keranjang buah di meja berisi apel, per dan jeruk. Tampak Nina di luar tengah mengobrol dengan Zaki yang terus membullyku. Tangan Nina membawa plastik hitam berisi pesananku. Aku pun menuju ke arahnya. "Hampir seminggu tak bertemu." Zaki memandangku. Lelaki hitam manis bertubuh tinggi atletis ini memandangku penuh sesal. "Maaf atas sikapku terakhir kali. Aku tak ada maksud menyudutkanmu." Aku mengangguk tak nyaman. Dia ini sahabat dekat Rizal, yang terus saja menyalahkanku karena ayah tak sengaja membunuh Rizal. "Yuk, masuk." Aku mempersilakannya. Lalu meraih plastik yang disodorkan Nina setelah itu menarik tangan sahabatku ini masuk ke dalam. Zaki mengikuti. Aku masuk ke dalam meninggalkan mereka dan kembali tak lama kemudian membawa teko yang kuletakkan di nampan dengan beberapa gelas. "Minum dulu esnya, segar panas-panas." Aku menatap teman-teman bergantian. Mereka semua kompak mengangguk. "Put, besok kamu sekolah, ya? Aku bener-bener merasa bersalah banget." Linda menatapku dengan penyesalan yang terlihat jelas di matanya. Aku hanya diam. Sudah tak ada minat sekolah lagi. Aku kan udah nikah dan sekarang seorang istri, masa sekolah lagi? Gak lucu, laah. "Iya, besok kamu harus sekolah lagi. Bentar lagi ujian, Put," timpal yang lain. Aku hanya mengangguk kecil saja. "Bagaimana kalau kita belajar bareng di rumahku? Biar semangat belajarnya." Nina mengusulkan. Yang lain langsung setuju. Aku menyimak sambil sebentar-sebentar menatap jam dinding. Sebentar lagi Om Redi pasti kesini. Duuh, gimana cara agar mereka segera pulang, yaa? Aku merogoh HP di saku lalu mengirimkan pesan WA pada Nina. Bentar lagi suamiku pasti pulang. Bantuin, dong. Jangan sampai mereka tau suamiku. Nanti heboh Nina memandangku dan mengangguk. Ia berdiri. "Cabut yuuk? Udah sore." "Iya, gak kerasa udah sore aja." Linda ikut berdiri. "Put, sekali lagi maafin aku, yaa?" Aku mengangguk kecil. Kuantar mereka semua sampai teras. Namun mereka tak segera pulang, ada yang ke halaman samping, ada juga yang melihat-lihat bunga juga bonsai kelapa jualan ayah. A-duuh, gawat ini kalau sampai Om Redi pulang dan mereka semua tahu bahwa aku sudah menikah. Pasti bakal jadi bahan gosip. "Hati-hati ya, di jalan." Aku berkata sambil menatap teman-temanku. Tapi mereka sibuk sendiri melihat-lihat bunga jualan ayah. Linda meraih pot bonsai putri malu dan mengangkatnya ke udara. "Ini berapa harganya, Put?" "Aku gak tau. Nanti deh kalau ayah ke sini aku tanyain." Duuh cepat pulang, doong, kataku dalam hati. Tapi mereka malah asyik menatap bonsai-bonsai kelapa berbuah. "Itu 15 juta harganya," kataku saat Linda menyentuh buah kelapa ukuran mungil. Aku mendekat ke arah Nina. "Nin, bentar lagi suamiku pasti pulang, deh. Tolong ajak me--" Belum selesai aku berkata, kulihat sepeda motor yang dikendara suamiku meluncur pelan ke halaman. Teman-teman langsung menatap ke arahnya. "Put, pulang sekarang, yok. Kita ke rumah ayah mertua dulu." Teman-teman memperhatikanku. Linda mendekat. "Pulang ke mana emangnya, Put, sama Om ini?" Linda memandangku. Lalu menatap ke arah Om Redi yang menatapnya di atas motor. "Dia siapamu, Put?" tanya yang lainnya. Om Redi memandangku yang hanya diam. Aku jawab apa, yaa? Aku gak mungkin biarkan teman-teman tahu kalau aku udah nikah. Sama lelaki seusia ayah, pula. Mereka pasti akan berpikir yang bukan-bukan tentangku. "Dia temannya ayah." Aku menyahut lirih. Om Redi memandangku dengan sebelah mata terpicing. Aku nyengir kecil saat bersitatap dengannya. "Ayah di rumahnya, Om." Aku sungguh merasa tak enak hati, apalagi Om Redi terus memandangiku terlihat kesal. Ia akhirnya memutar motornya lalu mengegas-ngegasnya dan mengendarainya seperti kibasan angin. Moga dia gak marah. Duuuh Komentari dulu baru lanjut yaaa. Satu menit lagi UP cerbung Tuan Masa lalu Putri dan Om Redi, juga kisah ayah Putri dan mamanya bisa dibaca dicerbung Nafkah Batin. Dijamin bikin sedih dan senyum-senyum sendiri. Gak percaya? Cus buktiin. Cover gambar cowok dan udah tamat, pulaa. Sedih lucu tegang bikin deg degkan. Tapi untuk yang udah nikah aja. Jangan lupa follow akun Innovelku Soh lalu subscribe cerita ini biar selalu dapat notif tayang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN