6

1335 Kata
"Kenapa kau?" Ia menoleh sekilas saat aku kembali mengusap air mata. "Gak papa, Om." Masa di gak tahu aku sedih? Atau pura-pura gak tau? Segitunya banget. "Nanti aku akan langsung ke muara." "Iya, Om." Ia memandangku, dan kembali menatap jalanan yang rusak parah membuat tubuhku sesekali terlonjak-lonjak ke atas. Begitu sampai rumah Om Redi langsung mengganti bajunya, setelah itu mengeluarkan motor. Aku memperhatikan sekeliling yang begitu berantakan lalu tatapanku tertuju pada suamiku yang berjalan mendekat. Ia memakai topi dan kaca mata hitam menutupi matanya. "Kau jangan lelah-lelah. Istirahat sajalah," katanya saat aku mengambil sapu. "Aku hanya bersihin rumah. Berantakan banget." Ia mengibaskan tangan. "Tak perlu kau bersihkan, lah. Nanti kita ke muara, lihat rumah di sana." "Mau pindah ke sana, Om?" tanyaku penasaran. Ia menoyor kepalaku. Aku mendelik sebal padanya. Dulu sih gak papa ia bersikap begini. Tapi sekarang kan aku istrinya, seharusnya ia tak bersikap seolah aku anak temannya. Tapi bersikap aku adalah istrinya. "Ayah kau pasti ngamuk jika rumah itu tak ditinggali. Sudah paham benar aku wataknya si preman itu. Kau jangan lelah-lelah." "Manggil mertuanya sendiri preman, awas aja nanti kuaduin ayah." Om Redi tertawa kecil. "Kenyataannya dia memang preman. Tak lahir kau jika dia bukan preman." Suasana hatiku langsung berubah murung karena teringat perempuan itu. Sebentar lagi ia akan menikah dan menyuruhku menjadi pagar ayu. Entahlah aku akan datang atau tidak. Aku masih belum bisa memaafkannya karena menelantarkanku dulu. Seolah mengerti yang kupikirkan, Om Redi memelukku. "Kau jangan terus membencinya. Biar bagaimana pun juga dia ibu kau." Aku tersenyum getir. "Iya, Om." Ia mengusap perutku, lalu membalikkan badan dan melangkah menuju halaman. Aku mengejarnya saat teringat sesuatu. "Om." Ia membalikkan badan. Aku mendekat. "Cium," kataku dengan malu-malu. Ia terpana. Sesaat kemudian tertawa kecil. "Kau ini." Aku mencondongkan pipi padanya lalu mengetuk-ngetuk pelan pipi kiriku untuk dicium. Heran, jadi suami kok gak romantis amat, siih? Padahal ayahku, setiap mau pergi ke manapun selalu cium mama. Ayah juga romantis banget. Tapi Om Redi cuek bebek begini. Aku tersenyum malu-malu saat akhirnya ia menciumku. Dan wajahku menghangat saat ia mendongakkan wajahku, menatap tanpa kedip. "Wajah kau kenapa merah begini? Kau malu padaku? Hey?" katanya saat aku berpaling dengan wajah menghangat. "Apaan, sih. Om kan udah jadi suamiku. Harus cium aku tiap mau pergi dan pulang." Ia mengangguk. "Siap! Kalau tak lupa, aku akan cium kau." "Ya gak boleh lupa." "Masih tak habis pikir aku, kau jadi biniku." Ia menepuk jidatnya dengan ekspresi seolah-olah pusing berat kemudian membalikkan badan menuju motornya. Aku melambai-lambaikan tangan sambil tersenyum kecil. Ia cuek saja sama sekali tak membalas. Nyebelin banget, sumpah. Begitu tubuhnya tak lagi terlihat, aku ke kamar, duduk di depan meja penuh dengan tumpukan kado yang rata-rata dari teman sekelas. Aku meraih dari Nina dan membukanya. Isinya gaun malam berbelah d**a dengan manik-manik yang berkilauan lengkap dengan dalaman juga ada alat KB untuk lelaki. Ada lipatan kertas juga dan aku membukanya. Cieee, nikah nih yaa. Harusnya nunggu lulus SMA dulu baru kawin, Put. Payah, hanya nunggu beberapa bulan gak sabaran. Btw, itu harus digunakan yaa biar gak hamil. Suruh Om Redi pakai. Kamu itu belum pantas punya anak. Love u dari teman kamu yang paling cak em. Aku mengamati kotak kecil di tangan dan menggelengkan kepala. Yaa gak mungkinlah memakainya, orang aku pengen punya anak. Aku membuka kado lainnya, isinya ada gelas, piring, hanger bayi, selimut, seprei dan banyak lagi. Setelah semua selesai dibuka, maka kuraup dengan kedua tangan semua kertas kado dan membakarnya di halaman depan. Setelah itu membersihkan rumah karena risih. Saat membuka kulkas, ternyata ada dua ikat kangkung dan aku memutuskan memasaknya. Tak ada blender untuk membuat bumbu, maka bumbunya hanya kuiris tipis. Om Redi pasti lapar saat pulang nanti. Ternyata begini rasanya memulai hidup baru dengan memiliki suami, rasanya itu berbedaaa, banget. Menyenangkan pokoknya. Om Redi pulang jam 12 siang, memandang sekeliling yang sudah rapi. "Sudah kubilang kau tak perlu lelah-lelah." Ia mencondongkan tubuh dan mengecup keningku. Aku terharu menatapnya. "Aku tak lupaa, laah, ucapan kau tadi pagi untuk selalu cium kau tiap pulang dan pergi." Aku mengangguk kecil, merasa salah tingkah karena ia terus memperhatikan istrinya ini. Om Redi duduk di meja dengan dua piring berisi nasi, sayur juga lauk. Ia menatap ke telur goreng berlama-lama. "Kau ambil telur di kandang angsa?" Ia meraihnya dengan sendok. Lalu mulai memakannya dengan lahap. Aku mengangguk. "Karena tak ada lauk." "Pintar kau." "Pintar, dong. Ingat, aku selalu juara satu di sekolah." Aku memperingatkannya. Ia selalu memberiku hadiah boneka setiap aku juara satu. Om Redi menghentikan suapannya, ia memperhatikanku lama, membuatku jadi jengah. "Kenapa, Om?" Ia menghela napas terlihat menyesal. "Karena aku, kau jadi berhenti sekolah. Seharusnya aku tak mabuk waktu itu dan menerima realita," katanya penuh sesal. "Cinta itu tak bisa dipaksa. Benar tak? Seharusnya kurelakan Nana." Aku menelan ludah dengan susah payah, mengangguk gugup. "Maaf karena aku, kau jadi berhenti sekolah. Seharusnya beberapa bulan lagi kau lulus sekolah." Aku kembali menelan ludah, lalu mengangguk kecil. Andai Om Redi tahu yang sesungguhnya bahwa wanitanya ini berhenti sekolah karena ulah ayah yang membuat anaknya ini sangat malu pada teman-teman, pasti ia akan marah besar. "Ayo Om dimakan. Enak, kan?" Aku mengalihkan pembicaraan. Ia mengangguk. "Enak. Kau pintar masak." Tangannya mengusap-usap kepalaku, tatapannya seperti seorang ayah yang khawatir akan masa depan putrinya, bukan seperti seorang lelaki pada istrinya. Tapi tak apa-apa. Aku akan membuatnya mencintaiku, hanya boleh memikirkanku selamanya. Usai salat, kami pun menuju muara. Rumah pemberian ayah itu terletak di pinggir muara berdekatan dengan dua tetangga. Diseberang ada banyak rumah tapi harus menggunakan perahu untuk menyeberang. Tampak dua orang lelaki berkulit eksotis tengah makan di warung dekat rumah kami. Om Redi melambaikan tangan dan menghampirinya. "Jadi tinggal di sini?" kata lelaki bertubuh tambun saat aku dan Om Redi mendekat. "Jadi. Bisa ditembak mertuaku jika rumah itu tak ditinggali," sahut Om Redi sambil duduk. Ia memesan dua es teh kemudian mencomot tempe goreng di nampan di atas meja panjang. "Itu berarti baik mertuamu." "Baik apanya, membuatku darah tinggi iya. Putri, makanlah, kau. Soto atau bakso?" Om Redi memandangku. "Bakso deh, Om." Om Redi pun memesan. "Bakso dua." "Dia siapa?" tanya temannya yang bertubuh kurus sambil memperhatikanku. Om Redi menatapku sekilas, sedikit tersenyum kecil. "Anak Zain," sahutnya sambil kembali mencomot tempe goreng. "Anak Zain yang kamu sering ceritakan itu? Sangat bandel dan sering diam-diam menemui pacarnya?" Si lelaki bertubuh kurus bertanya lagi. Ia hanya mengenakan kaus dalam putih kontras dengan kulitnya yang legam. Om Redi memandangku dan nyengir kecil saat aku memelototinya. "Dari tadi tak melihat istrimu. Payah nih menikah tak bilang-bilang." Teman Om Redi bertubuh tambun meninju pelan bahunya. Om Redi lagi-lagi tertawa. "Bagaimana bisa bilang, laah. Ayah mertuaku tiba-tiba bawa penghulu dan anak perempuannya ke rumah, minta aku mengawininya segera. Sudah isi tiga bulan." Om Redi melirikku yang hanya diam menahan gondok. Nyebelin banget, siih. "Waah, payah. Kalau aku ayah mertuamu, kamu sudah kubunuh." Om Redi menanggapinya hanya dengan tertawa. Aku menoleh dan menatapnya jengkel. Sebegitunya padaku. Tak bisa apa nengakuiku sebagai istrinya? Nyebelin. Mentang-mentang umur kami selisihnya jauh, gitu? Selesai makan, Om Redi terus saja mengobrol. Aku semakin tak nyaman dan memutuskan berdiri. "Om, ke rumah, yuk?" Dua temannya memperhatikanku. Lalu kata si kurus. "Lengket dia padamu, ya? Mungkin karena dulu sering kau cebokin saat dia eek." Om Redi nyengir kecil. "Sering dilap ingusnya juga." Timpal temannya. Aku menatap keduanya dengan tatapan tak suka. Nyebelin banget sih bapak-bapak. Om Redi juga sama nyebelinnya, ia mengangguk dan tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. "Ha ha. Itu benar. Sering kucebokin dia dulu. Pup sembarangan pula, aku yang bersihkan. Haha!" Ia tertawa lepas seolah mengenang masa lalu. Nggak tahu, apa, istrinya ini malu banget juga gedek? Rasanya pengen tak, hiiiih. Getok kepala Om Redi pakai palu. Sayang aku cinta berat. "Om, pulang, yuk? Kan mau beres-beres rumah sebelum ditinggalin." Ia mengibaskan tangan. "Pulang dulu sana, laah. Nanti kususul." Aku mengentakkan kaki lalu membalikkan badan. Om Redi tertawa di belakangku. "Haha." Temannya juga ikut tertawa. "Ha ha ha. Lucu ya anak Zain." "Ha ha ha." "Diamlah kalian. Dia itu biniku." Hening beberapa saat. Lalu mereka tertawa bersamaan. Nyebelin. Nyebeliin! Kasian yaa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN